Kakak Kelas Jutek
BRUKKK…
“Aw…” Sesosok tubuh terjatuh dari tempat tidur. Seorang gadis
berusia 15 tahun yang memiliki tinggi 160 cm. Berambut panjang, bertubuh
langsung, dan berkaki jenjang.
Melani bangun terlambat pada hari terpenting dalam hidupnya. Hari
tepat dimana ia menginjakkan kaki di sekolah barunya, SMA Pertiwi. Jam sudah menunjukkan
pukul 07:05. Sementara sekolah menyuruhnya datang pukul 06:30. Ini karena ia
habis begadang untuk menonton film Harry Potter—film favoritnya—yang jarang
sekali muncul di layar kaca. Oleh karenanya, ia rela tak tidur untuk menonton
Harry Potter. Ia tidak memikirkan bahwa besok paginya ia harus datang ke
sekolah pagi-pagi sekali.
“Kak, ayo kita berangkat sekarang! Mel udah telat, nih.” seru Melani
yang tak berhenti melihat jam tangannya.
“Iya, ini juga Kakak udah beres,” seru Kakaknya dari dapur.
“Emangnya kamu enggak akan sarapan dulu?”
“Mel udah telat,” jawab Melani yang langsung melesat meninggalkan
dapur. “Mana sempet buat sarapan. Makanya Kakak cepet dong sarapannya.”
Andre pun bergegas menyusul Melani yang sudah siap untuk berangkat.
Di rumah yang sederhana itu—rumah peninggalan kedua orang tua Andre dan Melani—mereka
hanya tinggal berdua. Hidup bersama dan saling menyayangi. Sudah bertahun-tahun
mereka hidup sebagai yatim piatu. Kedua orang tua mereka meninggal akibat
kecelakaan pesawat yang sampai saat ini jasadnya belum juga ditemukan.
Andrelah yang menjadi tulang punggu keluarga. Bekerja sebagai
seorang karyawan swasta di salah satu perusahaan besar di Jakarta. Banting
tulang untuk memenuhi kehidupan sehari-hari dan kuliahnya, juga sekolah Melani.
“Salah kamu sendiri. Tadi malem bukannya tidur buat persiapan
sekolah, malah nonton Harry Potter yang enggak penting itu.”
“Kakak kan tahu sendiri Mel suka banget sama film Harry Potter.”
“Idih, gitu aja marah.” Andre mengacak-ngacak rambut Melani. “Tapi
Kakak enggak mau tahu. Pokoknya harus makan di sekolah. Kalo kamu sakit, Kakak
yang repot, kan?”
“Sip, Bos!”
Sampailah di gerbang sekolah SMA Pertiwi. Dari rumah Melani menuju
sekolah hanya menghabisakan waktu 10 menit.
“Kak, nanti pulangnya enggak usah dijemput. Mel mau ke toko buku
dulu.”
“Enggak mau Kakak anterin?”
“Mel kan udah SMA, masak kemana-mana harus sama Kakak. Apa kata
temen-temen nanti?”
“Aduh adik Kakak udah gede ternyata,”
“Iya, dong. Ya, udah Kakak cepetan pergi. Nanti masuk kerjanya
telat, lho.” Melani mencium tangan Kakaknya. “Hati-hati di jalan, Kak!” Motor
Andre pun segera melaju dengan kencang dan hilang di balik tikungan jalan.
Melani segera berlari memasuki sekolah barunya. Sebuah sekolah
swasta favorit di Jakarta dengan bagunan yang mewah dan sangat luas. Halaman
yang luas serta sejuk dengan pepohonan yang tumbuh rindang di sekitarnya. Kolam
air mancur setinggi 5 m juga menambah kemewahan sekolah elit tersebut.
Parkirannya pun penuh dengan mobil-mobil dan motor-motor mewah.
Dari kejauhan Melani melihat seorang siswa laki-laki, nampaknya ia adalah
kakak kelas Melani. Siswa berperawakan gagah, tinggi, tampan, dan gayanya yang
sok cool, sedang bersandar pada tembok di belakangnya dengan tangan bersedekap.
Ia menatap Melani dengan galak. Melani pun segera mempercepat langkah kakinya.
“Mau kemana kamu?” tanyanya ketus.
“Mau masuk kelas, Kak!” jawab Melani tergagap.
“Kamu tahu jam berapa sekarang?” tanyanya lagi.
Melani tertunduk malu, takut, merasa bersalah, semuanya campur aduk.
“Kamu tahu peraturan disini?”
Melani diam membisu, wajahnya tetap menunduk.
“Jawab!” sentaknya.
“Tahu, Kak,”
“Apa?” sentaknya makin keras.
“Datang jam 6:30,”
“Itu tahu,” matanya sinis melihat Melani. “Kenapa masih dilanggar?”
“Maaf!”
“Yang disiplin, dong!” bentaknya. “Baru jadi calon siswa udah
belagu. Dateng seenaknya. Kamu saya hukum!” seperti ada semacam kilat yang
menyambar dada Melani. Baru juga pertama masuk ia sudah kena hukuman.
“Lari keliling lapang basket! Sepuluh keliling,” perintahnya dengan
sesungging senyuman penuh makna.
“Tapi, Kak…”
“Duapuluh keliling,”
“Iya Kak,”
“Ya sudah, cepat kerjakan sekarang! Tunggu apa lagi?”
Melani mulai mengelilingi lapangan basket. Satu putaran baru ia
lalui. Padahal rasa capai sudah menghampiri dirinya. Belum lagi panas matahari
pagi yang sangat menyengat. Menambah rasa dahaganya. “Aduh, aku cape banget. Aku
haus banget. Mana belum sempet sarapan lagi.” keluh Melani berkali-kali.
Sampai pada putaran kelima, kepala Melani mulai merasakan pusing.
Semua benda yang ada di hadapannya seakan berputar mengelilingi kepalanya. Dan
dalam hitungan detik ia sudah tak sadarkan diri.
Senior ketus bin galak tadi pun segera menghampiri Melani dan mengendongnya menuju UKS. Beberapa menit
menunggu, akhirnya Melani pun siuman.
Tiba-tiba datang seorang siswi senior dengan napas yang
terengah-engah. “Ada masalah apa? Kenapa sampe ada yang masuk UKS segala?”
tanyanya.
Rendy hanya terdiam, menampakkan wajah seperti tanpa dosa.
“Disini cuma ada loe, Ren,” wajahnya marah menatap Rendy. “Tolong
jelasain sama gue! Apa yang terjadi?”
“Sorry,”—akhirnya ngaku juga. “gue yang salah.”
“Jelasin sama gue! Ada apa?” tanyanya lagi.
“Gue cuma hukum dia buat lari keliling lapangan basket.”
“Loe bilang, cuma?”
“Iya... gue akui ini cukup keterlaluan.”
“Loe baru baru sadar kalo ini ketelaluan? Loe kan tahu aturannya
kalo ada yang telat. Gak usah pake cara gini.”
“Iya, Rini. Gue tahu. Gue kan udah ngaku salah. Loe enggak perlu
terus-terusan ceramahin gue.” bentak Rendy kepada siswi senior itu—ketua OSIS
di SMA Pertiwi.
Rini tidak mengubris bentakan Rendy. Ia tahu persis siswa yang
sedang dihadapinya itu. Satu sekolah memang sudah kenal dengan cowok yang
bernama Rendy Ferdinan. Seorang cowok egois, sombong dan tak mau diatur yang
merupakan anak pemilik SMA Pertiwi.
“Tapi sekarang gue mau loe anterin anak ini pulang.” ucap Rini
tegas.
“Seenakanya nyuruh-nyuruh gue. Gue enggak mau.”
“Loe mesti tanggung jawab, Ren. Dia pingsan karna ulah loe.”
“Gue udah tanggung jawab. Gue udah gendong anak ini sampe sini.”
“Gue enggak mau tahu. Pokoknya loe musti anterin anak ini pulang. Gue
enggak mau cuma gara-gara ulah loe, nama baik sekolah ancur. Loe juga harus
jelasin dan minta maaf sama nyokap bokapnya …”
“Enggak perlu, Kak. Aku bisa pulang sendiri, kok.” Melani memotong
pembicaraan.
“Enggak apa-apa. Ini semua memang menjadi tanggung jawab kami.
Pokoknya kamu tetep harus Rendy anterin pulang. Dan sekarang kamu makan dulu.
Abis makan nanti Rendy anterin pulang. Bila perlu besok kamu enggak usah masuk
sekolah, istirahat aja di rumah.” ujarnya ramah penuh senyum.
“Istirahat satu hari juga sudah cukup, kok.”
Selesai makan
makanan yang disediakan oleh panitia OSIS. Belum setengah gelas minuman yang
diteguk Melani, Rendy sudah mengajaknya pulang. “Lama banget, sih. Timbang
makan doang. Waktu gue bukan cuma buat anterin loe pulang.”
“Emangnnya aku mau dianterin pulang sama Kakak kelas jutek kayak kamu.”
“Udahlah. Jangan ngajak gue ribut!”
“Kamu yang duluan ngajak ribut.”
“Jangan ngomel melulu. Sekarang cepet abisin makanannya.”
Setelah Melani menghabisakan makanannya, mereka pun bergegas menuju
parkiran, tempat dimana motor milik Rendy diparkir. Tanpa menunggu waktu lagi
Rendy segera menancap gas. Dengan terpaksa Melani harus memegang erat pada
pinggang Rendy. Kalau tidak nyawanya yang bisa melayang. Entah pada kecepatan
berapa yang Rendy gunakan. Beberapa kali Melani mengomel agar Rendy mengurangi
kecepatannya.
Sampailah di rumah Melani.
“Ini rumah loe?” tanya Rendy.
“Ya, iyalah. Ngapain aku ajak kamu ke rumah orang lain.”
“Mana nyokap bokap loe?”
“Enggak ada.” jawab Melani singkat.
“Maksud loe?”
“Mereka udah lama meninggal.”
“Sorry. Terus loe disini tinggal sama siapa?”
“Kakak.”
“Dimana dia?”
“Kenapa? Mau ngejelasin soal di sekolah tadi? Enggak perlu. Aku enggak
kan ngomong macem-macem, kok.”
“Baguslah.” Rendy pun segera pergi dari rumah Melani dan kembali ke
sekolah. Belum sepuluh detik, Rendy sudah hilang dari pandangan Melani.
“Sekali-kalinya deh, aku berurusan sama dia. Ngidam apa sih ibunya
waktu hamil dia? Kok bisa-bisanya ngelahirin anak sejutek dia.”
***
Hari-hari berlalu. Hari ini para siswa-siswi baru sudah resmi
menjadi keluarga besar SMA Pertiwi.
Pada jam istirahat, Melani duduk di kantin sendirian. Semangkuk
bakso sudah ada di hadapannya, namun belum ia sentuh. Tiba-tiba lamunannya
buyar ketika seorang siswi cantik datang menghampirinya, ia tinggi, cukup modis
dengan make up tipisnya, dan murah senyum. Dia adalah Vania, saudara jauh
Melani. Vania ditemani kedua sahabatnya, “Hai, Mel! Apa kabar? Kamu sekolah
disini?”
“Hai, Van! Aku baik. Enggak nyangka ya, kita bisa satu sekolah.
Gimana kabar kamu?”
“Aku juga baik. Muka kamu enggak berubah, ya? Padahal kita udah lima
tahun enggak ketemu.”
“Kamu sedikit berubah, Van. Kamu jadi makin cantik.”
“Ah, kamu bisa aja. Oh iya, gimana kabar Kak Andre? Pasti makin
ganteng.”
“Baik juga.”
“Oh iya, sampe lupa. Kenalin temen-temen aku! Mereka sahabat-sahabat
aku dari SMP.”
“Aku Winda.” Winda juga sama cantiknya dengan Vania, sedikit lebih
tinggi, rambutnya sengaja dipotong pendek berbando, tetapi masih membuatnya terlihat
anggun. Tapi agak sedikit dingin, mungkin ia tidak bisa mudah ramah pada orang
yang baru dikenalnya.
“Hai! Aku Lyla. Boleh kan kita gabung?” Seorang siswi seangkatan
Melani, tinggi semampai, cukup cantik dengan rambut yang dibiarkan terurai
sampai punggungnya, dan ia cukup ramah.
Melani menyalami tangan keduanya. “Melani.”
“Boleh kan kita gabung?” ulang Lyla.
“Oh iya, sok aja,”
Lyla, Winda dan Vania pun memesan makanan. Di tengah perbincangan
mereka berempat terjadi sebuah kegaduhan.
“Rendy…” teriak salah seorang siswi.
“Evan…” teriakan berikutnya.
“Bayu…” teriakan tak kalah hebohnya. Semua yang berada di kantin
langsung mengerumuni siswa-siswa yang menjadi penyebab kegaduhan itu.
Rendy? Sepertinya Melani tidak asing dengan nama itu. Tapi dia
siapa, ya? Oh iya, ia baru ingat sekarang, Rendy adalah siswa senior yang
membuatnya pingsan satu minggu yang lalu. Teman-teman pun yang tadinya duduk
dan makan bersamanya, segera berlari menuju kerumunan orang-orang yang
mengelilingi Rendy, Evan dan Bayu.
Idih, ampe segitunya banget, sih. Emang dia siapa. Diperlakuin kayak
pangeran. Lagian cewek-ceweknya juga mau-maunya ngagumin cowok ngeselin itu.
gumam Melani dalam hati.
“Kak Rendy, aku Putri anak X-1. Ini ada kue buat Kakak.” teriakan yang
sekilas Melani dengar di balik kerumunan tersebut.
“Aku Vania. Ini ada coklat untuk Kak Evan.”
Banyak sekali siswi yang mengerumuni Rendy cs. Banyak pula di antara
mereka yang memberi hadiah untuk Rendy dan teman-temannya.
“Please, yah!” juteknya mulai deh. “Gue kesini mau makan. Bisa kan enggak
usah ganggu? Dan gue enggak butuh barang-barang yang loe-loe semua,” tangannya
menunjuk sekeliling. “kasih sama gue.”
Kedua sahabatnya hanya tersenyum mengerti melihat kelakuan Rendy. Ia
pasti sedang bad mood.
Samar-samar Melani mendengar ucapan Rendy yang begitu sombongnya. Ingin
rasanya ia menghadiahkan sebuah tinju untuk siswa jutek itu, tapi ia mencoba
sabar agar tidak lagi berurusan dengan orang itu. Ia pun melahap bakso dengan
penuh kekesalan.
Seketika semua gadis-gadis yang berada di kerumunan itu duduk
kembali ke tempat masing-masing. Juga ketiga teman baru Melani kembali duduk di
samping Melani. Dan juga Rendy, Evan dan Bayu dapat melanjutkan langkah kaki
mereka.
“Kamu enggak ikut kenalan sama Kak Rendy cs.?” tanya Winda.
“Ngapain orang jutek kayak dia aku kenal?” jawab Melani agak ketus.
“Jutek apanya?” Lyla membela Rendy cs. “Mereka baik banget, kok.”
“Rendy baik? Maaf, ya! Kesan pertama aku ketemu Rendy, orangnya
jutek abis. Gara-gara dia aku pingsan.”
“Oh, jadi kamu siswi yang dihukum Kak Rendy sampe pingsan?” tanya
Vania penasaran.
“Kok kamu bisa tahu?”
“Ya, iyalah. Satu sekolah juga udah tahu kali. Sesuatu yang
berhubungan sama Kak Rendy pasti jadi hot news.” urai Winda.
“Sampe segitunya, ya?”
“Ya ampun, Mel. Kamu kemana aja sih?” Lyla memukul meja. “Kamu enggak
tahu? Kak Rendy adalah anak dari pemilik sekolah kita. Dia juga kapten basket.
Cowok terkeren dan terganteng satu sekolah. Ya, pantes dong dia istimewa.” Hah?
“Dan ada sedikit fakta tentang Kak Rendy.” ucap Vania penuh tanya.
“Kak Rendy belum pernah pacaran. Beda banget sama Kak Bayu dan Kak Evan yang
terkenal playboy.”
“Kok bisa? Bukannya kata kamu dia paling keren satu sekolah masak enggak
punya pacar.”
“Jangan berpikir kalo enggak ada cewek yang mau sama dia, ya!
Sebenernya Kak Rendy adalah cowok yang paling digadrungin banyak cewek. Dari
yang di bawah umur sampe tante-tante. Cuma dianya aja yang enggak mau. Menurut
kabar udah puluhan cewek nembak Kak Rendy, tapi tak ada satu pun yang dia
terima.”
“Idih sok mahal banget jadi cowok. Emangnya cowok di dunia ini cuma
dia?” ujar Melani sedikit ketus. “Lagipula kecentilan juga sih cewek-ceweknya.”
“Ya ampun Mel, kamu kok gitu banget,” komentar Vania. “Kamu dendam
banget ya sama kak Rendy?”
“Ya iyalah,” muka Melani tambah merah. “Kalo kalian jadi aku juga,
bakalan kayak gitu.”
“Aku enggak akan gitu, kok,” jawab Lyla. “Aku malah seneng bisa
dianterin pulang sama Kak Rendy.”
“Ngapain kalian ngomongon Rendy?” Tiba-tiba ada suara yang ikut
nimbrung percakapan mereka. Suara itu berasal dari salah seorang siswi senior
yang mengagetkan Melani dan teman-temannya.
“Kakak-kakak ini siapa?” tanya Vania.
“What? Kalian enggak kenal kita? Ya udah, Guys. Kita kenalin diri
dulu.”
“Gue Nadia.”
“Gue Zaskia.”
“Dan gue Tiara.”
“Kakak ngapain ngupingin kita?” tanya Lyla polos.
“Hello! Kalian ini lagi ngomongin cowok gue. Masak gue diemin?”
“Bukannya Rendy enggak punya cewek, ya?” tanya Melani.
“Rendy cuma enggak mau orang tahu kalo kita pacaran.” jawab Tiara.
Ting… seperti ada lampu
bohlam menyala terang di samping kepala Melani. Orang kayak gini mah harus
dikasih pelajaran. “Kenapa Kakak bilang-bilang sama kita soal hubungan Kakak sama
Rendy. Kakak sendiri yang bilang hubungan kalian enggak mau diketahui orang. Dan
bukannya jaga rahasia adalah hal yang penting dalam menjalin sebuah hubungan?”
“Ya… gue cuma enggak mau kalian ngomongin cowok gue. Ngerti?”
“Kita rasa, bukan hanya kita yang lagi ngomongin pacar Kakak. Seisi kantin
ini hampir semuanya ngomongin Rendy. Kenapa Kakak enggak kasih tahu mereka
juga?”
“Ya, pokoknya gue peringetin sekali lagi. Kalian jangan pernah
ngomongin cowok gue lagi.” Tiara dan kawan-kawannya pun pergi meninggalkan
Melani dan teman-teman. Lyla, Vania, dan Winda pun tertawa terbahak-bahak selepas
Tiara dan kawan-kawan meninggalkan kantin.
“Ya ampun, Mel,” Winda mengeluarkan napas lega. “Kamu berani banget,
sih!”
“Kamu enggak takut diapa-apain Kak Tiara?” tanya Vania.
“Kenapa harus takut? Toh aku yang bener, kan?”
“Ya, seeenggaknya Kak Tiara itu Kakak kelas. Dia pasti lebih
berkuasa dari kita.”
“Kalo kita bener ngapain takut? Kita harus menegakkan kebenaran.
Jangan pernah takut kalau kita emang bener. Udahlah enggak usah ngomongin itu
lagi. Bentar lagi masuk kelas, makanannya cepet abisin! Nanti keburu masuk.”
***
Ekskul Basket
Keinginan Melani untuk pergi ke toko buku yang dulu sempat diundur.
Kini sudah dapat terlaksana. Sepulang sekolah Melani begegas ke toko buku yang
jaraknya tidak terlalu dekat dengan sekolahnya.
Ditelusurinya setiap sudut toko buku, namun buku yang ia cari belum
terlihat olehnya. “Aduh, dimana, sih? Kata Si Mbaknya novel Harry Potter ada di
sekitar sini. Tapi mana, ya?” keluh Melani.
“Nah, ketemu juga akhirnya!” lanjutnya.
Ketika ia hendak mengambil novel itu. Tangan seseorang juga berusaha
mengambilnya. Melani pun melirik pada orang yang mempunyai tangan itu.
“Rendy?”
“Loe? Siswi yang telat itu, kan?” Ternyata kesan pertama bertemu
bagi keduanya sangatlah tidak baik. Rendy menilai Melani adalah siswi yang
tidak disiplin dan tidak mematuhi peraturan. Melani sendiri menilai Rendy
adalah senior yang galak dan ketus.
“Aku punya nama, ya! Nama aku Melani.”
“What ever lah, Gue enggak peduli siapa nama loe. Yang jelas loe
musti lepasin novel ini.”
“Enak aja. Aku yang duluan liat, kok. Harusnya kamu yang lepasin
novelnya.”
“Enggak. Pokoknya loe yang harus lepasin.”
“Enggak mau.” Melani tetap ngotot. “Kamu kan cowok, ngalah dong!”
“Enak aja gue yang ngalah,”
Novel yang tinggal satu-satunya itu tengah diperebutkan Melani dan
juga Rendy. Keduanya tidak ada yang mau mengalah. Namun dimana-mana laki-laki
lebih kuat dari perempuan. Rendylah yang berhasil mendapatkan novel itu.
“Gue yang dapet.” ujar Rendy bangga.
“Heh, balikin novelnya!” Melani berusaha mengejar Rendy.
Namun Rendy cepat sekali menghilang dan Melani pun kehilangan
jejaknya. “Ah, padahal itu tinggal satu-satunya. Aku harus cari dimana lagi.”
keluh Melani.
Melani pun memutuskan untuk pulang. Perebutan novel yang ia
ingin-inginkan dari tangan Rendy tak membuahkan hasil.
Sesampainya di rumah, Rendy segera bergegas menuju kamar adiknya—Chika.
Dilihatnya adiknya yang sangat dicintainya itu tengah melahap bubur yang
disuapi Bibik Imas. “Sudah, Bik!” Rendy meraih mangkuk bubur dari tangan Bik
Imas. “Biar saya saja yang menyuapi Chika.”
“Baik, Mas!” Bik Imas pun meninggalkan kamar Chika.
Satu suap, dua suap bubur Chika habiskan, sampai satu mangkuk bubur
habis dilahapnya.
“Tumben Kakak pulang cepet?” tanya Chika.
“Kakak mau ngasih sesuatu sama kamu.”
“Emangnya hari ini Chika ulang tahun?”
“Oh, jadi kalo Kakak mau ngasih kamu sesuatu kalo pas ulang tahun
aja?”
“Emangnya apa yang mau Kakak kasih buat Chika?”
“Kemarin-kemarin kamu pernah bilang sama Kakak pengen nonton film
Harry Potter. Dan Kakak udah janji mau nemenin kamu. Tapi enggak jadi karna
kamu enggak diizinin keluar rumah. Kakak juga udah berusaha nyari VCD-nya. Tapi
enggak nemu juga. Untung aja novelnya masih ada.”
“Wah! Makasih ya, Kak!” ujar Cikha gembira.
“Iya, sama-sama. Kamu suka, kan?”
“Suka banget! Kakak adalah Kakak terbaik sedunia. Chika beruntung
punya Kakak kayak Kak Rendy.”
“Kakak juga beruntung punya adik semanis dan selucu kamu.” Rendy pun
memeluk Chika dengan penuh kasih sayang.
***
Hari ini adalah hari dimana semua siswa-siswi kelas X menentukan
ekskul apa yang akan ia ikuti. Melani memutuskan untuk mengikuti ekskul basket.
Sementara ketiga temannya, Lyla yang senang berkreasi dan pintar berbicara
memutuskan untuk mengikuti ekskul jurnal. Vania dengan suaranya yang bagus dan
Winda yang mahir dalam biola, mendaftarkan diri dalam ekskul musik.
Sesampainya Melani di lapang basket, ternyata semua siswa-siswi yang
mengikuti ekskul basket sudah mulai pemanasan. Ketika Melani melihat siapa yang
memandu pemanasan, ia sangat terkejut.
“Rendy? Kok dia, sih? Kenapa coba dia selalu ngintilin aku?” Ia pun
teringat dengan kata-kata Lyla yang sempat menyebutkan bahwa Rendy adalah
kapten basket. Ia lupa dengan yang satu itu.
“Hei, kamu yang disana!” teriak sang pemandu pemanasan. “Sedang apa
kamu disana? Sudah tahu telat, bukannya segera kemari. Malah bengong disana.”
Melani pun berlari menuju siswa siswi yang sedang melakukan
pemanasan dan bergabung bersama mereka mengikuti pemanasan.
Aduh, sial banget, sih! Kenapa harus ketemu dia lagi? gumam Melani
dalam hati.
“Hei, kamu yang tadi telat!” Suara itu membuyarkan lamunan. Pemilik
suara itu menghampiri Melani. “Loe lagi? Bosen hidup gue ketemu loe terus.”
“Emangnya aku suka ketemu kamu? Aku juga enggak tahu bakal ketemu
kamu lagi.”
“Loe ini udah telat dan enggak konsen pemanasan, masih berani jawab,
ya?”
“Ya, maaf! Tapi kenapa sih kamu yang harus sewot? Pak Pelatih aja enggak
sewot.”
“Perlu loe ketahui, ya! Gue adalah kapten tim basket sekolah ini,
sekaligus asisten Pelatih.”
“Kok mau-maunya Pak Pelatih punya asisten kayak kamu?”
“Kenapa sih loe sinis banget sama gue?”
“Sekarang kita pikir aja mana ada orang yang gak sinis sama orang
sejutek kamu?”
“Orang itu cuma loe doang.”
“Pemanasannya cukup. Sekarang kita mulai dengan melempar bola
basket. Silahkan buat dua buah shaf berhadapan.” ucap Pak Pelatih, Pak Ardi.
“Rendy!” teriaknya.
“Iya, Pak!” Rendy segera menghampiri Pak Ardi. Pertengkaran antara
Melani dan Rendy pun akhirnya selesai juga.
“Pandu semua anak-anak!”
“Baik, Pak.” jawab Rendy. “Ayo semua, gerak cepat!”
Rendy mulai memperagakan cara memegang bola basket yang baik dan
benar. Kakinya membentuk kuda-kuda dan badan agak condong ke depan. Telapak
tangannya melekat di samping bola agak ke belakang, jari-jari terentang melekat
pada bola. Ibu jarinya
terletak dekat dengan badan di bagian belakang bola yang menghadap ke arah
tengah depan.
“Menangkap bola pun tak jauh beda dengan cara memegangnya. Buka aja
telapak tangannya! Untuk mengoper bola, ada tiga cara, yang sekarang akan kita
pelajari adalah chest pass, melempar bola ke depan dada.” urai Rendy
menjelaskan. “Sekarang kalian mulai dengan memegangnya dan melemparkan kepada
teman yang ada di hadapannya secara zig-zag. Mengerti?”
“Mengerti, Kak.” jawab anak-anak basket serempak.
“Mulai dari kamu!” Rendy menunjuk kepada salah satu siswi dan
melemparkan bola basket padanya.
Ketika ada siswa maupun siswi yang mengalami kesulitan dalam cara
memengang atau melempar bola, ia perbaiki dengan lemah lembut. Namun
kesabarannya mulai terkuras habis ketika memperbaiki kesalahan Melani. Meskipun
sudah diberi contoh berkali-kali, Melani selalu saja memperagakannya dengan
salah.
“Loe enggak perhatiin gue, ya?”
“Enak aja. Aku perhatiin kamu, kok.” jawab Melani.
“Buktinya diperbaiki berulang kali, salah mulu.”
“Ya, gimana caranya?”
Rendy tak menjawab. Ia berdiri di belakang Melani dan memegang
tangan Melani dari belakang.
“Eh, mau ngapain?” Melani menghindar dan mendekap dadanya sendiri.
“Mau bisa enggak?”
Melani pun hanya terdiam.
Tangan Rendy memegang tangan Melani dari belakang. Memperagakan
bagaimana cara memegang bola basket yang benar. “Nah, gini kek dari tadi.”
Rendy menghembuskan napas lega.
Namun beberapa siswi yang melihat Rendy memeluk Melani, meskipun
hanya sebatas memperagakan cara memegang bola basket dengan baik dan benar, mereka
semua cemburu, berpikiran negatif terhadap Melani, dan jadi tidak suka padanya.
“Caper banget sih jadi murid baru!” gerutu beberapa orang siswi.
Melani sendiri tidak menyadari bahwa banyak siswi yang cemburu
padanya gara-gara Rendy memeluknya.
Pelajaran ekskul pun berakhir. Semua siswa siswi ganti baju di ruang
loker.
Segerombolan siswi berjalan menghampiri Melani dan menutup pintu
loker Melani dengan keras. Itu membuat Melani kaget.
“Kak Tiara?”
“Hei, loe jangan sok cari perhatian Rendy, deh.”
“Maksud Kakak apa?”
“Jangan belaga bego deh. Loe tadi cuma pura-pura enggak bisa, kan? Biar
loe bisa dipeluk Rendy.”
“Jangan Kakak pikir aku cewek murahan kayak cewek-cewek yang naksir
Rendy, ya? Aku bukan tipe cewek yang tertarik sama Rendy. Emang aku kayak Kakak
yang mau ngelakuin segala cara buat dapetin Rendy. Kalo aku mau dapetin Rendy
aku enggak perlu pake cara basi kayak tadi. Dan memang disayangkan aku enggak
tertarik sama Rendy. Lagipula tadi emang beneran aku enggak bisa.”
“Loe cuma adik kelas, berani-beraninya loe nyolot sama gue?”
“Semut juga kalo terus-menerus diganggu bakal gigit.” Melani pun
pergi meninggalkan Tiara dan kawan-kawan.
“Sialan!” teriak Tiara.
“Perlu dikasih pelajaran, tuh.” usul Zaskia.
“Gue setuju. Kalo ntu anak dibiarin gitu aja, lama-lama akan
ngelunjak.” tambah Nadia.
“Tenang aja. Gue enggak bakal diem aja diinjek-injek adek kelas.”
Seisi sekolah sudah sepi, Melani masih berada di sekolah. Ia baru
saja keluar dari perpustakaan. Kelasnya mendapat tugas membuat kliping mengenai
kondisi geogarfis Indonesia untuk keperluan tugas pelajaran geografi. Selekas
itu ia pergi ke kamar mandi untuk buang air kecil. Dan tiba-tiba pintu kamar
mandi terkunci dengan sendirinya. “Ini semua enggak lucu. Hei, buka pintunya!
Siapa aja yang ada di luar, tolong! Tolong buka pintunya!” teriak Melani.
Dan tiba-tiba lampu kamar mandi mati dengan sendirinya. Itu membuat
Melani semakin ketakutan. “Tolong!” teriaknya lagi.
Melani terus menerus berteriak meminta tolong. Namun tak ada satu
pun orang yang mendengarnya. Dan tiba-tiba muncul dua sosok berpakaian serba
hitam dan bertopeng seram. Melani semakin ketakutan. Ia sendirian. Teriakannya
pun semakin keras namun tetap saja tak ada yang mendengar.
“Pergi! Jangan ganggu aku! Pergi!” teriak Melani berkali-kali. Ia
tak sanggup lagi untuk melengkingkan suaranya berteriak minta tolong, Melani
pun terduduk lemas dan menangis.
Di saat yang sama Rendy hendak pulang. Tepat ketika ia berjalan di
depan kamar mandi wanita, ia mendengar tangisan seorang perempuan. Tanpa rasa
takut Rendy menghampiri pintu kamar mandi. Ia mencoba membuka pintu, namun pintu
terkunci. “Ada orang di dalam?”
Melani menghapus air matanya. “Siapa pun yang ada diluar, tolong
aku. Tolong buka pintunya!”
“Ra, kita ketahuan.” bisik salah satu sosok bertopeng itu.
Rendy pun mendobrak pintu kamar mandi. Didapatinya Melani tengah
duduk lemas tak berdaya. Juga dua sosok yang berdiri di hadapan Melani. Rendy
menghampiri Melani. “Loe enggak apa-apa?”
Rendy membantu Melani untuk berdiri.
“Aku takut.” Melani memeluk erat tubuh Rendy.
Ketika sosok-sosok itu hendak melarikan diri. Rendy menarik topeng
yang dikenakan salah satu hantu-hantuan itu. “Tiara?” Kini giliran Tiara yang
ketakutan. Ia telah ketahuan mengerjai Melani oleh Rendy. Ia pun lari
terbirit-birit bersama temanya yang masih memakai topeng dari kamar mandi.
Rendy mengajak Melani pergi dari kamar mandi. Keduanya pun duduk di
salah satu bangku taman sekolah. Rendy memberikan sebotol minuman pada Melani.
“Udah sore gini, kenapa loe masih ada di sekolah?”
Melani tak menjawab. Ia masih kaget dengan hal yang menimpanya
beberapa menit yang lalu.
“Gue enggak nyangka loe takut sama setan-setanan. Gue pikir, selama
ini cewek galak kayak loe enggak takut setan. Mungkin malah setannya yang takut
sama loe.”
“Enggak lucu tahu.” ujar Melani ketus.
“Loe udah agak baikan, kan?”
Melani hanya mengangguk.
“Gue pulang duluan.”
Rendy beranjak dan meninggalkan Melani duduk sendiri di bangku
taman.
Melani pun memutuskan untuk pulang. Walau dirinya masih merasa
ketakutan. Ia juga masih belum mampu mengatur napasnya. Ketika ia berjalan
melewati gerbang sekolah. Ia dikagetkan dengan suara Rendy.
“Lelet banget sih jalannya. Gue udah lumutan nunggun loe disini.”
“Nungguin aku?” tanyanya heran. “Buat apa? Bukannya kamu bilang mau
pulang duluan?”
“Bawel banget, sih! Buruan naik!”
“Naik?”
“Iya, naik!”
“Aku bisa pulang sendiri, kok. Kamu enggak usah repot-repot
nganterin aku pulang.”
“Loe jangan GR dulu,” Rendy berdalih. “Gue mau ke rumah temen gue
yang kebetulan lewat rumah loe. Ayo, ikut aja!”
Melani menurut saja apa yang dikatakan Rendy. Ia juga masih belum
memutuskan untuk pulang dengan apa. Shock-nya membuat pikiran Melani kosong.
Sampailah di rumah Melani.
“Makasih buat semuanya.” ucap Melani.
“Kirain gue, loe lupa caranya berterima kasih,” ledek Rendy. “Ya, sama-sama.
Gue balik dulu. Lain kali kalo ke kamar mandi jangan sendirian lagi.” Rendy
langsung menancap gas dan hilang dari pandangan.
“Katanya mau ke rumah temen?” Melani sedikit bingung dengan
perkataan Rendy. “Udahlah. Ngapain juga aku pikirin.”
***
Camping
Pagi ini wajah Lyla terlihat lebih ceria dari biasanya. Dari masuk
kelas sampai istirahat kerjanya hanya senyum-senyum saja. Dihukum Pak Sakti
keluar kelas juga dia malah senyum, gara-gara tidak memperhatikan sewaktu Pak
Sakti menerangkan logaritma. Membuat ketiga sahabatnya heran.
Ketika istirahat di kantin Melani iseng bertanya, “Kamu kenapa, La?
Dari pagi keliatannya seneng banget?”
“Jelas dong aku seneng banget,”
“Seneng kenapa?”
“Emangnnya aku belum cerita, ya?” tanyanya balik.
“Makanya aku nanya juga,” Winda jadi sebel sendiri. “Aku takut liat
kamu senyum-senyum sendiri dari pagi.”
“Kemarin…” Lyla bercerita.
Lyla adalah ketua murid di kelasnya. Di akhir pelajaran Lyla diminta
Bu Sanusi mengembalikan buku kimia ke perpustakaan. Buku berjumlah 35 buah
harus dibawanya sendiri.
Di depan perpus, ia berpapasan dengan Rendy yang tidak sengaja
menabraknya hingga buku-bukunya berhamburan di lantai.
“Maaf,” ujar Rendy ramah sambil membantu Lyla memunguti buku-buku
yang berhamburan di lantai.
Lyla yang sejak pertama bertemu Rendy sudah jatuh hati padanya tak
berkata apa-apa. Ia amat terkejut plus senang bisa berpapasan dengan Rendy. Ia
masih tak percaya.
Rendy juga membantu Lyla untuk mengembalikan buku-buku itu ke
perpus. Lyla yang dari tadi tak mengeluarkan sepatah kata pun membuat Rendy
pusing.
“Sorry, tadi gue bener-bener enggak sengaja,” Lyla tetap tak
menjawab. “Loe enggak apa-apa, kan?”
“Oh iya, aku baik-baik aja, kok.” Akhirnya bicara juga.
“Gue bener-bener minta maaf soal tadi,”
“Iya enggak apa-apa, kok.” Lyla jadi grogi sendiri. “Tapi makasih ya
udah dibantuin.”
“Iya, sama-sama.” Rendy pun berlalu. Mata Lyla tak berhenti
memperhatikannya sampai Rendy hilang di balik pintu kelasnya.
“Oh, jadi gitu ceritanya,” tungkas Winda.
“Jadi kamu udah lama suka beneran sama Rendy?”
“Iya…” jawab Lyla agak malu-malu.
“Mending juga Kak Evan,” puji Vania. “Udah ganteng, keren, jago
basket.”
“Eh…” Winda ikut nimbrung. “Masih lebih bagus Kak Bayu, lah. Jago
semua alat musik, romantis, suaranya juga bagus.”
“Kenapa jadi malah banding-bandingin satu sama lain?” relai Melani.
“Kamu sendiri enggak ada yang dibanggain,” ledek Vania.
“Melani mah jangan ditanya,” tambah Winda. “Pasti jawabannya mau fokus
sekolah, enggak mau mikirin dulu cinta-cintaan.”
“Emangnya kamu enggak pernah pacaran?” tanya Lyla.
“Aku pernah sekali pacaran,” Melani curhat. “Dan selama dua bulan
pacaran, aku selalu makan hati.”
“Jadi intinya kamu trauma?”
“Bukan trauma,” sanggah Melani. “Cuma sekarang kan aku udah SMA. Aku
mau fokus belajar. Biar bisa masuk Universitas Negri.”
“Emangnya kamu enggak punya gitu satu gebetan aja?” tanya Winda
iseng. “Kakak-kakak kelas kan pada keren-keren.”
“Mungkin belum,”
***
Hari ini adalah hari senin pagi. Semua sekolah mengadakan upacara
bendera Merah Putih, termasuk SMA Pertiwi. Semua acara-acara telah dilalui.
Kini giliran Pak Kepala Sekolah memberikan pengumuman. Terlihat semua siswa
tampak mengomel. Menunggu kapan ucapara ini berakhir. Mereka sudah gosong
terpanggang sinar matahari pagi.
“Bapak hanya akan mengumukan satu pengumuman,” suara Pak Kepala
Sekolah terdengar ke seluruh penjuru sekolah. “Untuk mengisi liburan, sekolah
selalu mengadakan acara camping. Acara ini selalu diadakan setiap tiga tahun
sekali. Dan liburan kali ini tepat tiga tahun dari acara camping sebelumnya.
Bapak harap kalian semua bisa ikut memeriahkan. Acara ini bersifat sukarela.
Bila ingin mendaftar hubungi OSIS! Silahkan kembali ke kelas masing-masing!”
Seusai menyampaikan pengumuman Pak Kepala sekolah pun turun dari panggung
kehormatan.
Semua siswa besorak riang mendengar pengumuman dari Pak Kepala
Sekolah. Tampaknya semua siswa ingin mengikuti camping tersebut. Saat-saat yang
jarang ini mereka manfaatkan untuk mengisi liburan sekolah yang tinggal satu
bulan lagi.
Saat istirahat pun siswa siswi masih sibuk mebicarakan soal acara camping.
Teman-teman Melani juga tak kalah hebohnya. Sampai-sampai mereka lupa dengan
siomay yang sudah mereka pesan. Sekarang siomay itu sudah dingin.
“Pokoknya aku harus minta uang sama Papa aku buat ikut camping.”
ucap Vania.
“Aku juga mau minta uang sama Mama.” Winda menambahkan.
“Pokoknya kita semua harus ikut. Soalnya Kak Rendy cs. juga pasti
ikut.” tambah Lyla.
“Kamu ikut kan, Mel?” tanya Winda.
“Kayaknya sih enggak akan.” jawab Melani.
“Kenapa gitu? Ini kan hal yang jarang-jarang. Kalo kita udah kelas
dua atau tiga enggak akan ada yang gini-ginian.” tambah Winda.
“Kalian kan tahu nilai aku jelek-jelek. Liburan nanti aku mau
evaluasi nilai-nilai aku. Jadi mungkin aku enggak bisa ikut.” urai Melani.
“Ayolah, Mel! Kamu harus ikut. Biar kita liburan sama-sama. Enggak
enak kita liburan tanpa kamu.” ujar Lyla.
“Lagipula Kak Andre pasti enggak akan ngizinin.” jawab Melani.
“Ya, udah. Biar aku aja yang bilang sama Kakak kamu.” usul Lyla.
“Jangan!” jawab Melani membuat kaget ketiga temannya.
“Kamu kebiasaan deh, Mel.” ucap Vania. “Tiap ada acara kamu selalu enggak
mau ikut. Sekalinya mau karna dipaksa.”
“Bukan gitu,” Melani sedikit merasa bersalah kepasa
sahabat-sahabatnya itu. Memang benar, setiap kali mereka akan pergi bersama
pasti Melani selalu menolak. “Kali ini beda. Aku belum pernah ikut camping.”
“Kan ada kita,”
“Ya udah, deh. Kalo kalian tetep maksa, aku bakal usahain buat
ngomong sama Kak Andre.”
“Nah, gitu dong!”
“Pokoknya Kakak kamu harus ngizinin kamu ikut.” ucap Vania.
“Masak kamu rela temen-temen kamu asyik-asyik camping. Sementara
kamu diem aja di kamar sambil diskusi sama buku. Mana seru?” tambah Winda.
Melani hanya menganguk dan tersenyum, yang berarti ia mengiyakan
usul ketiga temannya. Ia pun kembali melanjutkan menyantap siomaynya.
Sesuai janjinya kepada teman-temannya. Sorenya ketika Andre pulang
kerja, Melani minta izin kepada Andre untuk mengizinkan ikut camping. Seusai ia
melayani Kakaknya yang baru pulang kerja. Ia pun menghampiri Kakaknya yang
tengah duduk santai di depan televisi dengan secangkir kopi hangat.
“Kak. Mel mau ikut camping liburan nanti.” seru Melani pada
Kakaknya.
“Camping? Enggak boleh.” jawab Kakaknya.
“Tapi, Kak…”
“Mel. Camping kan di hutan. Hutan jauh dari mana-mana. Gimana kalo
kamu digigit binatang buas? Atau kamu tersesat sendirian di hutan? Kamu adalah
satu-satu keluarga Kakak. Sekarang Kakak yang bertanggung jawab sepenuhnya atas
kamu. Kakak enggak mau terjadi sesuatu sama kamu.”
Sebenarnya Melani setuju dengan perkataan Kakaknya. Ia tidak akan
memaksa Kakaknya untuk mengizinkan ia ikut camping, kalau saja teman-temannya
tidak memaksanya.
“Kak, ini itu acara langka. Sekolah hanya mengadakan camping tiga
tahun sekali. Mel mohon, Kakak izinin Mel buat ikut camping.”
“Sekali enggak, tetep enggak.”
“Mel mau ngelakuin apa aja asal Kakak mau izinin.” bujuk Melani
lagi.
“Kamu beneran pengen ikut?”
“Iya, Kak,” jawab Melani penuh semangat. “Temen-temen Mel juga pada
ikut semua.”
“Ya udah, kamu boleh ikut.” Melani senangnya luar biasa. “Tapi
dengan satu syarat…”
“Syarat?” ucapan Kakanya sedikit membuat Melani cemas.
“Kamu harus perbaiki semua nilai kamu,” kata Kakaknya. “Kakak mau
semua nilai rapor kamu di atas tujuh. Tapi itu bukan hasil nyontek, ya?”
“Iya, Kak,” jawab Melani kurang mantap. Ia sendiri tidak yakin bisa
mendapatkan nilai minimal di rapornya. Ia tahu sebatas apa kemampuannya. Sejak
SD, nilai Melani tidak akan jauh dari angka tujuh. Malah ia kadang ia
mendapatkan nilai merah. Berbeda dengan kakaknya yang selalu menjadi juara umum
di sekolahnya. “Mel janji akan berusaha untuk memperbaiki semua nilai Mel.”
Keesokan paginya teman-teman Melani sudah menanti Melani di depan
kelasnya. Mereka dengan sengaja datang pagi-pagi sekali untuk mendengar
keputusan Kak Andre yang membolehkan Melani untuk pergi camping atau tidak.
“Gimana keputusan Kakak kamu, Mel?” tanya Lyla dengan antusias.
Melani hanya mengangguk.
“Asyik… Kita liburan bareng!” seru Winda.
“Tapi ada syaratnya,” ucap Melani lemas.
“Apa?” tanya Vania ingin tahu.
“Aku harus perbaiki nilai rapor aku.” jawab Melani.
“Itu sih masalah gampang. Tiap pulang sekolah nanti kita ke rumah
kamu.” usul Lyla. “Kita bisa bantuin kamu belajar. Kita akan buat semua nilai
kamu jadi bagus.”
“Makasih, ya! Kalian udah mau bantuin aku.” ujar Melani haru, hampir
menangis.
“Kok nangis, sih?” Lyla menghapus air mata Melani dengan telapak
tangannya.
“Kok kalian baik banget sama aku?” isak Melani.
“Kita kan sahabat kamu. Masak liat sahabat yang kesusahan kita diem
aja?” Winda memeluk Melani, diikuti oleh Vania dan Lyla.
“Makasih, ya.”
***
Sesuai janji, pulang sekolah Lyla, Vania, Winda, dan Melani bergegas
menuju rumah Melani dengan menggunakan mobil baru milik Vania. Meskipun usianya
masih di bawah umur tapi ia sudah lihai mengemudikan mobil. Sebenarnya kedua
orang tua Vania tidak setuju Vania mengemudikan mobil sendiri, namun karna
Vania terus merengek. Dan akhirnya hati kedua orang tuanya pun luluh. Ia adalah
anak semata wayang dari keluarga pemilik salah satu perusahaan timah putih
terkenal dan terbesar di Indonesia. Sudah jelas pasti ia sangat dimanja oleh
kedua orang tuanya.
Sampailah di rumah Melani.
Ketika Melani hendak mengajak teman-temannya ke kamarnya, ia melihat
Andre tengah terbaring lemas dengan selimut tebal di depan televisi. Ia pun
menghampirinya. Disusul oleh teman-temannya.
“Kakak enggak ke kantor?” tanya Melani.
“Kakak lagi enggak enak badan,” jawab Kakaknya.
“Kok Kakak enggak kabarin aku, sih?”
“Kakak cuma enggak enak badan doang, kok. Lagipula Arini udah
kesini, kok. Dia lagi buatin bubur di dapur.”
“Kakak udah minum obat?”
“Udah.”
“Oh, iya, Kak. Kenalin temen-temen sekolah aku.”
“Lyla.”
“Winda.”
“Andre.” jawabnya ramah. Lalu Andre memandang Vania dengan dahi yang
berkerut seperti memikirkan sesuatu.
“Kak Andre lupa sama aku?”
Andre masih memandangnya bingung.
“Aku Vania, Kak. Aku kan sodara jauh Kak Andre sama Melani. Dulu
kita sering maen bareng.” urai Vania.
“Anaknya Om Ridwan, Kak.” tambah Melani.
Andre memperhatikan Vania dengan seksama. “Oh iya,” ujar Andre
akhirnya. “Maaf ya, Kakak hampir lupa. Kamu sih banyak berubah.”
Vania hanya tersenyum mendengar komentar Andre.
“Gimana kabar orang tua kamu?”
“Baik kok, Kak.” jawab Vania antusias. “Kapan-kapan main ke rumah
ya, Kak.”
“Oh iya,” Lalu Andre mengalihkan pandangan pada Melani. “Kamu enggak
pernah cerita kalo Vania satu sekolah sama kamu.”
Melani hanya tersenyum tak jelas.
“Tumben pada maen ke rumah, ada apa?”
Vania hendak menjawab, namun segera dipotong oleh Winda. “Kita mau
belajar bareng, Kak.” Wajah Vania langsung berubah sinis.
“Tumben kamu mau diajak belajar bareng,” sindir Andre pada Melani.
“Kakak,” ujar Melani menekuk wajahnya.
“Ya udah, kalian belajar yang rajin yah.” pesan Andre.
Di saat yang bersamaan Arini keluar dari dapur dengan semangkuk
bubur di tangannya. Setelah memperkenalkan teman-temannya dengan Arini, Melani
pun mengajak teman-temannya ke kamarnya. Arini pun menyuapi Andre.
“Aku ambilin minum sama cemilan dulu, ya!” ujar Melani sembari
melemparkan tasnya ke atas tempat tidurnya.
“Eh, Mel!” panggil Winda. “Sayang ya, kita ketemunya enggak dari
dulu?”
“Emangnya kenapa?” tanya Melani heran.
“Kakak kamu ganteng banget, tapi sayang udah punya calon istri.”
“Kamu suka sama Kak Andre?”
“Ya iyalah, siapa yang enggak suka cowok secakep itu?”
“Katanya naksir berat sama Kak Bayu,”
“Aku kan enggak pacaran sama Kak Bayu,” Winda jadi cemberut.
“Lagipula masih gantengan Kak Andre daripada Kak Bayu.”
“Kamu bisa aja,”
“Coba aja, kita udah kenal lama,” kebiasaan Winda kambuh lagi—berkhayal.
“Mungkin aku yang bakalan jadi kakak ipar kamu. Aku kan lebih cantik dari Mbak
Arini.”
“Sebelum kamu, aku dulu kali.” potong Vania. “Aku kan yang lebih
dulu kenal sama Kak Andre.”
“Kamu kan sodaranya?”
“Kita sodara jauh,”
“Dan sebelum kalian bilang begitu, tanya dulu sama Melnya, mau enggak
dijadiin adik ipar?” ledek Lyla.
“Bilang aja naksir juga. Syirik aja!” ujar Winda ketus.
Melani pun meninggalkan temen-temannya yang tengah ribut memperbincangkan
Kakaknya. Melani kembali dari dapur dengan nampan yang berisi dua toples
cemilan dan empat gelas es jeruk. Dan meletakkannya di atas meja belajarnya.
“Mel, kok kamar kamu sepi sih, enggak ada meja riasnya? Alat
kosmetik kamu disimpen dimana?” tanya Vania.
“Aku cuma pencuci sama pelembab muka doang, kok. Kalo disimpen di
meja rias, terlalu kegedean. Bikin kamar aku jadi sempit. Aku simpen aja di
kamar mandi.” jawab Melani.
“Ya ampun! Cuma itu doang?” tambah Winda. “Mel, cewek itu harus ada
parfum, body lotion, bedak, dan berbagai kosmetik penting lainnya.”
“Pantes aja tiap ke sekolah muka kamu selalu kucel.” ledek Vania.
“Emangnya kenapa kalo aku enggak suka dandan?”
“Enggak akan ada cowok yang mau deket sama cewek yang enggak suka
dandan.” jawab Winda.
“Tapi kan enggak semua cowok kayak yang kamu maksud. Ada juga cowok
yang lebih suka ceweknya tampil apa adanya. Enggak harus selalu tampil cantik.”
balas Melani bijak. “Intinya menjadi diri sendiri aja.”
“Tapi kamu harus coba tampil seperti cewek-cewek pada umumnya. Qodrat
kamu itu cewek, Mel.” Winda terus memojokkan Melani.
“Aku enggak pernah nolak dilahirkan sebagai cewek. Ya, akulah
seperti ini. Aku ingin jadi diriku sendiri. Aku enggak mau jadi orang lain buat
narik perhatian.”
“Udah, udah. Kok jadi ribut, sih?” relai Lyla.
“Niat kita kesini kan buat ngajarin Melani, bukan ribut masalah
penampilan Melani.” tambah Vania.
“Ya, udah. Kita mulai belajarnya sekarang!” perintah Lyla.
Perdebatan Melani dan Winda pun berakhir. Kini mereka mulai membuka
buku. Dan satu per satu mulai mengajari Melani. Mereka sangat serius ketika
mengajari Melani. Mereka adalah sahabat-sahabat yang patut diacungi jempol.
Meskipun sebelum belajar sempat ada percekcokan, namun mereka tidak membuat
masalah itu berlarut-larut.
Canda riang dan tawa kecil pun mengiringi kegiatan belajar mengajar.
Tapi dalam praktinya, mereka lebih sering mengobrol dan bercanda tawa daripada
belajarnya. Belajar hari ini selesai tepat pada pukul 19:00.
Proses belajar mengajar yang ditekuni Melani setiap hari pun
akhirnya membuahkan hasil. Tak ada nilai enam lagi di rapornya. Sungguh suatu
hal yang luar biasa. Meskipun kebanyakan nilainya tak jauh dari angka tujuh, tapi
ia tetap senang dengan semua hasil yang diperolehnya itu. Itu semua tak lepas
dari bantuan sahabat-sahabatnya.
Diperlihatkannya rapornya pada Kakaknya. Andre terkejut dengan semua
perubahan drastis adiknya itu. Akhirnya ia pun menyetujui Melani untuk ikut camping.
Melani sangat senang sekali. Ia pun memeluk Kakaknya erat.
***
Hari yang ditunggu semua siswa siswi SMA Pertiwi pun akhirnya datang
juga. Hari ini adalah hari keberangkatan siswa siswi SMA Pertiwi untuk menuju
tempat perkemahan. Meskipun tidak semua siswa siswi yang ikut camping, tapi
siswa siswi yang ikut cukup banyak.
Dan ternyata ucapan Lyla memang benar. Rendy mengikuti acara camping
tahun ini. Walaupun ia tidak berbaur dengan siswa-siswi lain dalam satu bis. Ia
dan dua orang temannya memakai mobil zeep ke tempat perkemahan.
“Bener kan apa kata aku, Kak Rendy pasti ikut.” ujar Lyla.
“Enggak sia-sia aku tampil cantik.” Vania menambahkan.
“Mobil siapa itu?” tanya Melani sembari menunjuk mobil yang
terparkir di samping bis-bis.
“Mobilnya Kak Rendy, lah.” jawab Winda.
“Bukannya dia biasa pake motor?”
“Hello! Kak Rendy itu tajir. Jadi kendaraannya enggak cuma satu,
dong. Kak Rendy dan teman-temannya pergi ke tempat camping pake mobil itu. Enggak
lucu dong pergi ke tempat camping pake motor. Jadi mereka perginya enggak
bareng sama kita-kita yang naik bis.” urai Lyla.
“Manja banget, sih. Emangnya kalo satu bis sama siswa-siswi yang
lain bikin mereka rabies?” ujar Melani ketus.
“Hust! Ngaco aja kalo ngomong.”
“Ayo anak-anak, berkumpul semua!” seru Pak Kepala Sekolah, Pak
Burhan. “Sebelum berangkat hendaknya kita
berdoa terlebih dahulu. Agar kita bisa selamat dalam perjalanan pergi maupun
nanti ketika pulang. Berdoa mulai!”
Semua siswa berdoa dengan khusyuk.
“Selesai!” ucap Pak Burhan. “Sekarang semuanya masuk ke bis sesuai
dengan nomor bisnya.”
“Baik, Pak.” jawab semua siswa serentak.
Semua siswa siswi sangat menikmati perjalanan. Sesekali ada beberapa
siswa yang bernyanyi-nyanyi untuk melepas rasa bosan. Semuanya telihat sangat
senang. Walaupun ada beberapa siswi yang mabok darat. Ia muntah di dalam bis.
Membuat jijik beberapa siswi lainnya.
Sementara Rendy dan teman-temannya yang membawa mobil sendiri ke
tempat camping mengikuti lajur bis dari belakang. Meskipun yang mengisi mobil
zeep milik Rendy hanya tiga orang. Tapi mereka juga sangat menikmati
perjalanan. Evan yang terkenal sangat cerewet terus menerus menggangu Rendy yang
tengah mengemudikan mobil. Tawa kecil pun mengiringi sepanjang jalan. Dan juga
Bayu yang bernyanyi-nyanyi tak keruan membuat kedua temannya mengomel.
Sampailah di sebuah penginapan. Semua siswa turun dari bis, termasuk
Rendy dan teman-temannya.
Semua siswi berteriak gembira karna mereka pikir camping akan
diadakan di penginapan yang ada di hadapan mereka.
Camping kok di hotel, sih? Ini mah piknik bukan camping. gumam
Melani heran.
Beberapa saat kemudian Bapak Kepala Sekolah menyuruh semua siswa
siswi berkumpul dan mendengarkan Bapak Kepala Sekolah berkhutbah kembali.
“Alhamdulillah. Kita tiba disini dengan keadaan selamat. Namun perjalanan kita
belum selesai…”
“Belum selesai? Bukannya kita nginep di hotel ini, Pak?” tanya salah
satu siswi.
“Kalau kita tidur disini namanya bukan camping, tapi piknik.” jawab
Pak Burhan dengan nada bercanda. Beberapa siswa menyambutnya dengan tawa
mengejek. “Kita masih harus berjalan sekitar lima kilometer ke dalam hutan.
Disini kita hanya akan beristirahat sejenak, untuk mempersiapkan perjalanan
nanti. Duapuluh menit lagi mari kita lanjutkan perjalanan. Untuk keperluan
obat-obatan dan yang ingin ke kamar mandi silahkan hubungi gugu-guru.”
“Huuu…” teriak beberapa siswi.
“Ren, kita pulang, yuk!” ajak Evan.
“Pulang?” tanya Bayu heran.
“Iya, pulang. Jalan lima kilometer itu jauh. Gue enggak sanggup.”
“Ya elah, Van. Loe cewek atau cowok. Loyok amat. Payah loe!” ledek
Rendy.
“Gimana kalo di dalem hutan ada binatang buas? Terus kita dimakan
hidup-hidup. Gue belum mau mati. Gue belum nikah, gue belum ngasih cucu buat
nyokap gue.”
“Pikiran loe itu terlalu jauh, Van. Ini acara rutin sekolah. Udah
pasti sekolah sering kesini. Kalo ada apa-apa pasti sekolah udah ngilangin
acara ini. Udah lah loe jangan kayak cewek.” ucap Bayu.
“Ya, udah. Kita ke hutannya bawa mobil. Loe tinggal bilang aja sama
Pak Kepsek pasti dibolehin.”
“Enggak, ah. Gue mau ikut jalan aja. Pasti seru.” bantah Rendy.
Evan pun mengerutkan wajahnya dan mengambil sekantung makanan ringan
dari dalam mobil. Lalu melahapnya dengan penuh kekesalan. Kedua temannya tak
mempedulikan Evan.
Perjalanan menuju hutan pun di mulai. Penuh keluh selama perjalanan.
Lelah, lah. Haus, lah. Lapar, lah. Dan masih banyak lagi. Keluhan itu lebih
sering diucapkan oleh anak-anak perempuan. Mereka sudah berkali-kali merengek
meminta kepada Pak Kepala Sekolah untuk rehat sejenak.
“Tidak. Kita masih harus melanjutkan perjalanan. Kita baru akan
beristirahat di tempat tujuan.” ujar Pak Burhan.
Lyla tampak kerepotan dengan semua barang bawaanya. Sebagai seorang
perempuan selalu tampil modis sudah pasti barang-barang bawaanya banyak. Ya,
seperangkat kosmetik yang akan selalu membuat Lyla terlihat cantik setiap saat.
Tiba-tiba seorang siswa menghampirinya.
“Mau gue bantu?” sapanya kemudian.
“Loe siapa?” tanya Lyla ketus.
“Kenalin,” ia mengulurkan tanganya. “Gue Donny. Loe pasti Lyla,
kan?”
Lyla hanya tersenyum tawar.
“Gimana mau gue bantu?” tanya Donny lagi.
“Enggak perlu. Gue masih kuat buat ngangkatnya, kok.” Tiba-tiba
barang-barang bawaanya berjatuhan.
Donny pun memunguti barang-barang Lyla yang berjatuhan. “Gue bilang
juga apa. Cewek secantik loe enggak cocok bawa barang-barang segini banyak.
Sini biar gue aja yang bawain.”
Lyla hanya terdiam.
“Cie… Aku juga mau ada cowok yang angkatin barang aku.” ledek Winda.
“Ya iyalah. Beruntung banget jadi Lyla. Ada cowok yang dengan suka
hati bawain barangnya.” Vania ikut menambahkan.
“Sekarang kita sudah sampai di tempat camping. Setelah kalian
istirahat sebentar, segera bangun tenda. Hari mulai malam. Jangan terlalu jauh
membangun tendanya. Jika ingin buang air kecil maupun besar harus dipastikan
ada teman yang menemani. Jangan sekali-sekali pergi sendirian.” urai Pak Burhan.
“Baik, Pak.” sahut semua siswa siswi serentak.
Semua siswa dan siswi mulai membangun tenda. Satu tenda ada yang
diisi tiga sampai enam orang. Ada beberapa siswi yang mengalami kesulitan
ketika mendirikan tenda. Apalagi Tiara kawan-kawan. Mereka uring-uringan ketika
mendirikan tenda. Meskipun begitu tak ada yang mau membantu mereka.
Sementara Rendy, Evan dan Bayu hanya duduk-duduk santai saja sambil
menikmati bekal yang mereka bawa dari rumah. Dan yang mendirikan mereka adalah
siswa-siswa kelas X. Mungkin karena mereka diancam oleh Rendy, mereka pun mau
menuruti kemauan anak manja itu.
“Selesai mendirikan tenda dan merapikan barang-barang bawaan, segera
mencari kayu bakar. Jangan terlalu jauh mencarinya.” ucap Pak Kepala Sekolah lagi.
Kayu bakar sudah terkumpul banyak. Dan hari pun mulai malam. Pak
Kepala Sekolah segera membakar kayu bakarnya. Api unggun pun menyala di
tengah-tengah tenda para siswa. Meskipun api unggun sudah menyala, namun dingin
hutan masih menusuk para pekemah malam itu.
Bayu mengeluarkan gitarnya yang sengaja ia bawa ke perkemahan. Dan
mulai memetiknya. Bayu pun mulai menyanyikan sebuah lagu. Sebuah lagu yang memecahkan
keheningan malam. Beberapa siswi berteriak hiteris. Dan sebagian lagi terhanyut
dalam lagu yang dinyanyikan Bayu. sebuah lagu yang dipopulerkan oleh Ungu Band
‘Dilema Cinta’. Bayu adalah seorang cliquers—sebutan untuk fans Ungu Band.
Seberapa salahkah diriku
hingga kausakiti aku
Begitu menusukku inikah
caramu membalas aku yang selalu ada saat kau terluka
Seberapa hinanya diriku
hingga ludahi semua yang kuberi untukmu
Tak ada satupun perasaan
yang mampu membuatku begitu terluka
…
Bayu memang memiliki suara emas yang mampu membuat pendengarnya
terhanyut dalan nyanyiannya. Ia yang terkenal playboy itu selalu menembak para
gadis dengan suara emasnya itu. Pantas saja tidak ada sejarahnya Bayu ditolak
oleh wanita yang pernah ditembaknya. Juga keromantisannya yang tak kalah jitunya.
Berbeda dengan Evan, banyak gadis yang bertekuk lutut padanya karna
gombalnya. Gombalnya yang terkenal jitu, tak pernah ada gadis yang menolak
untuk dipacarinya. Ia juga terkenal humoris. Meskipun agak cerewet, masih
banyak saja wanita yang terobsesi padanya. Dan yang sama dari keduanya dalah
wajah mereka yang tak kalah tampan dari Ariel Peterpan. Juga mereka selalu
memanjakan wanita yang dipacarinya dengan uang.
Malam mulai menampakkan kegelapannya. Dan rasa kantuk pun mulai
menghantui para pekemah itu. Mereka pun kembali ke tenda masing-masing. Dan
tidur sampai fajar menjelang.
***
Pagi pun datang dengan sinar mentari yang membuat gelapnya malam
hilang. Semua siswa siswi keluar dari tendanya. Selesai mengganti baju dan dan
sarapan pagi semua siswa siswi diminta berkumpul oleh Pak Kepala Sekolah.
“Acara pertama kita adalah jalan persahabatan.” ucap Pak Burhan.
“Jalan persahabatan?” tanya beberapa siswa heran.
“Jalan persahabatan akan dilakukan secara berkelompok. Satu kelompok
berisi sepuluh orang. Pembagian kelompok sudah dilakukan oleh panitia sebelum
berangkat kesini. Setiap kelompok akan mencari bendera sesuai warna
kelompoknya. Bendera setiap kelompok berjumlah lima buah. Rute jalan sudah
dipasang tanda panah. Kelompok yang terlebih dahulu sampai kemari itulah
pemenangnya. Bu Anita akan membacakan pembagian kelompoknya.” urai Pak Burhan.
Sekolah kurang kerjaan banget, sih? Emang kita anak SD harus ada
acara ginian? keluh Rendy.
Pembagian kelompok pun berakhir juga. Melani tidak satu kelompok
dengan teman-temannya. Walau begitu ia masih menikmati perjalanan yang
berlangsung. Dan perjalanan pun di mulai. Perjalanan menuju hutan yang makin
lebat dengan pepohonan.
Tiba-tiba tali sepatu Melani lepas. Ia pun segera menalikannya.
“Kita kerjain Melani, yuk!” bisik Nadia.
“Caranya?” tanya Zaskia.
Tiara memandang sekelilingnya, berpikir. Mencari sesuatu yang bisa
dijadikan untuk mengerjai Melani. Pandangannya terhenti ketika melihat tanda
panah jalan. Lalu ia pun tersenyum licik.
“Apa enggak terlalu keterlaluan?” ucap Zaskia.
“Loe kenapa sih, Zas? Loe salah makan, ya?” ledek Nadia.
“Gimana kalo dia nyasar di hutan?”
“Itu kan tujuan kita.” tambah Tiara.
“Tapi ini hutan, Ra. Pasti banyak binatang buas. Gimana kalo dia
dimakan binatang buas?”
“Loe mau keluar dari genk ini cuma buat belain Melani? Awas ya, kalo
loe sampe buka mulut tentang hal ini. Nasib loe bakal kayak Si Melani.” ancam
Tiara.
Zaskia menunduk takut.
Tiara pun memutar arah tanda panah rute jalannya. Dan ketiganya
segera bersembunyi di balik pohon besar yang tak jauh dari pertigaan itu.
Selesai menalikan tali sepatunya, Melani segera melanjutkan
perjalanan sesuai arah tenda. Melani berhasil mereka kerjai. Mereka segera
memutar kembali tanda panah rute jalannya. Dan segera mengikuti jejak
kelompoknya masing-masing.
Semakin lama berjalan Melani tidak menemukan tanda-tanda anggota
kelompoknya.
Melani mulai meneriakkan nama-nama anggota kelompoknya. “Kak
Reyhan…”—yang merupakan ketua regu kelompoknya.
“Mitha…”
“Kak Saraz…”
“Alif… Kalian dimana?” teriaknya terus menerus.
Melani mulai menyadari bahwa dirinya tersesat. “Aku dimana sekarang?
Kak Reyhan…”
Tiba-tiba ia mendengar suara berisik di balik semak belukar. “Hah!
Suara apa itu?” Melani segera berjalan mundur menjauhi semak belukar tersebut.
Dan tiba-tiba ia bertabrakan dengan sesuatu. “Aaaaa…” terikanya. Melani segera
membalikkan badannya dengan menutup mata.
“Loe lagi?”
Suara itu? Melani mulai membuka matanya.
“Rendy? Kamu lagi? Bosen aku liat muka kamu.”
“Gue lebih bosen liat muka loe mulu.” Rendy tak mau kalah. Rendy pun
pergi meninggalkan Melani.
“Mau kemana?” tanya Melani.
“Ya, mau balik ke perkemahan, lah.” jawab Rendy ketus.
“Ikut. Aku nyasar. Aku enggak tahu jalan pulang.”
“Ngerepotin banget, sih. Makanya jangan sok-sok’an itu camping.”
ledek Rendy. “Kalo mau ikut jangan deket-deket.”
“Emang siapa yang mau deket-deket sama kamu,”
***
Sementara di perkemahan terjadi kepanikan.
“Bu Claudya, Melani hilang.” ucap Reyhan berlari menghampiri Bu
Claudya.
“Mel hilang?” Lyla keheranan.
“Hilang? Kok bisa? Bukannya kalian satu kelompok, kenapa bisa
pisah?” tanya Bu Claudya heran.
“Kita juga enggak tahu, tahu-tahu Melani udah enggak ada di belakang
kita.” urai Reyhan.
“Bu, Rendy hilang.” teriak Evan.
“Rendy juga hilang?” Bu Claudya semakin heran.
“Apa? Rendy hilang?” teriak beberapa siswi histeris.
“Kita harus hubungi mereka.”
“Melani enggak bawa hpnya.” ucap Vania.
“Hpnya Rendy enggak bisa dihubungi. Disini enggak ada sinyal.”
tambah Bayu.
“Bu, kita harus cari Rendy.” usul Tiara.
“Mel juga harus kita temuin, Bu.” tambah Winda.
“Ya, kalian betul. Saya akan beri tahu guru-guru yang lain. Beberapa
siswa ikut Ibu. Siswi-siswi tunggu saja di perkemahan.”
“Tapi, Bu. Kita juga mau nyari Melani.” bantah Lyla.
“Aku juga harus pastiin Rendy enggak apa-apa.” Tiara menambahkan.
“Ibu enggak mau ambil risiko yang lebih besar lagi. Sekarang kalian
diam saja disini dan berdoa supaya Melani dan Rendy akan baik-baik saja dan
segera ditemukan.”
Mendengar ucapan Bu Claudya, Tiara dan beberapa siswi lainnya jadi
cemberut. Tapi harus bagaimana lagi, Bu Claudya juga ada benarnya. Lagipula ia
adalah guru BP yang terkenal sangat galak bila perintahnya diabaikan.
***
Lama mereka berjalan namun perkemahan belum terlihat juga. Melani
pun sudah menunjukkan wajah kalau dirinya sudah lelah berjalan.
“Kayaknya kita udah lewatin jalan ini tiga kali. Tapi perkemahan
belum juga ketemu.” keluh Melani.
“Ini semua gara-gara loe yang bawel ngomong mulu dari tadi.”
“Emang bener kok. Kita malah keliling-keliling di jalan ini bukannya
nemuin perkemahan. Aku udah cape. Kalo gini terus, sampe malem juga kita enggak
akan nemuin perkemahan. Aku enggak mau tidur di hutan gelap ini.”
“Iya gue tahu. Loe diem aja! Kita lanjutin perjalanannya.”
Mereka pun kembali melanjutkan perjalanan. Selama perjalanan baik
Melani maupun Rendy tidak ada yang mau menyumbang suara untuk memecah
keheningan.
Kini keduanya sampai di tepi sungai.
“Wah, sungainya keren! Airnya jernih banget. Beda jauh sama sungai di
Jakarta.” Melani segera berlari menuju tepi sungai untuk mencuci muka dan
meneguk airnya. “Seger!”
Rendy bejalan berlawanan arah dengan Melani. Ia melepas sepatu dan
kaus kakinya lalu merendam sebagian kakinya ke dalam air, membasuh wajahnya.
Dinginnya! Segar sekali! Baru saja ia ingin memejamkan mata, ia mendengar
sebuah teriakan.
“Rendy..…..” teriak Melani.
Rendy segera berlari ke arah Melani, dilihatnya ada seekor ular yang
melata ke arah Melani. Melani terlihat sangat ketakutan dan panik. Belum sempat
Melani melarikan diri, ular itu sudah mematuk pergelangan kaki Melani.
Rendy melempar ular itu dengan batu dan berhasil membuatnya pergi.
Dihampirinya Melani yang hampir tak sadarkan diri. Rendy langsung mengangkat
kaki Melani yang terpatuk ular tadi dan menghisapnya. Lalu ia merobek kausnya
dan menalikannya pada betis Melani.
“Mel. Loe harus kuat. Gue bakal bawa loe ke rumah sakit. Loe tahan,
loe sabar! Loe jangan pingsan dulu.” Rendy pun mengendong Melani.
Beruntung, Dewi Fortuna masih berpihak pada Melani dan Rendy.
Akhirnya guru-guru berhasil menemukan mereka. Walaupun pertemuan itu bukan
pertemuan yang diharapkan.
“Melani kenapa?” tanya Bu Kirani.
“Dia digigt ular, Bu. Kita harus segera membawanya ke rumah sakit.”
jawab Rendy.
“Digigit ular? Kok bisa?” tanya Winda khawatir.
“Enggak ada waktu buat penjelasan. Kita harus secepatnya bawa Melani
ke rumah sakit. Kalo terlambat nyawa Melani tak ada terselamatkan.” urai Rendy.
“Tapi kamu enggak apa-apa kan, Ren?” tanya Tiara perhatian.
Rendy tak menjawab. Ia pun segera menyusul beberapa guru yang
memboyong Melani menuju rumah sakit.
“Ren. Biar aja Melani diurusnya sama sekolah. Kamu juga kan masih
cape. Kamu ikut aku aja, biar aku yang ngurusin kamu.” Tiara mendekati Rendy.
“Gue enggak apa-apa. Dan gue enggak butuh bantuan loe.” jawab Rendy
ketus dan ia pun segera bergegas.
“Tuh kan, Ra!” ucap Zaskia setengah berbisik dengan wajah bersalah.
“Melani digigit uler gara-gara kita. Kalo aja kita enggak muterin tanda panah
rute jalan…”
“Bawel loe! Kalo sampe kita ketahuan dan itu gara-gara loe, liat
aja!” ancam Tiara.
“Loe enggak mau kan kita dikeluarin dari sekolah gara-gara masalah
ini. Sekarang kita pura-pura aja enggak pernah ngelakuin apa-apa. Dan jangan
bahas masalah ini lagi.”
***
Dokter keluar dari ruang UGD, seraya berkata, “Syukur, alhamdulilah.
Bisa yang terdapat pada tubuh Melani sudah dapat dikeluarkan. Dan ia pun sudah
melewati masa kritis. Itu semua tak lepas dari doa-doa yang kalian sumbangkan
pada Melani. Dan sekarang Melani sudah kami beri obat penenang, jadi untuk malam
ini ia akan tidur dengan nyenyak. Dan sekarang kami akan memindahkannnya ke kamar
rawat.”
“Apa boleh kami menemuinya?” tanya Bu Claudya.
“Oh, tentu. Tapi tidak boleh banyak-banyak. Kalau begitu saya
permisi dahulu.”
“Terima kasih banyak, Dok.”
“Sudah menjadi tanggung jawab kami.”
“Untuk sekarang, mari kita bergiliran menjenguk Melani. Setelah itu
beberapa guru kembali ke perkemahan. Dan sebagian lagi menunggui Melani disini
sampai keluarganya datang.” ujar Pak Burhan.
“Enggak apa, Pak. Biar saya saja yang menunggui Melani. Ibu Bapak
Guru kembali saja ke perkemahan.” usul Rendy.
“Kamu masih terlalu lelah setelah tersesat di hutan tadi?” sanggah
Bu Marni.
“Saya enggak apa-apa, Bu. Saya masih sanggup untuk menunggui Melani.
Lagipula ini salah saya juga. Andai saya tidak meniggalkan Melani sendirian,
mungkin Melani tidak akan digigit ular.”
“Tapi apa kata Ibu kamu nanti?”
“Ibu saya tak akan mempermasalahkan ini.”
“Ya, sudah. Terserah mau kamu saja,” Pak Burhan mengalah. “Tapi
disini harus mau ditemani oleh Bu Kirani. Supaya jika ada apa-apa, kamu tidak
sendiri.”
Rendy pun mengangguk setuju.
Rendy tak tidur ketika menunggui Melani. Meskipun kedua kelopak
matanya sangat ingin beristirahat namun Rendy berusaha keras menahannya. Ia
sangat-sangat merasa bersalah atas keadaan Melani. Sementar Bu Kirani yang
sangat lelah ketika mencari Melani dan Rendy sudah tertidur pulas di atas sofa.
Sampai akhirnya datang Andre dengan langkah terburu-buru.
“Apa yang terjadi dengan adik saya?” tanyanya.
“Kami betul-betul minta maaf. Ini diluar dugaan kami.” jawab Bu
Kirani gelagapan.
“Ini semua salah saya.” jawab Rendy.
Tinju Andre pun melayang dan membuat luka pada pelipis kiri Rendy.
“Sudah, Pak. Sudah. Ini bisa kita selesaikan secara baik-baik. Bapak
tidak perlu memakai emosi.” Bu Kirani menenangkan.
“Tidak perlu ada permusyawarahan lagi. Saya akan memindahkan Melani
ke sekolah lain.”
“Pak. Jangan ambil keputusan secepat itu. Kami mohon maafkan
keteledoran kami. Pihak sekolah akan menanggung semua biayanya.”
“Ini bukan masalah biaya, Bu. Ini menyangkut nyawa adik saya. Nyawa
tidak bisa dibeli dengan uang sebanyak apapun. Dan kesalahan ini tidak bisa
dimaafkan.”
“Tapi, Pak…”
“Sudahlah, Bu. Kita bicarakan ini nanti saja. Biarkan saya dan adik
saya berdua saja.”
Bu Kirani dan Rendy pun keluar. Tak lama kemudian datanglah Bu Sinta,
Mama Rendy. Ia pun segera memeluk anak sulungnnya itu.
“Rendy, kamu tidak apa-apa? Mama khawatir banget sama kamu.”
tanyanya khawatir. Secara kasat mata Bu Sinta melihat luka memar pada wajah
anaknya itu. “Kenapa wajah kamu bisa memar, Ren?”
“Bukan apa-apa.” jawab Rendy sedikit ketus.
“Bu, kami sangat-sangat mohon maaf. Maafkan atas kecerobohan kami.”
ucap Bu Kirani.
“Kalian sudah bosan bekerja? Kalian ingin saya pecat? Bagaimana
kalau Rendy yang digigit ular? Apa kalian mau tanggung jawab? Kalian ceroboh
sekali.”
“Sudahlah. Jangan perpanjang lagi masalah ini!”
“Tapi, Rendy. Kecerobohan ini sudah keterlaluan. Kalau kamu yang
jadi korban bagaimana?”
“Aku bilang, udah.”
“Ya, sudah. Kita pulang, ya?” Rendy menurut saja apa kata Ibunya. Keduanya
kembali ke Jakarta malam itu juga. Rendy sendiri tidak sempat pamit pada
Melani.
***
Akhirnya Melani pun terbangun dari tidurnya semalam.
“Rendy mana?” tanyanya.
“Rendy? Kenapa Rendy yang kamu tanyain pertama kali?” Andre balik
bertanya.
“Kak Andre? Kok ada disini?”
“Kamu enggak seneng Kakak ada disini? Kamu mau Rendy yang nungguin
kamu?”
“Bukan gitu maksud Mel. Kakak pasti udah tahu Mel tersesat dihutan
bareng Rendy. Mel cuma mau tahu aja, gimana kabar Rendy sekarang? Kok dia enggak
ada disini? Apa dia dirawat juga?” tanya Melani tak henti-hentinya.
“Kayak Polisi aja nanyanya panjang lebar.” ledek Andre.
“Mel serius, Kak.”
“Sebenernya sebelum Kakak dateng kesini, dia yang nungguin kamu. Pas
Kakak dateng, kebetulan Ibunya jemput. Kenapa kamu malah peduli sama orang yang
udah bikin kamu celaka?”
“Ini bukan salah Rendy juga, kok.”
“Terus salah siapa?”
“Ya, enggak ada yang salah.”
“Makanya nurut apa kata Kakak. Kalo kamu enggak ikut camping, kamu enggak
akan digigit uler. Ngeyel, sih. Gimana kalo kamu telat ditolong?”
“Kalo Mel telat ditolong, enggak mungkin detik ini Mel ada di
hadapan Kakak.”
“Kamu pindah sekolah, ya?”
“Kenapa?”
“Kakak enggak mau adik Kakak ini masuk rumah sakit lagi gara-gara
kecerobohan sekolah kamu.”
“Ini semua enggak cuma gara-gara keteledoran sekolah aja, tapi Mel
juga. Lagipula belum tentu Mel bisa nemuin sahabat kayak Lyla, Vania, Winda di
sekolah lain. Jangan pindah sekolah, ya?”
“Asal kamu janji bisa jaga diri dan nurut apa kata Kakak.”
“Janji!”
Ditengah perbincangan keduanya datanglah seorang suster dengan
semangkuk bubur untuk sarapan Melani. Tak lupa juga seperangkat obat yang
tersusun rapi di sampingnya.
“Mbak, sarapannya!”
“Simpen aja di meja!” jawab Melani.
Suster pun meninggalkan ruang rawat Melani.
“Ayo sarapan dulu! Biar Kakak suapin.” rayu Andre.
“Enggak mau, ah. Kata orang makanan rumah sakit enggak enak.”
“Pindah sekolah, ya?”
“Ah, Kakak.” Melani pun mengalah kepada Kakaknya. Dengan terpaksa
Melani menghabiskan semangkuk bubur yang Andre jejalkan pada lambungnya.
Sesekali Melani meminta berhenti makan sebelum buburnya habis. Tapi setiap kali
Melani berkata demikian, Andre selalu mengancamnya untuk pindah sekolah.
Siangnya Lyla, Vania dan Winda datang menjenguk. Ketiganya segera
memeluk sahabat mereka yang tengah tergeletak tak berdaya di atas kasur rumah
sakit.
“Aduh kasian temen kita ini. Mau liburan, malah masuk rumah sakit.”
ucap Winda.
“Kakak keluar dulu, ya!” Andre pun meninggalkan Melani bersama
sahabat-sahabatnya.
“Maaf ya, kita enggak bawa apa-apa kesini. Kita langsung dari
perkemahan jadi enggak bisa beli apa-apa di jalan.” ucap Lyla.
“Yah. Padahal aku ngarep banget ada yang bawa makanan buat aku
kesini. Makanan rumah sakit enggak enak.”
“Tadinya kita cuma basa-basi doang, kok.” tambah Lyla.
“Ada salam dari temen yang lain. Mereka enggak dibolehin Pak Burhan
buat dateng kesini. Setelah beres-beres buat pulang mereka bakal nengokin
kamu.” ucap Vania.
“Kok kemahnya selesai?”
“Ya, enggak enak aja kali. Kita seneng-seneng kemah sementara kamu
terbaring di rumah sakit gara-gara perkemahan itu.” tambah Winda.
“Aku enggak akan apa-apa, kok.”
“Tapi kita yang apa-apa. Masak kamu sakit kita malah seneng-seneng? Enggak
solider dong?” ucap Lyla.
“Maaf ya. Aku udah buat kemahnnya berantakan.”
“Malah yang harusnya minta maaf itu kita. Kita enggak jagain kamu
selama camping.” ucap Vania.
“Tapi aku cemburu sama kamu,” ucap Lyla tiba-tiba.
“Cemburu kenapa? Kamu juga mau nginep di rumah sakit?” jawab Melani
dengan nada bercanda.
“Kenapa harus kamu yang tersesat bareng Kak Rendy. Kalo gitu mah aku
juga mau nyasar di hutan.”
“La, aku enggak ada niat buat tersesat bareng Rendy, kok. Mana mau
sih aku nyasar di hutan? Apalagi sama cowok jutek pujaan kamu itu.”
“Aku cuma bercanda kok,” Ketiganya pun bergantian memeluk Melani.
***
Rendy Ulang Tahun
Akhirnya liburan sekolah berakhir juga. Rutinitas sebagai pelajar
harus siswa siswi lakoni kembali. Walau malas namun inilah risiko sebagai
pelajar. Liburan selama dua minggu serasa kurang. Mungkin mereka ingin libur
selamanya dari kegiatan belajar mengajar.
Tubuh Melani sudah seratus persen terbebas dari bisa ular. Ia juga
sudah keluar dari rumah sakit lima hari sebelum masuk sekolah. Sebenaranya
dokter menyarankan Melani menginap di rumah sakit dua sampai tiga hari lagi.
Namun Melani mengotot ingin pulang. Ya, bagaimana lagi. Terpaksa dokter
mengijinkan Melani untuk pulang.
Sahabat-sahabat Melani sudah menunggu kedatangan Melani sejak pagi. Dan
ketika Melani sampai di sekolah ketiganya segera menyerbu Melani dan
memelukanya erat.
“Kalian kenapa?” tanya Melani heran.
“Kita kangen sama kamu.”
Tiba-tiba datanglah Rendy bersama teman-temannya. Lyla, Vania,
Winda, dan Melani pun sejenak berhenti berpelukan.
“Gimana keadaan loe?” tanya Rendy ketus.
“Aku udah baikan, kok.” jawab Melani lebih ketus. Setelah mendengar
jawaban Melani, Rendy bersama teman-temannya pun pergi. Dasar jutek! Kalo enggak
niat nanyain mah mending enggak usah.
Melani melihat teman-temannya yang sudah berubah seratus delapan
puluh derajat. “Kalian kenapa?” tanyanya keheranan.
“Kak Evan cool banget.” ucap Vania.
“Kak Bayu keren abis.” ucap Winda tak kalah hebohnya.
“Kak Rendy is so perfect.” Lyla juga tak kalah gilanya.
“Aduh, Guys! Sadar, dong!” seru Melani.
Melani merangkul ketiga temannya, seraya berkata, “Kita ke kamar
mandi aja! Bakal aku cuci otak kalian semua. Biar enggak terus mikirin Rendy
cs.”
Pulang sekolah, Melani diminta bertemu Kepala Sekolah di ruang
rapat. Sesampainya disana, bukan hanya Pak Burhan yang ada, beberapa guru pun
sudah hadir disana. Membuat Melani merasa terkejut dan terheran-heran. Apa
kesalahan yang telah ia perbuat sampai harus disidang oleh banyak guru?
“Selamat siang!” ucapnya gugup.
“Silahkan duduk Melani!” ucap Bu Claudya.
“Terima kasih!” ucapnya semakin gugup.
“Tak usah gugup Melani,” ucap Bu Kirani. “Disini kami bukan untuk
menyidang kamu. Kami hanya ingin mengorek beberapa keterangan dari kamu.”
“Keterangan mengenai apa ya, Bu?” tanya Melani keheranan.
“Ya, mengenai tersesatnya kamu di hutan tempo hari.”
“Sebelumnya saya minta maaf. Saya sudah melupakan masalah ini. Saya
tidak mau mengungkit-ngungkitnya kembali. Bagi saya itu hanya sebuah kecelakaan
saja.”
“Bukan begitu maksud kami. Kami hanya mencium sebuah kejanggalan
dari kejadian ini. Sepertinya ada seseorang yang sengaja menyelakakan kamu.”
ucap Pak Ardi.
“Sengaja bagaimana maksudnya?” tanya Melani tak mengerti.
“Menurut pendapat beberapa guru, ada yang sengaja membuat kamu
tersesat.” tambah Bu Mira.
“Coba kamu jelaskan bagaimana bisa kamu tersesat di hutan!” perintah
Pak Burhan.
“Kejadiannya ketika acara jalan persahabatan. Saya dan teman-teman
satu kelompok mengikuti rute jalan. Di tengah jalan, tali sepatu saya lepas.
Dan saya menalikannya. Selesai menalikan tali sepatu saya melanjutkan perjalanan.
Lama saya berjalan, saya tidak menemukan kelompok saya. Saya meneriakkan
nama-nama siswa yang termasuk kelompok saya. Namun tak seorang pun yang
menjawab. Tak lama kemudian saya bertemu dengan Rendy. Kami bekerja sama untuk
mencari pekemahan…,”
“Cukup. Cukup!” ujar Pak Burhan. “Silahkan ada yang ingin bertanya
sebelum Melani melanjutkan ceritanya!”
“Seingat saya, rute jalan kelompok Melani ada satu pertigaan. Di
pertigaan itu kamu ambil jalan mana?” tanya Pak Sakti.
“Saya ambil yang kiri.”
“Kamu yakin?”
“Iya. Saya yakin.”
“Dan saya juga sangat yakin. Saya memasang tanda panah rute jalan
itu ke kanan. Dan setelah kejadian Melani tersesat, saya lihat tanda panah rute
jalan itu masih menunjuk ke arah kanan.” tambah Pak Sakti.
“Sudah jelas. Ada yang sengaja menjebak Melani.” Pak Burhan
mengambil kesimpulan. “Sekarang kita mencari siapa saja siswa yang tidak ada
bersama kelompoknya pada waktu yang sama.”
“Sudahlah, Pak. Saya juga sudah tak mau ungkit-ungkit masalah itu.
Yang lalu biarlah berlalu. Saya tak mau mempermasalahkannya kembali.”
“Bukan masalah kamu sudah tidak mau ungkit-ungkit masalah ini kembali.
Tapi ini adalah tindak kriminal. Bisa saja karna masalah ini kamu kehilangan
nyawa.” bantah Bu Kirani.
“Betul apa kata Bu Kirani. Kita harus selesaikan masalah ini sampai
tuntas.” tambah Bu Claudya.
“Sebelumnya, apakah mau memiliki musuh atau ada orang yang tidak
menyukai kamu?” tanya Pak Ardi.
“Saya rasa tidak.” Tentu saja Melani berbohong. Ia sangat tahu bahwa
Tiara bersama kawan-kawannya sangat tidak menyenangi dirinya. Dan kalaupun ia
mengatakan itu kepada pihak sekolah, mereka akan mengadili Tiara dan
kawan-kawan. Namun untuk urusan itu ia tidak mau berburuk sangka. Lebih baik ia
mengatakan tidak.
“Baiklah. Kalau begitu, kita cari informasi mengenai siswa-siswi
yang tidak bersama kelompoknya pada waktu Melani tersesat.” perintah Pak
Burhan.
“Baik, Pak!” ucap seluruh guru serentak.
Melani tak bisa berkomentar apa-apa lagi. Ia pun tak diminta suara.
Meskipun ia sudah berusaha membantah, namun bantahannya ditolak
mentah-mentah. Ia pun hanya bisa
mengangguk-ngangguk setuju.
Setelah satu minggu proses penyidikan, akhirnya penelusuran
menemukan titik terang. Seorang siswi yang awalnya hanya sekedar dicurigai.
Sekarang sudah divonis menjadi tersangka. Semua bukti tertuju padanya. Pada
saat Melani tesesat, ia juga tak bersama kelompoknya. Ia juga tidak begitu
memiliki hubungan yang baik dengan Melani. Dia adalah Evita.
Evita tidak pernah mau mengaku bahwa dirinyalah penyebab Melani
tersesat. Karna memang bukan dirinya yang melakukan itu semua. Awalnya pihak
sekolah bertindak halus padanya, namun karna ia tetap tidak mau mengaku
akhirnya ia pun harus dikeluarkan dari sekolah.
Melani sendiri tidak percaya bahwa Evita yang melakukan itu semua.
Ia terus berusaha agar Evita tidak dikeluarkan dari sekolah. Namun ucapannya
tidak pernah digubris pihak sekolah. “Keputusan tidak dapat diganggu gugat.
Kecuali jika kamu memiliki bukti bahwa bukan Evita pelakunya.” ucap Pak Burhan.
Disisi lain Tiara dan kawan-kawannya bisa bernapas lega. Karna pihak
sekolah sudah menemukan tersangka. Bukan karna mereka senang pelaku yang
menyebabkan Melani tersesat di hutan sudah ditemukan. Melainkan mereka sudah
tidak perlu was-was kembali, mereka dicurigai.
“Akhirnya gue bisa bernapas lega. Kita enggak perlu takut dicurigai
lagi.” ucap Tiara.
“Sebelum sekolah nemuin tersangka palsu, tiap malem gue enggak bisa
tidur.” tambah Nadia. “Apalagi waktu kemaren kita disidang. Gue gugup banget.”
“Semua urusan selesai. Kita bisa bernapas lega kembali.”
“Tapi yang enggak lega sekarang adalah gue.” ucap Zaskia yang
mengagetkan kedua temannya.
“Maksud loe?”
“Kita semua tahu, Evita sama sekali enggak salah. Kenapa harus dia
yang nanggung? Kita yang salah. Harusnya kita yang tanggung jawab, bukan orang
lain.”
“Jangan mulai lagi deh, Zas. Loe mau kita yang dikeluarin dari
sekolah?”
“Tapi…”
“Awas, kalo loe sampe buka mulut!” ancam Tiara.
Untuk kesekian kalinya Zaskia hanya tertunduk mendengar ancaman
Tiara. Ia belum mempunyai keberanian untuk membongkar kesalahannya sendiri juga
kedua sahabatnya. Ia hanya mampu mengucapkan kata maaf untuk Evita dalam
hatinya.
Seisi sekolah gencar membicarakan Evita. Menjelek-jelekkan Evita.
Dan setiap kali Melani mendengar hal tersebut. Si Pemilik mulut langsung jontor
kena tinju Melani. Ia sangat tidak suka mendengar Evita dijelek-jelekkan.
“Silahkan kalian menjelek-jelekkan Evita! Tapi… hanya diantara
kalian yang tidak pernah membuat kesalahan. Silahkan bagi orang tersebut
berteriak-teriak menghina Evita.”
Seketika seisi kantin hening.
“Kenapa diem? Merasa penuh dosa? Kalian semua pengecut! Setiap orang
pasti pernah melakukan kesalahan. Enggak ada manusia yang enggak pernah
melakukan kesalahan. Kayak kalian enggak pernah buat salah aja? Gue aja biasa
aja. Kenapa kalian yang sewot?” Melani pun menyeruak kerumunan dan pergi
meninggalkan kantin.
***
Suatu ketika pesuruh sekolah menempel sebuah poster merah hati besar
pada mading SMA Pertiwi. Segera saja seluruh siswa maupun siswi berbondong-bondong
menghampiri mading.
Sabtu, 17 Januari 2010
Rendy akan merayakan ulang
tahunnya yang ke-18
Tempat : Café Alunnaria
Waktu : 19:00 – selesai
Tamu diwajibkan membawa
kartu undangan.
Kartu undangan tersedia
pada saudara Evan.
Segera dapatkan! Kartu
undangan terbatas.
“Wah, Kak Rendy ulang tahun! Gue harus dateng.” ucap salah seorang
siswi dari kerumunan itu.
Setelah membaca poster tersebut, semua siswa siswi
berbondong-bondong menemui Evan. Ada beberapa siswa siswi yang tidak mendapatkan
kartu undangan. Mereka pun kembali dengan wajah muram.
Ketiga teman Melani pun ikut mengantri. Setelah mendapatkan apa yang
mereka inginkan, mereka segera menghampiri Melani yang tengah duduk santai
menyantap bakso di kantin.
“Sudah aku tebak, kamu pasti enggak akan ikut ke acara ulang
tahunnya Kak Rendy.” ucap Winda.
“Emangnya kenapa kalo aku enggak ikut? Acara bakal terus berlangsung
tanpa aku.”
“Jawabnya itu lagi. Udah sering kita dateng ke acara-acara ultah
tanpa kamu. Kali itu kamu ikut, dong. Enggak asyik pergi tanpa kamu.” Lyla pun
ikut menambahkan.
“Beneran. Aku enggak apa-apa, kok. Kalian pergi aja.”
“Tenang aja. Kamu bakal ikut ke pestanya Kak Rendy.” ucap Vania
tiba-tiba.
“Aku kan enggak punya kartu undangannya.”
“Siapa bilang?” Vania mengeluarkan dua buah kartu undangan ulang tahun
Rendy dari dalam sakunya.
“Kok kamu bisa dapet dua?” tanya Winda penasaran.
Vania mulai menceritakan awal mula bagaimana ia bisa mendapatkan dua
buah kartu undangan. Dengan semangat ia memulai ceritanya.
“Kamu Vania, ya?” tanya Evan dengan nada merayu.
“Kok Kakak bisa tahu, sih?”
“Siapa sih yang enggak kenal sama cewek secantik kamu?” gombalnya
kumat lagi. Ternyata Evan memang sudah tahu dari dulu kalau Vania menyukainya.
“Ah, Kakak bisa aja.”
“Ini kartu undangannya. Jangan lupa dateng, ya! Dandan yang cantik.”
“Kak, boleh minta satu lagi enggak?” Vania mencoba merayu. “Temen
aku lagi ada di toilet. Dia suruh aku mintain kartu undangannya. Boleh, kan?”
“Apa sih yang enggak buat kamu.” Evan memberi Vania satu lagi kartu
undangan.
“Makasih ya, Kak!”
“Nah, gitu ceritanya!” tungkas Vania mengakhiri ceritanya.
“Aku enggak punya gaun.” ucap Melani.
“Ya, ampun. Gitu aja dipikirin. Kita tinggal beli aja di butik Mama
aku.”
“Aku juga enggak bisa dandan.”
“Kalo itu mah serahin aja semuanya sama salon langanan Mama aku.”
Winda menambahkan.
“Semuanya beres, kan? Apa lagi alasan kamu? Kak Andre?” ucap Lyla.
“Kalo itu mah, masak dia enggak izinin kamu pergi. Cuma acara ulang tahun
doang, kok.”
Melani tidak bisa membantah lagi. Ia pun menyetujuinya.
“Acaranya kan besok. Pulang sekolah, kita pulang dulu ke rumah
masing-masing. Terus kumpul di rumah aku. Dari rumah aku kita pergi ke butik.
Terus pergi ke salon. Dan terakhir kita pergi ke pesta Kak Rendy.” urai Lyla
penuh semangat.
“Kamu mau ke acara ulang tahunnya Kak Rendy juga?” sapa seorang
siswa kepada Lyla yang tiba-tiba datang tanpa mereka sadari.
“Iya. Emangnya kenapa gitu?” jawab Lyla ketus. “Kamu Donny, kan?”
“Mau enggak perginya bareng aku?”
“Mau, kok.” jawab Winda meledek.
“Hust! Diem, deh.” ucap Lyla agak marah. “Enggak, makasih! Aku udah janji
pergi sama temen-temen aku.”
“Oh, ya udah. Enggak apa-apa, kok.” Donny pun pergi meninggalkan
Lyla dan ketiga temannya dengan wajah agak murung.
“Kok enggak diterima aja, sih?” tanya Melani setelah Donny pergi.
“Kita bisa kok pergi bertiga tanpa kamu.” ucap Winda.
“Oh, jadi kalian enggak mau pergi bareng aku?” Lyla jadi marah.
“Ya, bukan gitu juga. Kasian aja. Dia udah ngajak kamu, tapi
ditolak. Mukanya murung banget pas kamu tolak ajakan dia.” ujar Vania
menambahkan.
“Kita kan udah janji mau pergi bareng, masak dibatalin gitu aja?
Males juga kalo aku harus pergi bareng cowok cupu itu.”
“Ya, udah deh. Kita lupain ajakannya Donny. Sekarang kita lanjutin
aja rencana buat besok.” ujar Winda melerai perdebatan.
Semua rencana Lyla sudah mereka laksanakan. Kini mereka berempat
laksana Putri dunia dongeng. Mereka berempat sudah berdandan cantik dan memakai
gaun terbaik pilihan mereka. Lyla dengan gaun berwarna merah jambunya. Vania dengan
gaun berwarna hijau. Dan Winda dengan gaun berwarna putih.
Melani sendiri memakai gaun berwarna kuning. Ia berdiri di depan
sebuah cermin. Ia tidak mempercayai seseorang yang tengah berkaca itu adalah
dirinya. Dirinya yang begitu berbeda.
“Apa bener ini aku?” tanyanya tak percaya.
“Kamu liat sendiri, kan? Kamu itu cantik, Mel. Asal kamu mau dandan
aja.” puji Winda.
“Kamu akan jadi cinderella di pesta nanti.” Lyla juga memuji
penampilan Melani.
“Ayo, kita berangkat sekarang! Udah jam tujuh, nih.” seru Lyla.
“Tungguin aku dong!” seru Melani pada ketiga temannya. Ia nampak
kesulitan berjalan emakai sepatu hak tinggi. Beberapa kali ia hendak terjatuh.
Maklumlah, ini adalah kali pertama ia memakai sepatu hak tinggi. Biasanya kalau
tidak memakai sepatu, ia memakai sandal. Lyla, Vania, dan Winda pun melangkah
mundur menghampiri Melani.
“Ada apa, Mel?” tanya Winda.
“Aku susah jalan pake sepatu ini. Bisa pake sepatu yang lain?”
“Enggak bisa, Mel. Baju kamu udah cocok sama sepatunya. Kamu juga
bagus pake sepatu itu. Kamu belajar dong pake sepatu hak tinggi, biar nanti
kalo pake lagi jadi biasa.” urai Lyla.
“Tapi lama-lama pake sepatu ini, bisa-bisa kaki aku lecet.”
“Enggak lama kok, Mel. Ya udah, kita jalan sekarang, yuk!”
“Tapi jalannya pelan-pelan, ya?”
“Iya.”
Mereka berempat segera meluncur menuju tempat dimana acara ulang
tahun Rendy diadakan dengan mobil Vania.
***
Sampailah di Café Alunnaria. Mereka berempat segera masuk ke dalam.
Melani takjub dengan dekorasi yang menghiasi setiap sudut ruangan. Baru kali
ini ia datang ke pesta ulang tahun. Andre selalu melarangnya jika ada acara
lebih dari jam enam sore. Namun kali ini Andre mengizinkannya. Mungkin karna
Melani sudah dewasa, sudah bisa menjaga dirinya sendiri.
Rendy dan teman-temannya belum ada di tengah-tengah acara. Lyla,
Vania, Winda, dan Melani pun mencari menikmati hidangan yang ada sambil
menunggu acara dimulai. Namun Melani malah asyik sendiri. Ia belum pernah
melihat makanan sebanyak ini. Agar tidak kecewa akhirnya ia pun berusaha
menjejalkan makanan yang ada ke dalam lambungnya.
Tak lama mereka menunggu, akhirnya pembawa acara pun mulai membuka
acara. “Waw, tamu undangannya banyak sekali! Maaf telah membuat para hadirin
menunggu lama. Ya udah, kita langsung aja panggil Rendy.” Semua tamu undangan
bertepuk tangan dan Rendy pun naik ke atas panggung diikuti Bayu dan Evan.
“Kalian tentu tahu hari ini adalah hari paling indah untuk teman
kita, Rendy. Hari ini kita akan sama-sama merayakan hari jadi Rendy yang
kedelapanbelas. Sudah tua juga, ya! Mari kita doakan bersama yang terbaik untuk
Rendy.”
“Amin” ucap seluruh tamu undangan serentak.
“Dan daripada kita nunggu-nunggu lagi, mari kita mulai acaranya!
Mari kita bersama menyanyikan lagu happy birthday untuk Rendy!”
Happy birthday to you
Happy birthday to you
Happy birthday happy
birthday
Happy birthday Rendy
Tiup lilinnya, tiup
lilinnya
Tiup lilinnya sekarang juga
Sekarang juga, sekarang
juga
“Sekarang tiup lilinnya! Tapi sebelumnya make a wish dulu!” Api
lilin pun padam, semua tamu undangan bertepuk tangan dengan meriah.
“Dan yang terakhir potong kuenya. Seperti biasa, berikan kepada
seseorang yang special diantara tamu undangan disini.” Dan sepotong kue sudah
ada di tangan Rendy. Pembawa Acara memberikan microfon kepada Rendy.
“Pertama-tama, saya ucapkan banyak terima kasih kepada seluruh tamu
undangan yang sudah berkenan menghadiri acara ulang tahun saya yang kedelapanbelas.
Dengan bertambahnya umur yang semakin tua, saya berharap saya bisa semakin
dewasa. Dan kue pertama ini akan saya berikan kepada…”
Tiara sudah kePDan bahwa kue pertama Rendy akan diberikan kepadanya.
“Sahabat-sahabat saya yang selama ini sudah menemani saya. Mereka
sudah mau menerima saya apa adanya. Mau menerima segala kekurangan saya selama
ini. Makasih kalian udah mau jadi temen gue!” Kue yang ada di tangannya ia
berikan kepada Evan dan Bayu.
“Ucapan loe sangat mengharukan. Gue ampir mau nangis.”
“Terlalu berlebihan, Van.”
“Acara inti sudah sama-sama kita saksikan. Mari kita nikmati
hidangan yang sudah disiapkan. Dan mari kita sama-sama saksikan penampilan dari
Bayu.”
Beberapa tamu ungangan ada yang duduk kembali ke tempat
masing-masing, menikmati hidangan yang ada, berdansa, dan ada juga yang terhanyut
oleh alunan lagu yang dinyanyikan Bayu.
Sementara Melani yang sudah tak kuat menahan pipis sebelum acara di
mulai tengah mencari-cari kamar mandi. Lama berkeliling, akhirnya ia menemukan
juga kamar mandi. Setelah melepas bebannya, kini ia kesulitan mencari ketiga
temannya.
Sebelum masuk ke dalam café, ia melihat seorang Ibu paruh baya duduk
sendirian di depan café. Wajahnya pun nampak sedih. Melani pun menghampirinya.
“Ibu tamu undangan juga, ya?” sapanya. “Kok enggak masuk, sih? Di
luar dingin. Nanti Ibu masuk angin, lho. Saya temani masuk, yuk!”
“Saya ingin di luar saja.” ucapnya parau.
“Ya, sudah. Kalo Ibu maunya gitu, biar saya temani. Perkenalkan nama
saya Melani.”
“Melani. Boleh saya minta tolong?”
“Selagi saya bisa. Kenapa enggak?”
“Tolong berikan kado ini kepada Rendy!” Ibu itu pun pergi
meniggalkan kadonya pada Melani.
“Maaf, Ibu siapa?” teriak Melani.
Ibu itu tidak menjawab. Ia masuk ke dalam mobil silvernya dan segera
melaju.
Melani pun kembali ke dalam café dan mencari-cari Rendy. Akhirnya
batang hidung Rendy merlihat juga. Dengan langkah cepat Melani menghampiri
Rendy yang tengah sendirian meneguk segelas sirup di samping pangung.
Ketika Rendy melihat Melani, ia sangat takjub melihat Melani yang
nampaknya begitu cantik. Sampai-sampai gelas yang berada ditangannya hampir
jatuh. Namun ia tidak ingin terlihat takjub melihat penampilan Melani yang
sangat cantik dan berbeda dari biasanya itu di hadapan Melani, ia berusaha
menahan dirinya. Gengsi.
“Siapa loe?” ucapan sambutan Rendy kepada Melani.
“Maksud kamu apa? Aku Melani.”
“Malam ini loe beda,” ucap Rendy pelan seperti bicara sendiri.
“—cantik,”
“Apa?”
“Enggak.”
“Oh iya! Ini ada kado buat kamu,” Melani menyerahkan kado yang ia
terima dari Ibu paruh baya tadi. “Kado ini dari Ibu-ibu yang tadi duduk diluar.
Tapi sekarang dia udah pergi. Mungkin kamu enggak sempet liat.”
“Siapa?” tanya Rendy penasaran.
“Aku enggak tahu. Pas aku mau tanya namanya dia keburu pergi.”
Rendy segera membukanya. Didalamnya terdapat sebuah lukisan yang sangat
indah. Lukisan yang dibuat ketika ia berlibur ke sebuah desa. Dan liburan itu
merupakan liburan terakhirnya bersama Papanya—bersama keluarganya.
Selamat ulang tahun.
Semoga di ulang tahunmu
kini kamu semakin dewasa. Dan semua keinginan kamu dapat tercapai.
Maaf, Mama enggak bisa
menghadiri ulang tahun kamu kali ini. Semoga kado ini bisa mewakili kehadiran
Mama malam ini. Mama harap kamu suka dengan kado ini.
Mama sayang kamu.
Mama
Rendy meremas suratnya dan melemparkan kadonya dengan sangat keras
ke lantai. Lukisan itu pun terlempar jauh. Melani sangat terkejut dengan apa
yang dilakukan oleh Rendy. Ia pun segera memungut lukisan tersebut dan
meletakkannya di dalam bungkusnya semula.
“Kamu kenapa?” tanya Melani heran sedikit marah.
“Buang benda itu!” bentak Rendy.
“Kamu enggak ngehargain banget pemberian orang, ya! Ibu itu udah kasih
kamu barang yang bagus ini. Malah kamu mau buang. Kamu kenapa sih, Ren?”
“Gue minta tolong sama loe. Tolong buang benda itu!” Rendy pun
meninggalkan Melani.
Melani hanya tertegun melihat apa yang baru saja dilakukan Rendy.
Apa yang salah dari benda ini? Atau Rendy marah pada pengirimnya? Tapi siapa
orangnya? Pikirnya berulang-ulang. Dan kado itu ia letakkan bersama kado-kado
Rendy yang lainnya. Ia tidak tega membuang benda bagus pemberian ibu paruh baya
yang nampaknya sangat ingin kadonya diberikan kepada Rendy.
Selekas itu ia segera mencari ketiga temannya. Ia pun menemukan
ketiga temannya di tempat duduk yang mereka duduki ketika pertama datang, ia
segera menghampiri ketiga temannya itu.
“Lama banget sih di toiletnya?” keluh Winda.
“Ngapain aja, sih?”
“Toiletnya penuh.”
“Tahu enggak Mel, tadi aku diajak dansa sama Kak Evan.” ucap Vania.
“Asyik, dong! Sayang aku enggak liat.” ucap Melani.
“Tadi juga aku diajak nyani bareng sama Kak Bayu.”
“Kalian telat ngasih tahunya,”
“Kita pulang aja, yuk!” ajak Lyla. “Udah malem banget, nih. Nanti
kamu dimarahin Kak Andre lagi.”
“Bukannya kamu belum ngucapin selamat ulang tahun sama Kak Rendy?”
“Enggak jadi, deh. Aku liat, Kak Rendy sibuk banget. Mungkin besok
aja.”
“Ya udah, kita pulang aja sekarang.”
Mereka berempat pun pulang.
Melani masih memikirkan Rendy yang menghancurkan kado dari ibu parus
baya tadi. Ia tak tahu kenapa Rendy bisa melakukan itu semua. Rendy terlihat sangat
marah setelah membaca suratnya. Siapa pemberi kado itu? Melani sangat
penasaran. Ia terus penasaran. Di dalam mobil pun ia tidak terlalu banyak
bicara seperti biasanya.
“Mel, gimana kaki kamu? Lecet?”
“Oh, iya. Eh, iya. Bagus banget lho.”
“Kamu kenapa, Mel? Aku tanya apa, kamu jawab apa.”
“Kamu sakit?”
“Enggak. Aku enggak apa-apa, kok. Tadi kamu tanya apa, La?”
“Kaki kamu lecet, enggak?”
“Oh, itu. Iya nih, sedikit lecet.”
“Kamu beneran enggak apa-apa, Mel?”
“Beneran aku enggak apa-apa. Aku baik-baik aja, kok.”
***
Seisi sekolah gempar. Pernyataan Zaskia di depan Pak Kepala Sekolah
yang mengatakan bahwa dirinya juga kedua temannya—Tiara dan Nadia—adalah yang
telah menyebabkan Melani tersesat di hutan telah membuatnya menjadi buah bibir
satu sekolah. Tiara dan Nadia dikeluarkan dari sekolah karna tetap tidak mau
mengaku dan tidak jujur sejak awal. Berbeda dengan hukuman yang dilakoni
Zaskia, ia hanya diskors selama satu bulan. Sama sekali ia tidak keberatan
dengan hukuman yang dilimpahkan padanya. Justru hukuman ini terlampau ringan,
pikirnya.
“Kak Zaskia enggak perlu ngelakuin semua itu. Kasihan Kak Tiara dan
Kak Nadia, mereka harus dikeluarin dari sekolah. Kakak juga harus diskors.”
“Setiap perbuatan yang kita lakukan, kita sendiri yang harus
menanggung akibatnya,” ucap Zaskia bijak. “Gue jadi malu sama loe. Loe masih
merasa iba sama orang yang udah nyelakain loe. Harusnya gue bilang Pak Kepsek
sejak awal. Jadi enggak ada yang jadi tumbal.”
“Kakak tenang aja. Kata Pak Kepsek, Evita akan kembali ke sekolah,
kok.”
“Syukurlah. Jadi gue masih punya kesempatan buat minta maaf sama
dia.”
“Tapi gimana dengan Kak Tiara dan Kak Nadia?”
“Mereka udah enggak mau bicara lagi sama gue. Liat muka gue aja
mereka udah enggak mau.”
“Yang sabar aja ya, Kak.”
“Makasih ya, Mel.”
***
Kompetisi Basket
Selesai ekskul, semua anggota ekskul basket diminta Pak Ardi
berkumpul di pinggir lapangan basket.
“Dua minggu lagi akan ada kejuaraan basket se-Jakarta khusus putri.
Dan sekolah kita sudah memutuskan untuk mengikutinya.”
Riuh tepuk tangan membuat Pak Ardi berhenti sejenak.
“Saya putuskan untuk menunjuk…”
Melani sangat berharap namanya akan disebut.
“Gea, Nanda, Syafina, Rasti, Wulan, Mitha, Amanda, Lucy, dan Suci. Nanti
sore Bapak tunggu. Kita latihan tiga kali seminggu. Sekiranya cukup sekian yang
dapat Bapak sampaikan. Terima kasih atas perhatiannya.” Pak Ardi pun berlalu.
Melani sangat terpukul ketika namanya tidak disebut. Harapannya
pupus seketika. Sementara nama-nama yang tadi sempat disebut Pak Ardi
bersorak-sorak gembira.
Sejak namanya tidak disebut dalam tim inti putri basket. Ia nampak
murung. Jarang sekali berbicara. Teman-temannya sudah paham apa yang tengah
melanda sahabatnya itu. Melani sempat menceritakan kepada teman-temannya, tapi
mereka bisa apa. Yang bisa dilakukan hanya menghibur Melani.
“Kasian Melani. Aku pengen banget hibur dia. Tapi apapun yang kita
lakukan, enggak buat Melani senyum lagi.”
“Mungkin dia butuh waktu untuk menerima ini semua.”
Hari ini Melani pulang terlambat. Dilihatnya lapangan basket kosong
dan sebuah bola basket terletak di samping ring basket. Ia segera mengambil
bola basket dan melemparkannya pada ring basket dengan penuh amarah. Namun
tidak masuk. Melani terus melemparkannya disertai amarah yang terus bergejolak.
Dan bola pun tak mau masuk. Dilemparkannya bola basket dengan keras ke arah
ring, namun meleset. Bola memantul deras keluar lapangan. Melani tak
menghiraukannya. Ia terduduk lemas di tengah lapang basket. Ia pun mulai
menangis.
Bola yang memantul itu mendarat tepat di atas tangan Rendy. Dilhatnya
Melani terduduk lemas di tengah lapangan basket. Ia segera menghampiri Melani
dengan penuh tanda tanya di pikirannya.
“Kalo maen basket pake emosi, mana mau bolanya masuk.” sapa Rendy.
Melani menghapus air matanya dan mulai beranjak. Dilihatnya,
ternyata orang itu, “Rendy? Ngapain kamu disini?” tanyanya ketus.
“Gue abis latihan. Gue mau nyari bola basket yang ketinggalan, eh
ternyata ada sama loe.”
Melani hanya diam terpaku.
“Oh, gue ngerti. Loe kecewa gara-gara loe enggak ikut tim inti, kan?”
tanya Rendy sok tahu. “Gue emang enggak pernah ngalamin yang loe alamin
sekarang,”—sombong. “Gue selalu dapat yang gue inginkan. Tapi gue tahu gimana
pahitnya kegagalan. Setiap manusia akan selalu mengalami manis pahitnya
kehidupan.”—sok jadi orang bijak.
Melani masih terdiam.
“Kalo mau gue kasih saran, ya! Loe jangan marah-marah kayak gini. Enggak
akan ngehasilin apa-apa. Loe enggak boleh menyerah gitu aja. Loe harus tetap
berusaha. Gue yakin kalo loe mau tekun belajarnya, loe pasti bisa lebih baik
dari sekarang. Bahkan loe bisa jadi tim inti basket, mungkin bisa jadi
kaptennya.”
Rintik hujan pun mulai turun.
Rendy mengajak Melani untuk beranjak dari lapangan basket, namun
Melani menolak.
“Mel, loe mau sakit?”
“Kamu enggak ngerti apa yang aku rasain sekarang,” Hujan mulai
membasahi keduanya. “Aku enggak cantik. Aku bukan orang kaya. Dan aku juga enggak
pinter. Tapi aku enggak pernah berharap menjadi cantik, kaya, dan pintar. Hanya
satu yang aku mau. Aku ingin orang mengenal aku. Aku ingin punya kelebihan
daripada yang lain. Aku hanya ingin masuk tim basket dan mengharumkan nama
sekolah dengan prestasiku.” Melani mengambil bola basket dari tangan Rendy dan
melemparkannya ke dalam ring basket. Namun lagi-lagi gagal. Bola pun memantul
deras keluar lapangan. Rendy segera mengambilnya.
“Udah gue bilang, bola enggak mau masuk kalo pake amarah.” Rendy
segera unjuk kebolehannya. Shooting dari tengah lapangan dan masuk. Ia segera
mengambil bolanya. Lalu mendribble bola dari pinggir lapangan, melakukan lay-up
sempurna dan bola pun mas. Berputar-putar di bawah ring baket. Memasukkan bola
berkali-kali. Tidak ada yang meleset satu pun. Melani terpana melihatnya.
“Mau ajarin aku?” ucap Melani tiba-tiba.
“Sebenernya susah. Diliat dari cara loe lempar bola aja masih banyak
yang harus diperbaiki.” ucap Rendy dengan nada merendahkan.
Melani tidak begitu kecewa mendengar jawaban Rendy. Ia sendiri tahu
sebatas apa kemampuannya dalam hal basket. Ia berjalan keluar lapangan basket.
“Tapi enggak ada kata menyerah dalam kamus Rendy. Pelajaran
dilaksanakan setelah gue beres latihan basket. Dan pelajaran pertama kita mulai
hari ini.”
Senyum bangga mengembang di wajah Melani. Bunga-bunga dalam hatinya
kembali bermekaran. Ia membalikkan badannya. Dan setengah berlari menghampiri
Rendy.
Melani mencoba meraih bola dari tangan Rendy. Rendy tak
memberikannya. Diangkatnya bola basket tinggi-tinggi. Semakin sulit Melani
untuk meraihnya.
“Apa lagi?”
Rendy tak menjawab.
“Makasih.” ucap Melani. Hampir saja ia lupa megucapkan kata itu.
Pantas saja Rendy tak mau memberikan bola basket kepadanya. Setelah mendengar
ucapan yang diingikannya itu. Baru Rendy memberikan bola basket pada Melani.
Rendy mulai mengajari kepada Melani tentang dasar-dasar bermain basket.
Ya, walaupun dasar-dasar itu sudah
Melani mengerti ketika mengkuti ekskul basket. Namun Melani tidak berani
protes. Ia tak ingin merusak mood Rendy.
Melani memperagakan apa yang Rendy ucapkan maupun yang Rendy
peragakan. Banyak kesalahan yang Melani perbuat. Butuh berkali-kali perbaikan
agar Melani tidak berbuat kesalahan kembali. Itu sangat membuat Rendy geram.
Rasanya ingin segera mengakhiri pelajarannya kepada Melani. Namun ia berusaha
untuk sabar. Ia berusaha untuk konsisten dengan ucapannya.
Diakhir pelajaran Melani menantang Rendy untuk bermain basket satu
lawan satu.
“Berani loe nantangin gue?”
“Kan buat menguji, apa kamu sukses ajarin aku atau enggak?”
“Oke. Gue terima tantangan loe. Tapi kalo loe kalah jangan nangis,
ya.”
“Siapa bilang aku bakal kalah. Aku akan berusaha untuk ngalahin
kamu. Liat aja!”
Rendy meraih bola dari tangan Melani dan melemparkannya ke dalam
ring basket. “Three point!” terikanya.
“Ih, curang!” protes Melani. “Aku kan belum siap.”
“Siapa cepat, dia yang dapat.”
Melani kini yang akan berbuat curang. Namun geraknya sudah terbaca
jelas oleh Rendy. Ia berhasil berkelit dari Melani. Dan membawa bola ke tengah
lapangan. Melani berusaha mengejar, namun tiba-tiba ia terpeleset. Rendy segera
menghampiri. Disimpannya di samping tubuh Melani.
“Loe enggak apa-apa, Mel?” tanyanya khawatir.
Melani beranjak cepat dan mengambil bola. Lalu berlari ke bawah
ring. Dan mencetak point. “Dua-tiga!” terikanya.
“Mau maen curang, ya?”
“Kamu yang duluan maen curang.”
Permainan pun dimulai.
Beberapa kecurangan mereka lakukan. Rendy menarik tangan Melani dan
meraih bola. Melani tak kehabisan akal. Ia menggelitik atau mendorong Rendy
dari belakang.
Mereka sangat menikmati permainan. Tawa riang mengiringi selama permainan.
Sejenak permusuhan antara Melani dan Rendy terlupakan. Mereka terlalu asyik
dengan permainan. Guyuran hujan menambahkan suasana romantis keduanya.
Akhirnya permainan pun selesai juga. Dengan point 30-10. Dan
Rendylah pemenangnya. Sudah dapat dikira dari awal bahwa Rendy akan menjadi
pemenang. Sungguh sulit dipercaya apabila Melani berhasil mengalahkan pemain
terbaik satu sekolah.
Keduanya segera menepi. Menghangatkan tubuh mereka setelah diguyur
hujan. Melani mengigil kedinginan. Rendy yang hendak memakai jaketnya merasa
iba kepada Melani. Ia memakaikan jaketnya pada Melani. Awalnya Melani menolak.
Namun Rendy sedikit agak memaksa, ia pun tidak bisa berkutik.
“Gue yakin loe pasti enggak bawa jaket. Udah pake aja jaket gue.”
“Terus kamu pake apa?”
“Gue enggak mau anak orang sakit gara-gara gue.”
“Makasih!” Melani agak ragu-ragu menerima jaket Rendy. “Hmm … kalo
gitu, aku pulang duluan, ya!” seru Melani. “Kak Andre pasti udah khawatir.”
“Biar gue anterin!” Rendy menarik tangan Melani. Membuat Melani
sulit untuk menolak ajakan Rendy.
Di tengah derasnya guyuran hujan keduanya meninggalkan sekolah.
Lagaknya sudah bagai Rossy. Entah kecepatan berapa yang ia gunakan. Laju
motornya sangat cepat. Itu mengharuskan Melani berpegangan erat pada Rendy.
Sampailah di rumah Melani.
Belum satu menit Melani turun dari motor Rendy. Rendy sudah menancap
gas. Berlalu dengan cepat dari pandangan Melani. Ia lupa bahwa jaketnya masih
ada pada Melani.
Andre yang sepulang kerja tidak mendapati adiknya ada di rumah.
Sangat khawatir kepada Melani. Sepulang kerja ia belum menyempatkan makan, ia
hanya mondar-mandir di depan pintu sembari memegang ponselnya berulang kali ia
menghubungi Melani. Namun ponsel Melani tidak dapat dihubungi. Tak kehabisan
akal, ia menghubungi teman-teman Melani. Namun tidak ada diantara mereka yang
mengetahui keberadaan Melani. Ia pun memutuskan untuk mencari adik semata
wayangnya itu.
Ketika ia hendak menyalakan motornya, Melani pun datang dengan
sekujur tubunya basah kuyup.
“Kakak mau kemana?” sapa Melani.
“Kamu dari mana aja sih, Mel?” tanya Andre dengan marah.
“Mel ada pelajaran tambahan. Jadi pulangnya sore.”
“Kenapa kamu enggak ngasih kabar sama Kakak?”
“Hp Mel mati.”
“Lain kali jangan gini lagi, ya! Jangan buat Kakak khawatir kayak
gini. Liat tuh! Kamu basah kuyup gitu.”
“Iya, Kak.”
Keduanya pun masuk ke dalam rumah.
Melani segera berganti pakaian dan menghangatkan diri. Arini pun
datang sore itu. Ia dikabari Andre bahwa Melani belum pulang dari sekolahnya.
Ia sangat kahwatir pada Melani. Ketika ia datang, ternyata Melani sudah ada di
rumah. Ia pun segera memasakkan makan malam.
***
Besoknya, Melani mendengar kabar kalau Rendy sakit ini pasti karena
kejadian kemarin. Tapi siapa suruh jaketnya aku yang pake, pikir Melani.
Mendengar kabar itu, sedikit membuat Lyla murung hari itu. Ia hanya
bicara secukupnya. Ingin rasanya ia menjenguk Rendy. Tapi siapa dia? Dia tak
ada hubungan apa-apa dengan Rendy. Ketiga sahabatnya pun bisa memahami sikap
Lyla.
Sepulang sekolah Melani memutuskan untuk menjenguk Rendy. Sekalian
juga untuk mengembalikan jaket Rendy yang masih ada pada dirinya. Ia tak tahu
dimana rumah Rendy, untuk itu ia pun berniat menanyakannya pada Evan dan Bayu.
Kalau ia bertanya pada Lyla, takutnya ada salah paham.
Sampai di basecamp Rendy cs. ia melihat Evan dan Bayu sedang asyik main
bilyar. Karna kedatangan Melani, mereka menghentikan permainan dan segera
menyambutnya. Evan mempersilahkan Melani duduk.
“Tumben kamu dateng kesini?” sapa Bayu.
“Aku denger … Rendy sakit, ya?” tanyanya sambil menyeruput minuman
yang diberikan Evan.
“Oh iya,” jawab Evan. “Katanya sih demam, besok juga udah masuk
lagi.”
“Eu…” ucap Melani seperti ada sesuatu yang mengganjal. “Aku… boleh
minta alamat rumah Rendy, enggak?”
“Buat apa?”
“Aku,” gagap lagi. “mau nengok.”
“Nengok?”
“Iya,” jawab Melani seperti merasa bersalah. “Eu… kemaren aku abis
latihan basket sambil ujan-ujanan sama dia. Terus jaketnya aku pake pas pulang.
Mungkin karna itu dia jadi sakit.”
“Oh, karna itu,” Bayu pun menuliskan alamat Rendy dalam secarik
kertas dan memberikannya kepada Melani.
“Makasih ya, Kak,”
“Iya sama-sama,”
Ketika Melani hendak pergi, ia menghadangnya, “Kamu mau kemana?”
“Aku mau langsung ke rumah Rendy,”
“Tunggu dulu. Biar kita pesenin taksi buat kamu.”
“Enggak usah repot-repot, Kak. Aku bisa naik bis, kok.”
“Enggak apa-apa,” Bayu menyuruh Melani duduk lagi. “Sambil nunggu
kita ngobrol-ngobrol aja dulu.” Melani pun menurut.
“Hebat ya, kamu Mel,” puji Evan tiba-tiba, membuat Melani jadi
heran. “Dari banyak cewek yang ngejar-ngejar Rendy, cuma kamu yang berhasil
deket sama dia.”
“Siapa bilang aku ngejar-ngejar Rendy?” jawab Melani agak marah.
“Gue salut sama loe, banyak cewek yang rela ngelakuin apapun buat
deket sama Rendy. Eh, itu anak malah deketnya sama kamu.”
“Mungkin traumanya sama cewek udah ilang,” celetuk Evan.
“Maksud Kak Evan?” tanya Melani tak mengerti. “Rendy pernah
disakitin sama cewek.”
“Bukan gitu,” sanggah Bayu. “Rendy punya hubungan yang enggak baik
sama ibunya sejak ayahnya meninggal sepuluh tahun yang lalu. Rendy sangat dekat
dan sayang banget sama bokapnya. Dan saat bokapnya dipanggil Tuhan, Rendy
sangat-sangat terpukul. Nyokapnya yang juga sama-sama terpukul menyibukkan diri
dengan kerja. Padahal Rendy saat itu sangat butuh ibunya. Itulah yang membuat
Rendy jadi enggak respek sama ibunya sendiri.”
“Pantes dia jutek banget,” komentar Melani.
“Sebenernya Rendy juga udah enggak betah tinggal di rumahnya,”
lanjut Evan. “Cuma dia punya adik yang sakit-sakitan,. Dia sayang banget sama
adiknya.”
Mendengar semua cerita Evan dan Bayu, pandangan Melani terhadap Rendy
jadi berubah 180°. Kini ia tahu mengapa sikap Rendy begitu dingin. Kasihan
juga. Dibalik raganya yang rupawan, namun hatinya sangat kekurangan kasih
sayang.
“Jadi kamu maklum aja,” ucap Bayu. “Kamu coba deketin dia, buat dia
menerima ibunya lagi. Bantu dia untuk mendapatkan kebahagiaanya lagi.”
“Kenapa harus aku?”
“Rendy orangnya keras kepala,” curhat Evan. “Udah sering kita ngasih
tahu, tapi selalu pura-pura enggak denger. Malah kita pernah kena bogem
mentahnya. Dia juga sulit untuk berteman. Kita harap kamu bisa merubah
sikapnya.”
“Tapi siapa aku? Aku juga belum lama kenal sama Rendy.”
“Eh, taksinya udah dateng,” ucap Bayu. Percakapan mereka buntu
sampai disitu.
“Ya udah, kita lanjut ngobrolnya nanti lagi aja, ya!”
“Iya, Kak!” jawab Melani sambil beranjak. “Makasih ya, Kak, buat
semuanya.”
“Iya, sama-sama.” Melani pun keluar dari basecamp Rendy cs. Dan
segera masuk ke dalam taksi yang membawanya menuju rumah Rendy.
***
Kedatangan Melani disambut ramah oleh seorang pembantu rumah tangga
di rumah mewah Rendy. Pembantu yang kerap disapa Bik Imas itu mengantarkan
Melani sampai kamar Rendy.
“Ini kamarnya Mas Rendy!” tunjuk Bik Imas.
“Makasih, Bik.”
“Kalau begitu saya permisi.”
Melani mulai mengetuk pintu kamar Rendy.
“Siapa?” sapa suara dari dalam.
“Aku Melani.”
“Ngapain loe kesini? Loe enggak usah repot-repot nengok gue.”
“Aku kesini bukan buat nengok kamu, kok.” —bohong. “Aku kesini buat
balikin jaket kamu.”
“Apa enggak bisa besok? Besok juga gue udah masuk sekolah.”
“Ya…” Melani berusaha mencari alasan. “Aku juga mau minta maaf.
Gara-gara aku kamu jadi demam.”
“Enggak perlu merasa bersalah. Gue juga enggak nyalahin loe.
Sekarang loe pulang aja!”
“Kamu kenapa, sih? Orang ngasih perhatian malah dijutekin.”
“Nyokap gue aja enggak pernah perhatian kalo gue sakit. Jadi, loe enggak
perlu repot-repot perhatian sama gue. Gue butuh istirahat. Loe tahu jalan
keluar, kan? Simpen aja jaket gue di depan pintu.”
Melani pun menyimpan jaket Rendy di depan pintu kamar Rendy. Dan
segera menjauh dari kamar Rendy. Ia juga tak mau berdebat dengan Rendy. Ketika
ia menuruni anak tangga, ia melihat seorang anak perempuan—mungkin ini adik
Rendy yang sakit-sakitan yang tadi diceritakan Evan—berjalan terpapah menaiki
anak tangga. Ia pun segera membantunya.
“Kamu mau kemana? Sini biar Kakak bantu!” sapanya.
Melani memapah anak perempuan itu sampai ke kamarnya. Ia
membaringkan anak perempuan itu dan menyelimutinya.
“Aku Chika.” ucap anak perempuan itu.
“Aku Melani.”
“Kakak temennya Kak Rendy, ya? Pasti Kakak abis diusir sama Kak
Rendy.”
Melani hanya mengangguk dan tersenyum.
“Kak Rendy emang orangnya gitu. Suka jadi bad mood kalo lagi sakit.”
Melani hanya tersenyum. Emang iya.
Pandangan Melani beralih pada sebuah novel di atas meja belajar
Chika. Ia teringat dengan kejadian beberapa bulan yang lalu. Ketika ia dan
Rendy saling memperebutkan novel Harry Potter di sebuah toko buku yang hanya
tinggal satu-satunya itu.
“Kakak juga suka Harry Potter, ya?”
“Kakak enggak nyangka bakal ketemu fans Harry Potter disini.”
“Buku ini Kak Rendy yang beliin. Kak Rendy baik banget sama aku. Dia
Kakak terbaik di seluruh dunia.”
Ternyata Rendy sayang banget sama adiknya. Pantes waktu itu dia
ngotot banget pengen novel ini.
“Dia rela ngelakuin apa aja asal aku seneng. Chika beruntung punya
Kak Rendy. Cuma sekarang Kak Rendy lagi sakit. Aku enggak berani ganggu.”
“Udah sore, nih! Kakak pulang dulu, ya!”
“Kakak sering kesini, ya? Aku enggak punya temen ngobrol. Kak Rendy
jarang ada di rumah. Mama sering pergi buat urusan bisnis. Aku kesepian.”
“Iya. Kakak janji bakal sering kesini. Buat nemenin Chika.” Melani
pun pergi meninggalkan kamar Chika.
Di halaman rumah Rendy, ia berpapasan dengan seorang ibu paruh baya.
Jalannya sangat terburu-buru. Hampir saja menyenggol bahu Melani. Nampaknya ibu
paruh baya itu Melani kenal. Ia pernah bertemu ibu paruh baya itu. Tapi dimana?
Sekarang ia ingat. Ia pernah bertemu ibu paruh baya itu di pesta
ulang tahun Rendy tempo hari. Ingin ia menyapanya, namun ibu itu sudah masuk ke
dalam rumah Rendy. Sudahlah, mungkin lain waktu ia bisa menyapanya. Di pintu
gerbang ia bertemu dengan Pak Satpam penjaga rumah Rendy. Ia pun
menghampirinya.
“Siang, Pak!” sapanya.
“Siang. Ada perlu apa ya, Neng?”
“Boleh saya tanya sesuatu?”
“Ada apa gitu, Neng?”
“Ibu yang masuk barusan siapa, ya?”
“Oh, Bu Sinta. Dia Mamanya Mas Rendy. Memangnya ada apa, Neng?”
“Oh… enggak apa-apa. Makasih, Pak! Saya permisi.”
“Mangga atuh, Neng!”
Esoknya Rendy kembali masuk sekolah. Mood Rendy kembali memburuk. Ia
jadi dingin dan jutek lagi. Dan ia juga tidak mengajari Melani basket lagi.
Melani pun tak berani dan malas untuk meminta Rendy mengajainya lagi. Keduanya
pun kembali bagai kucing dan anjing. Melani memutuskan untuk belajar sendiri.
Menambah-nambah dari yang diajari pada saat ekskul. Juga belajar melalui
internet. Dan pada saat ekskul pun ia sangat memperhatikan ketika Pak Ardi
menerangkan.
Hari-hari berlalu, Melani dan Rendy tidak berhubungan lagi. Namun
diam-diam Rendy selalu melihat Melani latihan dari kejauhan.
Selesai jam ekskul semua anggota ekskul basket diminta berkumpul.
Nampaknya Pak Ardi akan mengumumkan sesuatu yang penting kepada semua anak
didiknya.
“Alhamdulillah. Tim yang kita kirim sebagai perwakilan berhasil
lolos dalam seleksi. Satu langkah lagi kita akan menuju semifinal. Bapak harap
tim kita bisa masuk ke semifinal, dan bahkan bisa memenangkan kompetisi kali
ini. Bapak minta doanya dari kalian semua.”
“Ya, Pak!” jawab semua serentak.
“Melani nanti sore kamu ikut latihan, ya? Saya lihat permainan kamu
akhir-akhir ini cukup meningkat. Bapak mau kamu ikut pertandingan minggu depan.”
Melani tidak percaya. Ia tidak bisa mempercayai bahwa dirinya
ditunjuk Pak Ardi sebagai pemain. Ia senang luar biasa. Kemudian tanpa sengaja ia
melihat ke arah Rendy. Rendy pun membalas senyumnya.
“Terima kasih, Pak!” ucapnya terbata-bata.
Semua siswa-siswi pergi ke ruang loker untuk mengganti pakaian dan
pulang. Namun Melani masih berada di lapangan basket. Diam terpaku berhadapan
dengan ring basket. Ia masih belum bisa mempercayai bahwa dirinya terpilih
menjadi pemain.
Tiba-tiba seseorang melemparkan bola basket ke dalam ring basket.
Itu membuat lamunan Melani buyar seketika.
“Apa gue bilang. Loe pasti bisa. Kalo loe mau berusaha untuk bisa
dan menjalaninya dengan tekun.” ucap orang itu.
“Makasih. Mungkin semua ini tak lepas dari bantuan dan dukungan
kamu.”
“Kenapa loe enggak minta gue ajarin lagi?”
“Aku tahu kamu lagi bad mood. Aku enggak mau ganggu kamu. Lagipula
aku bisa belajar sendiri.”
“Gue kan udah bilang, gue akan selalu konsisten dengan ucapan yang
pernah keluar dari mulut gue.”
“Kan udah aku bilang juga aku bisa belajar sendiri.”
“Gue mau liat hasil loe belajar sendiri!”
“Maksud kamu?”
“Gue nantangin loe.”
“Deal.”
Melani dan Rendy mulai bermain. Kecurangan masih jelas terlihat dari
permainan mereka. Kecurangan itu tidak jauh berbeda dari yang mereka lakukan
tempo hari. Mereka sangat menikmati permainan. Canda tawa mengiringi permainan,
setiap kali mereka melakukan kecurangan maupun memasukkan bola ke dalam ring.
Kali ini Rendy juga yang memenangkan permainan. Melani tidak begitu
kecewa ia kalah. Karena hasil kali ini tidak jauh berbeda. Melani tidak kalah
telak dari Rendy. Dengan point 40-20. Melani masih bangga pada dirinya sendiri.
“Besar juga peningkatan loe.” puji Rendy. “Kewalahan gue ngadepin
loe.”
“Tumben kamu puji aku.”
“Enggak suka?”
“Biasanya kan kamu selalu nyela aku. Enggak pernah kamu bilang aku
bagus.”
“Tapi barusan gue masih pake kekuatan gue, ya… paling seperempatnya.
Kalo gue pake kekuatan penuh mungkin loe kalah telak lagi.”
“Nyebelin kamu! Emang enggak ada bagus-bagusnya aku di mata kamu.”
Melani pun pergi. Namun beberapa menit kemudian ia kembali lagi. Dan mendorong
Rendy sampai tersungkur jatuh.
“Heh…” teriak Rendy.
***
Melani tak lupa berbagi kebahagian bersama ketiga temannya. Ketika
pagi, saat jam pelajaran pertama belum dimulai. Ia mengagetkan ketiga temannya
yang tengah ada di kelasnya menemani Lyla membuat pekerjaan rumah dari Pak Qosim, fisika.
“Guys!” sapa Melani. “I have good news.”
“What?” tanya Vania tak peduli sambil asyik memainkan hp barunya.
“Aku jadi tim inti di kompetisi basket se-Jakarta tahun ini. Ya,
meskipun hanya sebagai pemain cadangan. Tapi aku tetep seneng.”
“Serius?” tanya Winda tak percaya.
“Swear! Ngapain aku bohongin kalian? Kalo enggak percaya tanya
langsung aja Pak Ardi.”
“Kalo gitu selamet ya, Mel!” ucap Vania dan Winda berbarengan.
“Semoga dengan adanya kamu, perwakilan sekolah kita bisa menang.”
“Amin!”
Kebahagiaan Melani makin bertambah setelah mendapat support dari
kedua temannya. Namun ketika ia melihat Lyla, Lyla tak memberi respon apa-apa.
“La, kamu enggak seneng denger berita baik aku, ya?”
“Aku mau tanya sesuatu sama kamu.”
“Aku buat kesalahan sama kamu?”
“Aku denger akhir-akhir ini kamu lagi deket sama Kak Rendy. Apa itu
bener?”
Vania dan Winda langsung menghentikan aktivitas mereka yang asyik
sendiri. Dan memperhatikan ketegangan yang tengah terjadi.
“Kamu marah soal itu? Aku sama Rendy enggak ada apa-apa, kok. Kamu
jangan salah paham. Aku bisa jelasin semuanya.”
“Aku cuma ingin tahu, iya atau enggak?”
“Iya…”
Winda menggelengkan kepalanya.
“Ta… tapi aku bisa jelasin, kok. Rendy cuma ajarin aku basket. Kita enggak
ada hubungan apa-apa. Aku harap kamu bisa percaya. Aku bisa buktiin.”
“Aku percaya sama kamu, kok.”
“La…?”
“Selamet, ya! Akhirnya keinginan kamu terkabul.” Lyla pun
melanjutkan kembali mengerjakan pekerjaan rumahnya.
Vania dan Winda tak bisa berkata apa-apa. Mereka kembali melanjutkan
aktivitas mereka. Melani sendiri masih merasa bersalah pada Lyla. Ia yakin Lyla
masih marah padanya. Ia bertekad dalam diri, ia akan membuat Lyla percaya bahwa
ia dan Rendy tidak ada hubungan apa-apa.
Hari yang ditunggu-tunggu Melani akhirnya datang juga. Hari ini
Melani izin tidak mengikuti pelajaran. Ia bersama teman-teman yang lain
berangkat menuju tempat kompetisi basket, SMA Negri 77 Jakarta, menggunakan bis
pribadi sekolah.
Sampai disana seluruh bangku penonton diisi oleh siswa-siswi SMAN 77,
ternyata Melani dan kawan-kawan akan memperebutkan tiket semifinal dengan
pribumi. Awalnya Melani dan kawan-kawan sempat ciut, karena SMAN 77 banyak yang
mendukung, sementara SMA Pertiwi tak ada satupun. Namun Pak Ardi terus memberi
semangat kepada anak asuhnya. Dan nyali Melani dan kawan-kawan tidak ciut lagi.
Pertandingan dimulai. Banyak serangan dari SMAN 77. Namun SMA
Pertiwi mampu untuk mematahkan serangan yang bertubi-tubi itu. Sampai babak
kedua berakhir SMAN 77 mengungguli SMA Pertiwi. Tak apa permainan belum
selesai, masih banyak waktu untuk mengubah keadaan.
Di pertengahan babak ketiga Gea mengalami kram. Ia harus ditandu ke
luar lapangan. Pak Ardi pun mengutus Melani untuk menggantikan Gea. Melani
terkenal dengan lemparan dan penangkapan umpan yang jarang sekali meleset
maupun direbut tim lawan. Ia tidak banyak mencetak point. Akhirnya keadaan pun
berubah diakhir babak ketiga SMA Pertiwi mampu mengungguli SMAN 77. Dan keadaan
itu mampu di pertahankan sampai babak keempat berakhir. Dan skor akhirnya 71-66.
Dimenangkan oleh SMA Pertiwi. Kemenangan ini belum berarti apa-apa. Karna masih
ada semifinal dan final yang harus mereka lalui.
Menuju semifinal masih satu minggu lagi. Mereka masih harus berlatih
untuk bisa lolos ke final. Tidak ada latihan tambahan. Latihan tetap dilakuan
tiga kali dalam seminggu. Pak Ardi tidak menginginkan tim asuhannya dibebankan
dengan keharusan untuk menang. Pak Ardi hanya ingin anak asuhnya menunjukkan
permainan yang terbaik.
Sejak kejadian pagi itu, terlihat jelas Lyla agak jaga jarak pada
Melani. Ia hanya berbicara seperlunya kepada Melani. Melani mengerti mengapa
Lyla bisa berubah sikap padanya. Melani selalu berusaha agar Lyla bisa
memaafkannya. Ia terus mendekati Lyla. Walaupun setiap Lyla ia dekati, Lyla
selalu menghindar.
Hari ini Melani tidak ada jadwal latihan basket. Ia bisa pulang
lebih awal. Ketika ia dan teman-temannya melewati parkiran, pada saat yang sama
Rendy juga akan pulang dengan motor ninjanya.
“La, kaki kamu sakit, ya?” ucap Melani tiba-tiba. Rendy tidak
menghiraukannya.
Lyla tidak mengerti apa yang diucapkan Melani. Ia memandang Melani
penuh tanya. Melani mengedipkan matanya ke arah Lyla. Dan ia pun semakin tidak
mengerti.
“Gimana kalo Rendy anterin pulang?”
“Bener juga, tuh.” tambah Winda.
“Kenapa harus gue? Disini banyak orang. Minta aja bantuan mereka!”
“Kan kamu yang paling deket.” ucap Melani.
“Gue enggak mau.”
“Ih, kok Kakak gitu, sih. Ada cewek yang kakinya kesakitan, Kakak enggak
peduli sama sekali. kakak enggak kasian sama Lyla?” ucap Vania.
“Enggak nyangka. Ternyata Kak Rendy kayak gini.” Winda menambahkan.
“Iya. Iya. Loe gue anterin pulang.” Rendy pun menyerah. “Cepetan
naik! Waktu gue bukan cuma untuk anterin loe pulang.”
Lyla pun tersenyum. Kini ia mengerti mengapa tiba-tiba Melani
melakukan hal itu. Lyla pun segera naik ke atas motor Rendy dengan perlahan.
Dan Rendy segera melaju.
“Pinter juga kamu, Mel!” puji Vania.
Tiba-tiba ponsel Melani berdering. Sebuah pesan singkat baru saja
masuk. Pesan singkat itu berasal dari Lyla.
Aku percaya sama kamu.
Melani pun tersenyum dan sekarang ia dapat bernapas lega kembali.
Tak ada salah paham antara dia dan Lyla lagi. Dan sejak kejadian itu sikap Lyla
berubah kembali terhadap Melani. Ia menjadi ramah kembali terhadap Melani.
Bersenda gurau bersama lagi. Bahkan lebih baik dari sebelumnya.
Perjuangan tim basket putri untuk mendapatkan tiket menuju final
memang sangat berat. Lawan mereka adalah SMU Lusious, musuh bebuyutan dari SMA
Pertiwi. Setiap kali kedua sekolah ini bertanding, SMA Pertiwi selalu yang
mengalami kekalahan. Dari sembilan kali bertanding, SMA Pertiwi belum pernah
menang sekalipun. Namun kali ini SMA Pertiwi membuat sejarah baru. Pada babak
semifinal SMA Pertiwi berhasil mengalahkan SMU Lusious. Dengan point 62-59.
Sungguh luar biasa. Ini sangat membaenggakan bagi SMA Pertiwi. Tak hanya mereka
berhasil mengalahkan SMU Lusious, tapi mereka juga berhasil mendapatkan tiket
menuju final.
Di final SMA Pertiwi akan berhadapan dengan SMU Garuda 14. Mereka
sudah empat tahun berturut-turut memenangkan kompetisi basket putri se-Jakarta.
Namun kenyataan itu tak menyurutkan nyali Melani dan kawan-kawan. Mereka tetap
berharap bisa membawa pulang piala ‘Kompetisi Basket Putri se-Jakarta’.
Ternyata harapan semua siswa-siswi SMA Pertiwi terkabul. Meskipun
dari awal SMU Garuda 14 berhasil unggul, namun SMA Pertiwi berhasil mengejar
ketertinggalan di detik-detik terakhir. Ini semua tak lepas dari doa semua
keluarga besar SMA Pertiwi.
Walaupun selisih point yang begitu dekat, 61-60. Dan dengan selisih
satu point itu, berhasil mengantarkan SMA Pertiwi ke kompetisi nasional.
Pada kompetisi nasional SMA Periwi hanya menjadi runner up kedua.
Tapi itu sudah sangat membaenggakan bagi SMA Pertiwi. Belum pernah sekalipun
SMA Pertiwi mengikuti ajang bergengsi itu. Pernah beberapa kali tim basket
putra memenangkan kompetisi itu.
Seluruh siswa SMA Pertiwi sangat bangga atas torehan prestasi dari
anak-anak basket, khususnya Melani. Akhirnya keinginannya terkabul. Ia dapat
mengharumkan nama sekolah dengan prestasinya. Sebuah kebahagiaan yang tak dapat
dilukiskan.
***
First Date
Suatu ketika, saat Melani hendak mengambil seragamnya di dalam
loker, tiba-tiba seseorang menutup dengan sengaja pintu loker Melani. Sontak
Melani sangat terkejut.
“Enggak tahu terima kasih.” ucapnya.
“Maksud kamu apa?” tanya Melani tak mengerti.
“Loe udah gue ajarin basket. Ngasih loe dukungan. Mana balasannya?”
“Pamrih banget, sih.” keluh Melani.
“Hari gini mana ada yang gratis,”
“Iya. Iya.” Melani berpikir sejenak. “Besok sore deh, aku tunggu di
alun-alun kota jam 16:00.”
“Kok di alun-alun, sih? Kenapa enggak di mall aja?”
“Yang mau traktir, aku atau kamu? Jangan bawa motor, ya!”
“Kok gitu?”
“Mau atau enggak?”
“Iya. Gue mau. Jangan telat! Gue enggak suka nunggu.”
“Iya, Rendy bawel. Sana, ah! Aku mau ganti baju.”
Sesuai janji, Melani tiba pukul 16:00 tepat. Sementara Rendy datang
terlambat. Ia baru datang setelah Melani menunggu selama lima belas menit. Ia
datang tanpa rasa bersalah sama sekali.
“Katanya jangan telat?”
“Ya, gue cuma jaga-jaga, doang. Bisa jadi loe yang telat, kan?
Makanya gue lamain dikit. Ya udah. Sekarang kita mau kemana?”
Melani menunjuk ke arah belakang.
“Tempat apa ini?”
“Kamu enggak tahu? Ini pasar malem.”
“Tempat yang jorok itu?”
“Enggak jorok, kok. Ayo masuk!” Melani meraih tangan Rendy dan
menariknya ke dalam pasar malam.
Pada awalnya Rendy merasa jijik berada di dalam pasar malam. Belum
lagi ia harus berkerumun bersama orang-orang yang ia anggap sama menjijikannya
dengan tempat ia berpijak sekarang ini. Karna ia menganggap hanya orang-orang
berekonomi rendah saja yang mau memasuki tempat kumuh ini.
Tapi lama kelamaan, ia dapat menikmati keseruan berada di pasar
malam. Peristiwa yang baru ia alami seumur hidunya. Biasanya ia bersama
keluarga maupun teman-temannya hanya mengunjungi tempat-tempat mewah dan
berkelas. Tapi kini Melani malah membawanya ke Pasar Malam.
Lama mereka berkeliling di pasar malam. Membeli gula-gula. Melihat
sirkus. Menaiki beberapa wahana yang ada. Dan mencoba beberapa permainan.
Disini kita dapat melihat kelebihan Melani dari Rendy. Permainan banyak dimenangkan
oleh Melani. Dan Melani pun dengan sengaja menyombongkan diri pada Rendy.
Setelah puas bermain dan berkeliling perut keduanya keroncongan.
“Gue laper. Café yang deket dari tempat ini dimana, Mel?” tanya
Rendy.
“Laper? Aku tahu tempat makan yang enak.” Melani pun melanjutkan
perjalanan. Rendy tak tahu akan dibawa kemana lagi ia oleh Melani. Ia pun
segera menyusul gadis yang dua tahun lebih muda darinya itu.
Sampailah keduanya di depan sebuah tempat makan. Tempat makan bernama
‘Masakan Bebek Chef Jaka Junaedi’. Tempat makan yang bisa dibilang pedagang
kaki lima ini menyediakan berbagai hasil olahan dari dari bebek, seperti bebek
goreng, bebek panggang, bebek kuah, bebek bakar, dan beberapa hasil olahan
lainnya. Dibuka mulai dari pukul 14:00-22:00. Tempat ini cukup diminati banyak
pembeli.
“Ngapain loe ajak gue ke tempat ini?” Rendy berjalan menjauh dari
tempat yang tidak diingikannya itu.
“Katanya laper?”
“Loe pikir, gue mau makan di tempat kumuh itu? Enggak. Gue enggak
mau. Perut gue alergi makanan pinggiran jalan.”
“Ya ampun, Ren. Jangan manja, deh! Penampilannya emang kurang
menarik. Tapi kamu cobain sekali aja. Pasti ketagihan. Cobain, yuk! Makanan
disini enak banget.”
“Enggak.” Rendy tetap mengotot. “Sekali enggak, tetep enggak.”
“Ayo!” Untuk kedua kalinya Melani harus menyeret Rendy.
Melani segera mencari tempat duduk untuk dirinya dan juga pria manja
di sebelahnya. Sebuah tempat duduk memanjang di sudut kanan tempat makan itu
nampaknya belum ada yang menempati. Keduanya segera menuju tempat duduk
tersebut. Setelah mencari-cari posisi yang nyaman untuk duduk, Melani segera
melihat-lihat daftar menu.
“Mau pesen apa?” tanya Melani.
Rendy tak menjawab. Ia masih memasang wajah cemberut.
“Gimana kalo bebek panggang aja? Menu paling digemari pengunjung
disini.”
Melani pun menyeru pelayan.
“Pesan apa, Mbak?” tanya Si Pelayan ramah.
“Bebek panggang satu. Bebek bakar satu.”
“Baik, Mbak. Harap menunggu sejenak!”
Tak lama kemudian makanan yang dipesan datang juga. Melani segera
melahap bebek bakar pesanannya. Sementara Rendy hanya menatapi bebek panggang
di hadapannya. Dan menatap heran Melani yang tengah melahap bebek bakar.
“Kok enggak dimakan?”
“Udah gue biang dari awal, gue enggak mau makan disini. Lagipula
mana bisa gue makan enggak pake sendok?”
Melani segera mencuil bebek panggang milik Rendy dan hendak menyuapi
Rendy. Rendy tetap menutup rapat mulutnya. Melani semakin keras berusaha
memasukkan daging bebek ke dalam mulut Rendy. Lama mereka saling mengotot.
Akhirnya daging bebek dari tangan Melani berhasil masuk ke dalam sistem
pencernaan Rendy. Makanan yang baru saja masuk ke dalam mulut Rendy, ternyata
mampu diterima dengan baik oleh tubuhnya. Dan rasa lezat dan aroma dari bebek
panggang di hadapannya membuatnya ingin lagi mencoba. Kali ini ia sendiri yang
memasukkan daging bebek ke dalam mulutnya.
“Enak!” ungkapnya. Ia pun segera melahapnya.
“Aku bilang juga apa.”
Meskipun Melani yang sudah melahap bebek bakarnya lebih dulu dari
Rendy, namun Rendy yang terlebih dahulu menghabiskan bebek panggangnya. Melani
tercengang melihat perilaku Rendy. Lapar apa rakus? Melihat masih ada bebek di
hadapan Melani, Rendy segera mengambilnya dan melahapnya dengan cepat.
Melani tak tinggal diam ketika Rendy mencuri bebek miliknya. Ia
mengambil kembali yang sudah semestinya menjadi haknya. “Itu punya aku.”
“Gue masih mau. Ini buat gue aja.”
“Enggak. Ini punya aku.”
Keduanya saling berebut bebek bakar milik Melani, seperti kejadian
beberapa bulan yang lalu. Lagi-lagi Rendy yang berhasil mendapatkan barang yang
diperebutkan. Melani hanya bisa menggigit jari. Seusai melahap makanan yang
bukan haknya itu, ia masih belum puas.
“Satu porsi lagi, ya?” ucapnya.
“Kamu rakus banget, sih. Udah dua porsi kamu makan, masih belum
puas?”
“Abis enak, sih!”
“Enggak, ah. Uang aku enggak cukup.” Melani memanggil pelayan dan
membayar makanan yang dilahap Rendy. Setelah itu ia segera menarik Rendy keluar
dari tempat makan yang sekarang menjadi favorit Rendy.
“Kamu gila, ya? Mentang-mentang ditraktir, jadi mau pesen banyak.
Kamu pikir aku banyak uang untuk traktir kamu sebanyak itu?”
“Kata kamu sendiri. Makan sekali, langsung ketagihan.”
“Tapi kan, enggak harus ketagihannya sekarang?”
“Kamu sendiri yang bilang.”
“Ya udah. Kita pulang sekarang!”
“Taksi!” seru Rendy pada sebuah taksi yang baru saja melaju di
hadapannya. Namun taksi tersebut tidak berhenti, nampaknya taksi tersebut ada
penumpangnya.
“Hust… Ngapain kamu panggil taksi?”
“Kan mau pulang?”
“Emang aku bilang mau naik taksi?”
“Terus kita pulang naik apa? Loe sendiri yang bilang gue enggak usah
bawa motor.”
Sebuah metromini melaju di depan mereka.
“Kita naik itu!”
“Apa? Naik itu?”
“Ayo cepet! Kita bisa telat. Itu metromini terakhir ke rumah aku.”
Untuk keempat kalinya, Melani harus menarik-narik tangan Rendy. Dan
keduanya pun berhasil masuk ke dalam metromini. Penuh sesak di dalam metromini.
Untuk pertama kalinya Rendy harus berdesakkan bersama orang-orang dalam sebuah
angkutan umum. Ia merasa kegerahan. Dan ia harus berdiri pula. Tak ada kursi
kosong untuknya dan Melani duduk. Kebetulan sekali pada saat itu metromini
searah dengan rumah Melani tengah penuh-penuhnya.
“Pegangan!” ujar Melani.
“Banyak kumannya. Gue enggak mau.”
“Kamu mau jatoh?”
Rendy tak mau berdebat dengan Melani kali ini. Dengan berat hati, ia
mengikuti anjuran Melani.
Seorang pria yang duduk di sebelah Melani mengeluarkan sebatang
rokok dan ia pun menyulutnya. Asap rokok membuat metromini yang penuh dengan
orang-orang berbeda profesi semakin sesak. Berkali-kali Melani batuk-batuk dan
menutup hidungnya, berusaha agar asap beracun itu tidak mengkontaminasi
paru-parunya.
Rendy iba melihat Melani tersiksa dengan harus menghirup asap rokok.
Rasa kemanusiaanya pun muncul. Ia tak tinggal diam ia melihat Melani seperti
itu. Awalnya Rendy ingin memprotes Si Perokok untuk mematikan rokoknya. Namun
ia mengurungkan niatnya untuk memprostes pria tak bermoral itu berpakaian
layaknya seorang preman pasar. Bukannya ia takut menghadapi Si Pria garang
bertato itu, namun ia tak mau memancing keribuatan di tempat ramai. Ia pun
segera menarik tangan Melani untuk menjauh dari Si Perokok itu dan lebih
mendekat padanya. Sontak Melani terkejut dengan sikap Rendy. Namun ia tidak
memprotes. Ia tahu Rendy melakukannya untuk kebaikannya juga.
Metromini berhenti di sebuah halte untuk menurunkan dan menarik
beberapa penumpang. Nampaknya Melani mengenal halte bus ini. Halte bus ini
adalah halte bus terdekat menuju rumah Rendy.
“Ren, kamu enggak turun disini?” tanya Melani.
“Enggak.” jawab Rendy singkat.
“Bukannya ini halte yang paling deket sama rumah kamu, ya?”
“Gue mau nganterin loe pulang dulu,”
Melani hanya menunduk sambil bergumam tak jelas.
Metromini berhenti di halte dekat rumah Melani. Keduanya segera
turun. Berjalan pada malam yang sangat indah di atas jalan setapak. Diterangi
jutaan bintang yang bertebaran tak beraturan di angkasa raya. Ditambah
keindahan bulan purnama yang terang benderang.
Sampailah di depan rumah Melani.
“Makasih udah anterin aku pulang.”
“Makasih atas traktiran malam ini. Jujur aja baru kali ini gue pergi
ke pasar malem dan makan bebek panggang di kaki lima. Lain kali gue mau lagi.”
“Enggak, ah. Kapok. Abis uang aku buat traktir kamu.”
“Namanya juga baru pertama.”
“Ya udah. Kamu pulang sekarang, gih! Udah malem.”
“Ya, gue juga mau pulang sekarang, kok. Bye!” Rendy pun
memberhentikan sebuah taksi yang baru menurunkan penumpang. Rendy segera masuk
ke dalam taksi dan taksi itu pun segera melaju.
Melani hanya melambaikan tangannya dan masuk ke dalam rumah.
Esok paginya, Rendy terlihat tak seperti biasanya, raut wajahnya
memperlihatkan rasa senang yang membuncah. Sering kali ia tersenyum sendiri
mengingat kejadian kemarin malam. Kali pertamanya ia masuk ke dalam Pasar Malam
dan menyantap makanan di kaki lima. Sungguh sangat sulit dipercaya. Hari ini ia
benar-benar berbeda dari hari-hari manapun. Ia sangat bersemangat belajar. Dimarahi
guru pun ia tak balik membentak guru tersebut. Kedua temannya terheran-heran
melihat tingkah lakunya hari ini.
“Hari ini loe beda banget. What’s wrong with you?” tanya Evan.
“Gue baru sadar ternyata dunia begitu luas. Masih banyak tempat yang
menyenangkan belum gue datengin.”
“Maksud loe?”
“Ternyata main di pasar malem itu asyik, lho.”
“Loe kenapa sih, Ren?”
“Udah. Udah. Jangan loe bikin Rendy bad mood lagi, deh!”
***
Suatu ketika, seperti biasa selekas pulang sekolah dan berpisah
dengan ketiga temannya, Melani menunggu metromini yang akan mengangkut dirinya
ke halte dekat rumah di halte bus depan sekolah. Lama Melani menunggu,
metromini yang ditunggu tak juga datang. Ia dan beberapa siswa-siswi SMA
Pertiwi jadi uring-uringan tidak jelas.
Tiba-tiba sebuah sedan silver bernomor polisi B 2 FRC parkir di
hadapan Melani. Seorang pria berjas rapi keluar dari dalam mobil. Ia membukakan
pintu belakang yang tepat sejajar dengan Melani. Melani melirik kanan kiri. Tak
ada seorang pun yang menghampiri mobil itu. Siapa yang sebenarnya dimaksud Si
Pria berjas, pikirnya.
“Silahkan masuk, Nona Melani!” ucap Si Pria berjas.
“Sa… saya?”
Ia hanya mengangguk.
Dengan ragu Melani menghampiri mobil itu. Ia masuk secara perlahan
dan duduk di kursi belakang. Ternyata kursi yang di sebelahnya sudah ada yang
mengisi. Seorang ibu paruh baya yang tak dikenalnya. Si Ibu pun mulai melepas
topi besar yang menutupi sebagian kepalanya sejak Melani masuk ke dalam mobil.
“Bu… Bu…Sinta!” ucap Melani tergagap.
“Benar kamu yang bernama Melani?”
“Ya. Saya Melani.”
“Ada waktu berbicara empat mata dengan saya?”
“Ya…” ucapnya tergagap.
“Pak. Jalan!” ucap Bu Sinta.
Selama perjalanan sama sekali tidak ada percakapan. Pak sopir nampak
sangat fokus terhadap jalan. Pria berjas di depan Melani nampak sibuk sendiri.
Bu Sinta juga nampak diam seribu bahasa. Ia hanya menatap kosong ke arah luar
jendela. Melani pun hanya bisa terdiam. Sesekali ia melihat keluar jendela
apabila ada sesuatu yang membuatnya tertarik.
Tibalah keduanya di sebuah hotel megah. Nampaknya ini adalah hotel
berbintang lima terkenal di kota Jakarta yang sering dikunjungi oleh para turis
asing. Terlihat lebih banyak pengunjung asing yang berlalu lalang di dalam
hotel. Di luar terdapat sebuah taman indah yang banyak dihiasi bermacam-macam
bunga yang tentunya amat cantik. Juga rumput yang telah dibentuk sedemikian
rupa dan menghasilkan sebuah kata ‘Lariza’.
Dengan langkah kagum serta rasa tak percaya Melani mulai
menginjakkan kakinya di dalam hotel. Ia disambut dengan hormat oleh beberapa
pekerja hotel. Di sekelilingnya juga terdapat banyak pengawal. Sekarang ia tahu
bagaimana rasanya jadi pejabat, selalu dikawal kemanapun pergi.
Lama ia mengikuti langkah Bu Sinta, akhirnya ia tiba di sebuah
ruangan besar dan megah. Dengan hidangan yang luar biasa banyak, nampaknya bisa
mengenyangkan perut duapuluh orang, atau bahkan lebih. Ia dipersilahkan duduk
dengan hormat oleh salah seorang pelayan. Disuguhi beberapa makanan dan
minuman. Setelah Bu Sinta dan dirinya merasa nyaman dengan semua yang telah
disediakan, semua pelayan yang jumlahnya belasan keluar dari ruangan megah itu.
Sunyi sepi. Hanya tinggal Melani dan Bu Sinta yang berada di ruangan
megah itu. Seisi ruangan tak ada sepatah kata pun yang terdengar. Bu Sinta pun
memulai perbincangan.
“Entah dari mana saya harus memulainya. Tapi intinya saya ingin
meminta bantuan dari kamu.” ucap Bu Sinta dengan mata yang mulai berair. Dan
dalam waktu singkat wajah Bu Sinta sudah basah dialiri derasnya air mata.
Melani mengeluarkan sebuah sapu tangan dan memberikannya kepada Bu
Sinta. “I… ibu,” Melani sangat iba bercampur heran. “Memangnya ibu mau minta
bantuan apa dari saya? Saya akan berusaha membantu ibu semampu saya.”
Bu Sinta menghapus air matanya. “Saya yakin kamu pasti tahu,
bagaimana hubungan saya dengan anak saya, Rendy? Hubungan antara ibu dan anak
yang… kurang baik.” Bu Sinta semakin tak
kuasa menahan air matanya.
“Maaf. Saya sudah lancang mengetahui tentang keluarga ibu sejauh
itu.”
“Itu sama sekali tak menjadi masalah buat saya. Saya hanya ingin
kamu kembalikan Rendy seperti dulu. Rendy yang selalu tersenyum bahagia. Sejak
ayahnya meninggal dia menjadi dingin, terutama pada saya.” Tangisannya semakin
tak dapat terbendung lagi.
“Saya kan belum lama kenal sama Rendy. Saya enggak yakin bisa
melakukannya.”
“Tolong saya! Saya tidak tahu harus minta tolong siapa lagi.
Sahabat-sahabat Rendy, mereka udah sering saya mintai tolong, tapi sampai
sekarang Rendy tetap begitu. Yang saya dengar, kamu gadis yang berani menentang
Rendy. Kamu gadis pertama yang dekat dengan Rendy dan mengajak Rendy ke pasar
malam.”
“Ibu tahu saya dan Rendy malam itu…?”
“Meskipun saya selalu sibuk dengan jadwal-jadwal saya. Tapi saya
selalu meluangkan waktu untuk mengetahui kabar kedua anak saya.”
Melani hanya menunduk. Ia tak menyangka selama ia bersama Rendy, ia
selalu diawasi.
“Saya mohon, tolong bantu saya! Saya berani bayar berapapun yang
kamu mau.”
“Baiklah. Saya akan coba semampu saya. Saya enggak pamrih kok, Bu.
Saya ikhlas membantu Ibu.”
“Terima kasih banyak! Betul-betul saya berterima kasih sama kamu.”
“Sesama manusia kan udah seharusnya saling tolong menolong. Saya
juga senang bisa membantu ibu. Tapi boleh saya minta sesuatu dari ibu?”
“Kamu boleh meminta apa aja dari saya.”
“Sebelumnya saya minta maaf karna udah lancang. Yang saya tahu,
Rendy kurang kasih sayang orang tua. Ada baiknya ibu sering ada di rumah.
Menyiapkan sarapan setiap paginya. Menyambutnya ketika pulang sekolah. Apalagi
Chika kan lagi sakit. Pasti dia perlu ibu di sampingnya.”
“Baiklah. Akan saya coba. Mudah-mudahan bisa membantu.”
“Saya harap begitu. Saya yakin setiap anak sayang terhadap ibunya. Butuh
kasih sayang seorang ibu.”
“Saya benar-benar berterimakasih sama kamu, Melani. Terima kasih
banyak! Mungkin suatu saat nanti saya akan balas kebaikan kamu.”
“Sama-sama, Bu. Saya senang bisa membantu ibu.”
Bu Sinta mengikuti saran dari Melani. Hari ini dan beberapa hari ke
depan segala urusan yang berhubungan dengan perusahaan Bu Sinta serahkan kepada
pengawal setianya, Pak Irawan. Selama beberapa hari ke depan ia hanya akan ada
di rumah. Semua meeting Pak Irawan yang menghandle. Ia hanya tinggal
menandatangani segala keputusan yang sudah diambil oleh pengawal yang sudah
setia mengabdi kepada keluarga besar Ferdiansyah sejak Alm. Ferdi mulai
merintis usahanya.
Bu Sinta bangun pagi sekali. Segera saja ia menuju dapur. Dikeluarkannya
semua bahan makanan yang ada. Semua bahan untuk memasaknya pagi ini sudah
tersedia. Tapi ia masih bingung akan memasak apa. Sekitar limabelas menit ia
berpikir. Kemudian datanglah Bik Imas. Ia amat terkejut melihat majikannya
sudah ada di dapur pagi buta begini.
“Selamat pagi, Nyonya!” sapa Bik Imas. “Mengapa ibu ada di dapur
sepagi ini?”
“Bik, hari ini saya saja yang memasak, ya? Bibik lakukan pekerjaan
lain saja.”
“Tapi, Nyonya…”
“Menurut Bibik, sebaiknya pagi ini saya memasak apa?”
“Menurut saya nasi goreng cocok buat sarapan.”
“Ya sudah. Pagi ini akan saya buatkan nasi goreng penuh cinta untuk
kedua buah hati saya. Kalau mereka sudah bangun suruh tunggu di meja makan.”
“Baik, Nyonya!”
Semua hidangan hasil karya Bu Sinta sudah tersedia di atas meja
makan. Hidangan empat sehat lima sempurna sudah tersusun rapi dan siap
disantap.
Rendy sudah siap berangkat sekolah berjalan menuruni anak tangga,
diikuti oleh Chika. Rendy amat terkejut melihat ibunya yang jarang sekali ada
di rumah sudah duduk di salah satu kursi meja makan. Chika segera menduduki
kursi di sebelah Mamanya. Sementara Rendy membelok hendak keluar rumah.
“Sarapan dulu, Sayang!” seru Bu Sinta.
“Wah! Tumben Mama ada di rumah. Ini semua Mama yang masak?” tanya
Chika.
“Iya. Mama sengaja buat untuk kalian berdua.”
“Chika kangen masakan Mama. Kayaknya Mama udah lama enggak masak
buat Chika.” Lebih tepatnya belum pernah sama sekali. Ketika Papanya meninggal,
Chika masih kecil. Dan sejak saat itu Bu
Sinta jarang ada di rumah—apalagi untuk sekedar memasak. Suaminya yang sangat
ia cintai itu harus meninggalkan ia untuk selama-lamanya, membuat hatinya sakit
tiap kali mengingat hal itu. Dan untuk mengatasi sakit hatinya, ia selalu
menyibukkan diri dengan urusan bisinis perusahaan yang diwariskan
suaminya—sebelum nanti akhirnya akan diwariskan pada Rendy.
“Makanya sekarang kamu abisin makannya.” Bu Sinta mengelus rambut
anak bungsunya itu. Kemudian ia melihat ke arah Rendy. “Enggak baik pergi
sekolah tanpa sarapan. Sini! Kita sarapan bareng.”
“Aku udah terlambat. Sarapan di sekolah aja.” ucap Rendy ketus dan
ia pun melanjutkan langkahnya.
Hati Bu Sinta rasanya seperti tersayat-sayat pisau ribuan kali. Ia
amat kecewa mendengar jawaban anak sulungnnya yang begitu ketus. Hati ibu mana
yang tak sakit ketika diketusi oleh anaknya. Semangatnya kini down kembali.
Tetesan air mata pun mulai membasahi pipinya. Chika juga merasakan sakit yang
dirasakan oleh ibunya. Tapi ini semua juga berawal dari Mamanya sendiri.
Mamanya jarang ada di rumah ketika ia dan kakaknya tengah terpuruk karna
Papanya meninggal. Ketika ia dan Rendy membutuhkan belaian seorang ibu. Chika
tak bisa berbuat apa-apa. Bisa dikatakan beruntung karena Chika tidak membenci
Bu Sinta seperti Rendy.
“Nasi gorengnya enak.” ucap Chika. “Mama juga makan, dong! Katanya
mau makan bareng?”
“Oh. Iya, sayang! Mama makan. Makan yang banyak, ya!” Bu Sinta menghapus
air matanya. Ia pun tersadar bahwa ia masih memiliki Chika yang menyayanginya.
Ia tidak boleh terlihat seperti ini di hadapan Chika.
“Mungkin Kak Rendy emang udah telat. Maklumlah, namanya juga anak
sekolah.”
“Iya. Mama ngerti.” ucap Bu Sinta seperti tak bertenaga.
Sampai di sekolah Rendy tak mood untuk melakukan apa-apa. Kerjanya
hanya marah-marah saja. Setiap ada yang mengecewakan hatinya langsung saja
terkena tinjunya. Selama belajar saja, ia hanya melamun. Guru-guru yang
mengajar di kelasnya tak berani menegur.
Di basecamp-nya pun ia tak berhenti mengamuk. Setiap barang di
hadapannya ia lempar, tendang, injak. Temboknya pun hampir retak akibat ia tak
berhenti memukul dan menendang.
“Ren, loe kenapa lagi, sih?” tanya Bayu heran.
Rendy tak menjawab.
“Orang gila ngamuk loe tanya. Mana dia mau jawab.” ucap Evan.
Rendy tak menggubris ucapan Evan. Ia keluar dari ruang basecamp-nya
dengan langkah cepat.
“Apa dia ada masalah lagi ama nyokapnya?” ucap Evan setelah Rendy
keluar dari ruangan tempat ia berada sekarang.
“Kalaupun iya. Kita bisa apa? Orang kayak dia mana bisa
dinasehatin.” balas Bayu.
“Kadang gue kasian ama nyokapnya. Sering dia minta bantuan ama kita.
Tapi kita bisa bantu apa? Rendy enggak pernah mau denger kalo kita nasehatin,
terutama masalah Mamanya itu.” ucap Evan.
“Tapi gue yakin, suatu hari nanti bakal ada orang yang bisa membuat
Rendy menganggap Mamanya.”
“Tapi orangnya siapa? Selama ini Rendy enggak pernah mau dengerin
omongon orang
“Yang jelas bukan loe orangnya, Van.”
Pulang sekolah, Rendy sudah disambut belasan hidangan di atas meja.
Baunya pun harum. Membuat lidah ingin segera mencicipinya. Namun tiba-tiba Bu Sinta
datang dari dapur dengan semangkuk sayur soup kesukaan Rendy di tangannya.
“Pulang terlambat, ya? Sini makan dulu! Pasti kamu laper.” ucap
Mamanya.
“Enggak. Aku enggak laper.” jawab Rendy ketus.
Bu Sinta sangat sedih mendengar jawaban anaknya itu. Lagi-lagi
usahanya tidak dihargai anak oleh Rendy. Sakit hati yang tadi pagi saja belum
bisa ia lupakan, dan sekarang Rendy menambahnya lagi. Apa yang kini harus ia
lakukan? Kalau terus-menerus makan hati, ia juga tak akan bisa. Tapi ini juga
salahnya sendiri. Serba salah jadinya.
Malamnya Rendy juga tak ikut makan malam. Ia lebih memilih
menyendiri di dalam kamar daripada harus bertemu Ibunya di meja makan. Walau
perutnya sebenarnya tak sejutu. Sejak pagi perutnya belum diisi secuil makanan
pun. Seluruh cacing dalam tubuhnya pun berontak.
Seusai makan malam, Bik Imas mengantarkan makanan ke kamar Rendy. Ia
pun menyimpannya di atas meja belajar Rendy. Sama sekali Rendy tak meliriknya.
Pandangannya tak tak lepas dari laptop di hadapannya. Namun semakin lama
hidangan di atas meja belajarnya semakin mengeluarkan aroma harum. Cacing dalam
perutnya terus-menerus memberontak. Dan ia pun mulai mendekati hidangan itu.
dicicipinya sedikit demi sedikit. Dan ternyata… enak. Akhirnya hidangan itu
habis. Tak tersisa. Walau hanya sebutir nasi saja. Masakan Mamanya memang
terkenal lezat, tak jauh berbeda dari masakan rumah makan-rumah makan mewah di
Jakarta.
Mamanya yang melihat anaknya menghabisakan masakannya di ambang
pintu tersenyum bangga. Dengan kesabarannya, akhirnya Rendy mau memakan
masakannya.
Sejak saat itu sikap Rendy sedikit berubah. Dan sejak saat itu ia
jadi mau untuk makan bersama Mamanya di meja makan. Mamanya benar-benar
bersyukur akan perubahan anaknya itu. Melani benar, kalau ia menekuni dengan
sabar hati Rendy akan luluh juga.
***
Hari ini adalah hari minggu. Melani tak lupa akan janjinya kepada Bu
Sinta. Percobaan pertamanya akan ia laksanakan hari ini. Pagi-pagi sekali ia
berpamitan kepada Kakaknya agar bisa diizinkan pergi. Dengan alasan-alasan yang
ia kemukankan akhirnya Kakaknya pun mengizinkan.
Ketika ia datang, Rendy dan Mamanya baru saja selesai sarapan pagi.
Kedatangannya disambut hangat oleh Bu Sinta. Sementara Rendy yang teman
sekolahnya sendiri sepertinya tak suka Melani datang ke rumahnya.
“Ngapain loe kesini?” sapa Rendy ketus.
“Kita jalan-jalan, yuk!”
“Chika mau!” jawab Chika antusias.
“Enggak!” ucap Rendy dengan nada meninggi.
“Hari minggu di rumah aja itu enggak seru. Bu Sinta mau ikut, kan?”
“Enggak ada salahnya juga.”
“Tiga lawan satu. Kamu harus setuju dan ikut jalan-jalan.”
“Ya udah. Kalo kalian mau jalan-jalan, pergi aja. Gue tetep di
rumah.”
“Ren, apa salahnya sih pergi jalan-jalan bareng keluarga? Nikmati
hari libur ini dengan kebersamaan keluarga. Coba kamu liat sekeliling kamu!
Banyak anak sebatang kara, mereka pengen banget kumpul bareng keluarga mereka,
tapi mereka enggak bisa. Mereka udah enggak punya keluarga lagi.”
Rendy menatap wajah Mamanya. Ia membayangkan ketika Mamanya menyusul
kepergian Papanya. Ia pasti akan menyesal seumur hidupnya karna belum pernah
membahagiakan orang yang telah mempertaruhkan nyawa hanya untuk memberi
kesempatan baginya untuk hidup. Walau sampai sekarang, ia belum bisa memaafkan
Mamanya sepenuhnya.
“Ya, ya. Gue ikut.”
“Yes, kita dapat supir.”
Chika segera berlari menuju kamarnya. Ia mencari-cari pakaian yang
paling bagus. Ia tak mau tampil apa adanya di kali pertama ia keluar rumah
selain pergi ke rumah sakit. Ia pun mempersiapkan semua barang yang akan
dibawanya.
Bu Sinta dan Melani dibantu oleh Bik Imas mempersiapkan bekal untuk
jalan-jalan nanti. Seluruh perbekalan sudah dimasukkan ke dalam bagasi mobil.
Dan semuanya siap berangkat. Melani mengusulkan Kebun Binatang ‘Ragunan’.
Termpat wisata murah meriah yang menjadi favorit bagi warga Jakarta.
Lama mereka berkeliling. Melihat satwa-satwa yang berada di
kandangnnya. Melihat pertunjukkan harimau, gajah, dan burung elang. Sudah letih
mereka berkeliling. Walau hati belum puas, apalagi Chika. Mereka memutuskan
untuk beristirahat dan menyantap perbekalan.
Santapan yang dibawa banyak jenisnya. Dari semua yang ada kebanyakan
makanan kesukaan Rendy. Beberapa kali Melani memaksa Rendy untuk menyuapi
Mamanya—juga sebaliknya. Sekilas Rendy dan Mamanya tidak sedang mengalami
konflik. Keduanya amat dekat. Melani tersenyum bangga. Percobaan pertamanya
sukses mendekatkan kedua ibu dan anak itu. Walau hanya sementara. Tapi mereka
sangat menikmati jalan-jalan hari ini. Empat jempol untuk Melani.
Selesai menyantap perbekalan mereka pun melanjutkan berkeliling
kompleks Ragunan. Mereka menyempatkan diri untuk berfoto-foto dengan beberapa
hewan yang ada. Selain dengan beberapa hewan, Melani juga mengusulkan untuk
memotret keluarga kecil Bu Sinta. Ada foto Rendy dengan Mamanya yang terlihat
akrab, walau keakraban itu harus dipaksa oleh Melani. Salah satu foto itu
adalah ketika Rendy merangkul Mamanya. Dan ada juga foto Melani dan Rendy yang
terlihat mesra—itupun karna dipaksa Bu Sinta dan Chika. Hari ini adalah hari
terindah bagi keluarga Bu Sinta.
Hari semakin sore, tak terasa Sang Surya sudah berada di ufuk Barat.
Dan mereka harus pulang. Sebenarnya Chika masih mau berada di tempat itu.
Selain mengajak jalan-jalan, berbagai cara Melani lakukan untuk
mendekatkan Rendy dan Mamanya tanpa pamrih. Usahanya tak selalu sukses. Kadang
apa yang ia lakukan gagal total. Tapi ia tak akan menyerah sampai misinya
berhasil. Ia akan terus berusaha semampunya.
***
Hari ini SMA Pertiwi ditantang sekolah tetangga, SMA Negri 22, untuk
bertanding basket. Pertandingan basket kali ini hanya untuk menjalin
persahabatan antarsekolah. Yang akan bertanding hanya tim putra saja. Rendy
sebagai kapten menerimanya dengan tangan terbuka.
Pertandingan dimulai sepulang sekolah. Seluruh siswa-siswi antusias
untuk menonton. Ada juga beberapa siswa-siswi dari SMA Negri 22 yang datang
untuk mendukung tim sekolahnya.
Yang akan bertanding kali ini adalah Rendy, Bayu, Evan, Gugun,
Hendra, Rafa, Jason, Dimas, dan Surya. Kesembilan orang ini memang terkenal
profesional dalam bermain basket. Dan sering dikirim oleh sekolah untuk
mewakili SMA Pertiwi dalam berbagai kompetisi basket.
Pertandingan pun di mulai. Pertandingan lumayan sengit. Kedua tim
saling kejar-kejaran point. Sorak-sorai untuk mendukung tim basket putra SMA
Pertiwi tak ada berhentinya meneriakkan nama-nama pemain yang tengah bermain.
Sorak-sorai SMA Negri 22 pun tak kalah hebohnya. Walau hanya membawa pasukan
sedikit, tak mengurungkan niat mereka untuk mendukung sekolah mereka sendiri.
Melani pun ikut menonton. Awalnya ia tidak ingin, namun teman-temannya
terus-menerus memaksanya. Ia pun mau menyaksikan Rendy dan kawan-kawan unjuk
kebolehan. Melihat Melani menonton, ada sedikit energi tambahan bagi Rendy. Ia
semakin bersemangat untuk memenangkan pertandingan. Mungkin sudah ada rasa yang
berbeda, yang ia rasakan ketika melihat maupun berada didekat Melani.
Pertandingan pun akhirnya berakhir. Pertandingan dimenangkan oleh
SMA Pertiwi. Dengan selisih point yang tidak begitu jauh 62-59. Sebagai tuan
rumah tentunya SMA Pertiwi bangga akan prestasi yang tim basket putra
persembahkan bagi SMA Pertiwi. Namun SMA Negri 22 tidak merasa dendam terhadap
SMA Pertiwi. Mereka berlapang dada menerima kekalahan.
“Kekalahan bukalah akhir dari semuanya, namun merupakan gerbang
menuju kesuksesan. Saya yakin suatu saat nanti SMA Negri 22 akan dapat
mengalahkan SMA Pertiwi.” ujar kapten tim SMA Negri 22, Bagus Sholihin.
***
Holiday at Jogja
Setelah pertandingan usai, semua pemain SMA Pertiwi masuk ke ruang
ganti. Sambil beberapa pemain melepas penat dan dahaga Pak Ardi memberi selamat
kepada seluruh pemain atas kemenangan hari ini. Pak Ardi juga memberi sedikit
komentar akan pertandingan tadi. “Bapak sangat puas akan permainan kalian.
Permainan kalian semakin bagus di setiap pertandingan. Dan ini adalah
permaninan kalian yang paling baik yang pernah Bapak lihat. Terus pertahankan,
tingkatkan lagi kekompakannya. Terima kasih atas perjuangan kalian hari ini.”
“Iya, Pak.” jawab seluruh pemain serentak. Kemudian Pak Ardi keluar
dari ruang ganti. Sebelum keluar Pak Ardi memanggil Rendy untuk sedikit
berbincang tentang pertandingan hari ini.
“Loe liat Rendy pas pertandingan tadi, enggak?” tanya Bayu pada Evan
saat mereka sampai di basecamp mereka.
Evan sedikit meneliti wajah Bayu dengan heran. “Loe sakit?”
“Eh, ini anak. Gue tanya apa, jawabnya apa,”
“Loe beneran sakit. Tadi kan Rendy maen bareng sama kita. Rendy yang
segede pohon kelapa, loe enggak liat?”
“Bukan itu maksud gue,” Bayu meninggikan satu oktaf nada suaranya.
“Loe enggak liat gerak-gerik Rendy yang aneh?”
“Aneh apanya?” Evan semakin heran. “Perasaan Rendy biasa-biasa, kok.
Dimana-mana maen basket kan gitu. Malah dia banyak cetak poin dari biasanya.
Loe beneran sakit, Bay.”
“Maksud gue,” Bayu mulai menjelaskan sejelas-jelasnya pada Evan
dengan berusaha menahan marah. “Sebelum pertandingan, Rendy selalu curi-curi
pandang liatin Melani.”
“Oh, itu maksud loe,” Evan mengingat-ngingat sejenak. “Gue enggak
perhatiin, tuh.”
“Ok. Enggak penting loe liat atau enggak. Tapi menurut gue, Rendy
mulai suka sama Melani.”
Evan luar biasanya kagetnya. Sampai-sampai air yang diminumnya
muncrat, karna di saat yang bersamaan ketika Bayu mengucapkan hal itu, Evan
sedang minum. “Uhuk… huk,” Evan masih memasang wajah terkejut. “Loe enggak
salah ngomong?”
“Itu kan menurut gue. Selain bukti yang tadi, akhir-akhir ini juga
mereka kan lagi deket.”
“Tapi kan loe enggak bisa ambil kesimpulan kayak gitu.” Evan mulai
meredam kagetnya dan serius menanggapi Bayu. “Banyak cewek yang suka Rendy,
kenapa harus Melani? Cewek yang gue denger sih enggak pinter, galak, enggak
cantik, dan jauh banget kalo dibandingin sama cewek yang ngantri pengen dapetin
Rendy.”
“Melani enggak jelak-jelek amat, kok. Tinggal didandanin dikit,
pasti lebih cantik dari cewek-cewek itu. Loe liat kan waktu Melani dateng ke
pesta ulang tahunnya Rendy? Gue akui dia memang cantik, dengan dandanan
sederhananya.”
“Gue akui juga, saat itu dia cantik. Tapi hal itu hanya sementara.
Cewek tomboy gitu, mana mau sering-sering dandan?”
“Kalo gitu kita buktiin,” tantang Bayu.
“Buktiin apa?”
“Loe ikuti aja semua yang gue suruh.” Evan pun mengangguk, namun ia
masih belum mengerti apa yang akan dibuktikan oleh Bayu. Tak lama kemudian
Rendy datang. Bayu pun memulai aksinya.
“Van, loe tahu cewek yang namanya Melani, enggak?” kata Bayu sambil
mengedipkan matanya. Mendengar nama Melani disebut, Rendy sedikit menguping
pembicaraan Bayu dan Evan.
“Gue tahu.”
“Menurut loe dia gimana?” kata Bayu lagi.
“Lumayan cantik. Kalo dipoles dikit, enggak jauh dari mantan-mantan
gue, deh.”
“Menurut loe. Gue cocok enggak sama Melani?,”
“Loe sama Melani?”
“Jangan samakan Melani dengan mantan-mantan loe,” Rendy ambil
bicara. “Dia cewek baik-baik.”
“Biasanya loe anteng-anteng aja kalo gue nyari cewek baru.”
“Melani terlalu polos jika loe jadikan cewek loe yang ke sekian.”
“Loe suka sama Melani?” tanya Evan tiba-tiba.
“Gue enggak ngerti maksud loe.”
“Loe enggak pernah seperhatian ini sama cewek manapun,” Bayu
membenarkan ucapan Evan. “Tapi sama Melani loe beda. Gue bisa liat dari tatapan
loe sama dia.”
“Gue yang tahu perasaan gue sendiri,” Rendy sedikit meninggikan
suaranya. “Dan gue enggak ada perasaan apa-apa sama Melani.” Rendy pun segera
mengemasi barangnya dan pergi.
“Kalo gitu, gue enggak perlu merasa bersalah sama loe kalo gue bisa
dapetin Melani.” ucap Bayu. Langkah Rendy terhenti dia ambang pintu.
Bayu enggak penah main-main dengan ucapannya. Kalo ia sampai
benar-benar menjadikan Melani pacarnya? Hah, mikir apa gue? Rendy pun segera
bergegas pergi.
“Benar kan yang gue bilang?” kata Bayu setelah Rendy pergi cukup
jauh.
“Benar apanya? Orangnya aja bilang kagak.”
“Evan,” Bayu mulai geram menghadapi temannya yang satu ini. “Udah
berapa lama sih kita temenan?”
“Hhmm…” Evan mengingat-ngingat. “Bentar, bentar. Gue tahu. Eu…
berapa lama, ya?”
“Kita udah 13 tahun temenan.”
“Lama juga, ya. Terus apa hubungannya?”
“So, loe tahu kan gimana sifat-sifat sahabat loe?”
“Tahu,” jawab Evan singkat.
“Dan loe juga tahu kan gimana sifatnya Rendy?”
“Dan gue makin enggak ngerti apa yang loe bicarain.”
“Ngomong sama loe selalu bikin gue darah tinggi,” Bayu memalingkan
wajahnya dan mengemasi semua barangnya.
“Dan intinya?”
“Ikuti aturan main gue!” Bayu pun pergi. Sementara Evan masih belum
mengerti apa yang Bayu maksudkan.
***
Pagi-pagi sekali Melani dibangunkan oleh handphone-nya yang
berdering. Padahal ia baru saja bermimpi menjadi sorang pemain basket
profesional. Wajahnya sering muncul di media cetak maupun elektronik. Dan kini
ia sedang diwawancarai karna timnya telah memenangkan kompetisi basket
se-dunia. Dan mimpi yang sangat sulit dijumpai itupun sirna karna bunyi handphone
yang tepat di telinganya.
“Aduh…” Melani merengut. “Siapa sih yang telepon pagi-pagi? Ganggu
aja!”
Dengan malas Melani bangun dan mengangkat handphone-nya. Kebetulan
mulai hari ini sampai empat hari kedepan SMA Pertiwi diliburkan karna ada hari
nasional yang kejepit. Niatnya hari ini ia mau bangun siang. Gara-gara ada
telepon enggak ada kerjaan itu, ia terpaksa harus membatalkan niatnya.
“Hallo… Ini siapa?” sapanya dengan mata yang masih terpejam. “Ha…”
“Mel, ada kabar buruk,”
“Kabar buruk?” tanyanya heran, walau masih tidak peduli.
“Rendy kecelakaan.”
“Hah?” Melani terperanjat dari tidurnya. Bagai baru saja disambar
petir. Melani terkejut luar biasa. Ia tak mampu berkata apa-apa lagi. Mendadak
bibirnya diam seribu bahasa.
“Gue di depan rumah loe sekarang. Kalo loe masih mau ketemu Rendy
untuk terakhir kalinya, cepetan keluar! Kita pergi sekarang!”
“Ta… tapi,” Orang misterius itupun menutup teleponnya.
Kini tinggal Melani yang kebingungan. Apa yang harus dilakukannya
sekarang? Semua rasa campur aduk. Kemudian ia pergi mengambil jaketnya, lalu ia
bergegas keluar kamar dengan handphone yang masih di tangannya. Tanpa ia
sadari, ia masih memakai baju tidur.
Kakaknya yang sedang membuat sarapan, heran melihat sikap adiknya.
Biasanya pagi di hari libur Melani belum bangun. Dan tidak pernah pergi keluar
tanpa sarapan dan masih memakai baju tidur, perginya pun dengan lari-lari.
Sungguh aneh!
“Mel, kamu kenapa?” tanya Kakaknya. Melani tidak menjawab. Andre pun
semakin heran. Kemudian ia kejar Melani. Sampai di pintu gerbang, ternyata
Melani sudah pergi dengan mobil sedan merah menyala.
“Dia kenapa?” Andre semakin bingung. Kemudian ia menghubungi ponsel
Melani. Tak ada jawaban. Tak lama kemudian Melani membalasnya dengan pesan
singkat yang cukup mengurangi kekhawatiran Andre.
Aku pergi ke rumah temen. Ada temen aku yang kecelakaan. Kakak enggak
usah khawatirin aku.
Sampailah mobil yang dikemudikan Evan di halaman rumah Rendy. Turun
dari mobil Evan, Melani langsung berlari ke depan pintu rumah Rendy. Dengan
tidak sabar ia ketuk pintu rumah Rendy dengan keras. Dengan hati yang masih
diliputi rasa khawatir, Melani mondar-mandir tak keruan di depan pintu.
Sampai pintu besar itu dibuka oleh seorang pembantu, ia segera
berlari masuk ke dalam tanpa dipersilahkan sebelumnya. Pembantu itu sendiri
heran, meskipun Melani sering datang ke rumah majikannya itu, tapi belum pernah
Melani datang dengan tergesa-gesa seperti. Kemudian ia menatap pada Evan, Evan
hanya mengangguk dan tersenyum.
“Silahkan masuk, Mas!”
Melani masih terburu-buru berlari menaiki tangga. Evan hanya
tersenyum geli sambil menyakukan kedua tangannya melihat kelakuan Melani.
Tanpa pikir panjang, Melani segera membuka pintu kamar Rendy. Dan
apa yang didapatinya… Rendy sedang berganti pakaian. Melani segera membalikkan
tubuhnya sambil menutup mata. “Aku enggak liat apa-apa,” Kemudian ia keluar
dari kamar Rendy dengan wajah memerah.
“Kenapa keluar lagi?” tanya Evan.
“Aku enggak liat apa-apa.” jawab Melani setengah tak sadar.
“Maksud kamu?” tanya Evan jadi heran.
Ting…
Melani mencium sesuatu yang aneh. Kemudian ia memandang sinis pada
Evan dan memukul Evan secara tiba-tiba.
“Kak Evan bohong, ya?”
“Bohong apa?”—pura-pura enggak tahu.
“Jujur sama aku!” Melani mulai marah pada Evan. “Punya rencana apa
Kakak bohongin aku?”
Belum sempat Evan menjawab, Rendy sudah keluar kamar—tentunya sudah
memakai pakaian. Nampaknya Melani akan kena marah.
“Loe enggak pernah diajarin tata krama?”
Melani hanya tertunduk. “Maaf.”
“Loe punya tangan kan buat ketuk pintu kamar orang?”
“Aku kan udah minta maaf,” Melani jadi nyolot. “Tapi kalo mau
salahin orang, salahin Kak Evan. Dia yang buat aku kayak gini.”
Rendy menatap tajam pada Evan. “Ngomong apa loe sama ini anak?”
“Gue enggak ngomong apa-apa,”
“Bohong,” sanggah Melani. “Kak Evan bilang kamu kecelakaan. Aku kira
benaran, aku udah khawatir. Bangun tidur langsung kesini. Ternyata aku cuma
dikerjain.”
“Loe khawatir sama gue sampe segitunya?”
Nah, lho! Apa yang harus ia jawab? Ia sendiri jadi bingung. Kalau
dipikir-pikir, kenapa juga ia bisa sekhawatir ini pada Rendy?
“A… a… aku…” Melani mencoba mencari alasan. “Aku cuma khawatir sama
Chika dan Bu Sinta aja. Takutnya mereka kenapa-kenapa kamu kecelakaan.”
“Bener?” Rendy mendekatkan wajahnya ke wajah Melani. “ Kok gugup,
sih?”
“A… aku enggak bohong.”
“Loe sendiri ngapain ke rumah gue?” tanya Rendy pada Evan.
“Gue sama Bayu mau ngajak loe liburan. Bentar lagi dia juga dateng.”
“Dan buat apa loe bawa ini anak?” Matanya menunjukkan pada Melani.
“Liburan juga,”
“Liburan?” Seperti ada bom yang meledak dalam kepalanya mendengar
ucapan Evan. “Liburan apa? Sejak kapan aku setuju diajak liburan bareng kalian?
Tapi kalo gini caranya, kalian bukan ngajak aku liburan tapi niat culik aku.”
“Culik loe?” Rendy menyerngitkan dahi. “Apa yang bisa diharapkan
dari loe? Cantik kagak. Dijual juga… paling cuma buat nombokin uang makan.
Minta tebusan? Apa yang mau diminta? Penjahat manapun akan rugi kalo culik
loe.”
“Ya udah. Aku pulang aja.” Melani hendak pulang, namun dihalangi
oleh Evan.
“Kamu enggak bisa pergi gitu aja, dong.”
“Kenapa enggak?”
“Loe apa-apaan sih, Van? Biarin aja dia pulang. Enggak penting juga,
kan?”
“Kata Pak Bos juga aku enggak penting. Jadi buat apa masih disini?”
“Jangan gitu lah, Ren.” Evan menghampiri Rendy. “Tiap liburan kan
loe selalu enggak ada temen? Sementara gue dan Bayu asyik pacaran. Apa loe enggak
bosen? Kalo Melani ikut loe jadi punya temen. Kalian kan akur banget.”
“Akur dari Hongkong?” sanggah Melani lagi. “Aku tetep enggak mau
ikut.”
“Loe ada di rumah gue. Ikuti semua aturan gue. Kita pergi liburan.”
Evan pun tersenyum. Rencananya dan Bayu berjalan sempurna.
Sebelum pergi, Rendy menyuruh Melani untuk mandi. Karna tidak
mungkin pergi liburan tanpa mandi dan dandanan kucel seperti itu. Awalnya
Melani menolak. Mana pernah sih ia mandi di rumah orang? Namun semakin Melani
menolak, Rendy semakin memaksanya. Akhirnya Melani pun mau tidak mau
menyetujuinya.
Tak lama kemudian Bayu pun datang.
Di dalam mobil yang dikemudikan Rendy, Melani masih murung.
“Apa sesuatu yang kamu mau harus dipaksakan seperti ini?” tanya
Melani tiba-tiba.
“Dari kecil gue selalu mendapatkan apapun yang gue mau. Bagaimanapun
caranya.”
“Tapi itukan namanya egois,”
“Hanya dengan egois, kita bisa mendapatkan yang kita mau.”
Melani hanya mengangguk-nggaguk saja. Walau hati masih kesal kepada
Rendy. Tapi ia sadar, sejak kecil Rendy sudah dibesarkan di lingkungan keluarga
yang berada, jadi wajar kalau ia selalu mendapatkan apapun yang ia inginkan.
Tidak seperti dirinya, kalau ingin sesuatu yang diinginkan ia harus rela
mengorkankan celengannya.
Kadang hidup ini enggak adil, pikir Melani. Kenapa hanya orang kaya
saja yang mampu mendapatkan segalanya? Sedangkan orang miskin harus berusaha
sekuat tenaga hanya untuk sesuap nasi. Tidak hanya itu, orang kaya juga sering
menjadikan orang-orang miskin sebagai korban untuk mendapatkan apa yang
diinginkannya. Misalnya saja, beberapa wakil rakyat ada yang korupsi uang
rakyat, sangat jelas itu berpengaruh sekali pada rakyat. Kesejahteraan rakyat
jadi tak terpenuhi.
Duh, kok aku jadi mikir ini, sih? Melani mengeleng-geleng kepalanya.
“Astaga!” ucap Melani tiba-tiba.
“Kenapa?” tanya Rendy ketus tapi peduli.
“Aku belum kasih tahu Kakak aku,”
“Telepon aja. Susah amat.”
“Emangnya kita mau liburan kemana?”
“Jogja,”
“Kenapa enggak sekalian aku culik aku ke Mars?”
“Tadinya sih mau, cuma tiket roketnya belum ada.”
Tak perlu tanggapi orang sombong ini. “Terus aku harus bilang apa
sama Kak Andre?”
“Pergi liburan ke Jogja bareng gue,”
“Enggak bisa gitu, dong. Kak Andre pasti enggak akan kasih izin kalo
aku pergi jauh bareng cowok.”
“Disana udah ada pacar-pacarnya Evan dan Bayu.”
“Aku kan enggak kenal mereka,”
“Bilang aja, pergi liburan ke Jogja bareng temen-temen SMP.”
Ide Rendy bagus juga. Cukup untuk membuat hati Kak Andre tenang.
Tapi itu kan bohong? Jujur saja, Melani tidak terbiasa bohong pada Kakaknya
itu. Tapi mau gimana lagi? Ia sudah setengah jalan. Dengan terpaksa ia pun
memakai alasan bohong itu.
Hatinya agak tenang setelah menghubungi Kakaknya, walau sedikit
merasa bersalah.
Tiba-tiba mobil Rendy, Evan, dan Bayu menepi di depan sebuah mall
yang masih tutup. Namun di depannya sudah berdiri seorang berjas rapi menanti
kedatangan Rendy dan teman-temannya.
“Selamat pagi, Tuan Muda!” sapanya, kemudian ia mengangguk hormat
pada Rendy. Kemudian Rendy dan Melani dipersilahkan masuk. Sampai disana hanya
ada belasan pelayan, Si Pria berjas itu, Rendy dan juga Melani. Tak ada satu
pun pengunjung yang datang.
Mall gede gini kok enggak ada pengunjungnya, sih? Atau mungkin
bukanya kepagian? pikir Melani.
Rendy langsung menarik Melani ke toko pakaian wanita. Ia pun
memilihkan pakian-pakaian yang cocok untuk Melani. Cukup untuk pakaian yang
akan dibawa Melani ke Jogja. Rendy membiarkan Melani memilih sendiri pakaian
dalam dan untuk polesan akhir, Rendy memakainkan Melani topi dan kacamata.
Selesai mendandani Melani, semua pergi makan di tempat yang sudah
dipesan Evan sebelumnya. Makanan yang disajikan adalah makanan breakfast. Semua
memang belum sempat sarapan.
Banyak hidangan yang disediakan di atas meja. Melani yang terkenal
rakus, makannya paling banyak. Sampai-sampai membuat ngeri yang melihatnya.
Meskipun tak semua makanan ia jejalkan pada lambungnya, tapi itu sudah cukup
membuatnya kekenyangan.
Rencana Evan dan Bayu memang dibuat begitu matang. Jauh-jauh hari
mereka sudah memesan tiket pesawat menuju Jogja. Lama perjalanan pun dapat
dipersingkat.
Jogja, I’m coming!
Karna bangun kepagian di hari libur, Melani pun tertidur dalam pesawat.
Juga malam kemarinnya ia tak bisa tidur. Mungkin tanda-tanda akan terjadi suatu
yang buruk hari ini. Ditambah makan yang banyak, membuatnya mengantuk berat.
Sampailah di bandara Adi Sutjipto. Selesai pengecekan seluruh
dokumen kedatangan dan seluruh barang bawaan, semua bergegas menuju parkiran.
Ternyata disana sudah ada dua orang wanita cantik berdiri di depan tiga buah
mobil menyambut kedatangan Rendy dan teman-temannya.
***
Tiga buah mobil itu segera melaju menuju Monumen Jogja Kembali. Puas
berfoto-foto disana, perjalanan dilajutkan ke Museum Keraton Yogyakarta. Banyak
sekali benda-benda kuno dan bersejarah khas kota Jogja. Ada juga beberapa foto
keluarga kerajaan dan susunan keluarga.
Ketika Melani tengah asyik melihat-lihat susunan keluarga
kesultanan, Rendy menghampirinya dan sedikit mengagetkannya.
“Asyik bener liat foto-fotonya,” ucap Rendy sambil mencolek kuping
Melani.
“Ngagetin aja!”
“Bangunannya keren, ya?” ucap
Rendy lagi. “Kalo dibandingan hotel-hotel bintang lima di Jakarta, masih lebih
keren keraton ini. Ya, meskipun corak dan bentuknya jadul.”
“Ya, jelas keren, lah. Namanya juga bangunan bekas kerajaan.
Bangunan jaman dulu kan lebih bagus dari sekarang.”
“Dulu…” Rendy mulai bercerita. “Waktu gue dan keluarga pertama kali
datang ke Jogja dan mengunjungi museum ini, gue pernah minta bokap gue buat
beliin keraton ini untuk gue.”
“Kamu gila? Masak mau beli keraton? Ini kan milik pemerintah.”
“Namanya juga pikiran anak kecil.” Rendy mulai beraca-kaca.
“Bangunan ini keren banget, pikir gue saat itu. Gue mau jadiin ini rumah gue
bersama istri dan anak-anak gue.”
“Kenapa nangis?” Melani memberikan saputangannya pada Rendy.
“Enggak usah.” Rendy menolaknya dan mengucek matanya dengan punggung
tangan. “Tiap inget kejadian itu, selalu bikin gue sedih. Itu adalah kali
terakhir gue liburan sama keluarga gue.”
“Kenapa gitu?”
“Waktu di hotel, Papa tiba-tiba kena serangan jantung,” Rendy
curhat. “Dan nyawanya tak dapat ditolong. Dan sejak saat itu gue bener-bener
kehilangan bokap gue. Dia adalah orang pertama yang gue sayang. Meskipun dia
selalu sibuk dengan kejaannya, tapi dia selalu luangkan waktu buat gue. Di saat
yang bersamaan nyokap gue juga ninggalin gue dan Chika.”
“Dan sejak saat itu juga kamu marah sama Mama kamu?”
“Siapa yang enggak akan marah ketika baru aja kehilangan, lalu
ditinggalkan gitu aja?”
“Mungkin saat itu, aku akan melakukan hal yang sama. Aku butuh waktu
untuk menerima itu semua. Bahkan aku kehilangan kedua orang tuaku untuk
selama-lamanya di saat yang sama. Butuh waktu satu tahun lebih aku dapat
menerima itu semua. Tapi Kak Andre selalu ada buat support aku, dan aku pun
dapat menerima kenyataan.”
“Di saat terpuruk kamu masih mempunyai Kakak loe. Gue?”
“Kamu punya Chika yang selalu sayang sama kamu,”
“Gue butuh yang lebih dari itu,”
“Dari Mama kamu?”
Rendy terdiam. Dalam hatinya, ia membenarkan perkataan Melani. Saat
Papanya meninggal, ia sangat butuh dukungan dan kasih sayang ibunya. Namun hal
itu sangat bertolak belakang dengan kenyataanya. Dari detik itu sampai
sekarang, ia merasa belum pernah mendapatkan kasih sayang ibunya. Dan tanpa sentuhan
kasih sayang itu, kini hatinya telah membatu.
“Andai kamu mau sedikit meluangkan waktu untuk bicara dengan Mama
kamu, dan sedikit membuka hati, kamu pasti akan mendapatkan kasih sayang itu.”
“Terlambat,”
“Enggak pernah ada kata terlambat untuk mendapatkan yang kita
inginkan.”
“Gue udah enggak butuh nyokap gue lagi.”
“Tapi…” kata-kata Melani terpotong ketika Evan datang.
“Pulang, yuk!” ajak Evan.
Melani pun mengangguk. Ia mengikuti langkah Rendy dan Evan yang
sudah jalan duluan. Padahal ia masih ingin berlama-lama dengan Rendy. Ia masih
ingin bicara panjang lebar dengan Rendy. Kalau begini kan, pembicaraan mereka jadi
buntu.
Sebelum ke penginapan, semua mampir di Malioboro untuk makan. Disana
ada sebuah restahurant yang cukup terkenal dan mewah yang menyajikan makanan
khas Jogja. Makanan yang disajikan kali ini pun lebih banyak dari yang tadi
pagi. Dan meskipun sarapan tadi pagi belum dikeluarkan, Melani masih mampu
menjejalkan banyak makanan di lambungnya.
Baiknya gadis ABG seperti dia memikirkan tentang berat badan. ABG
zaman sekarang kan, gemuk sedikit sudah diet ketat. Namun berbeda dengan Melani,
dia sama sekali tidak pernah memperhatikan penampilannya. Dan tidak pernah mau
peduli apa kata orang. Tapi sebanyak apapun dia makan, dia tidak pernah menunjukkan
perbahan besar pada berat badannya.
Selesai makan di restahurant yang ternyata milik Pamannya Bayu. Semua
pergi ke sebuah villa megah, jauh dari keramaian kota Jogja dan sangat nyaman
milik keluarga Bayu.
“Disini ada enam kamar dan pas untuk kita,” urai Bayu. “Tiga kamar
diatas, sisanya dibawah. Cewek-cewek tidur diatas aja.”
Ketika Melani sedang bersusah payah menuntun kopernya menaiki
tangga. Sejak kapan sih Melani pergi-pergian pakai koper? Biasanya sih cuma
pakai tas jinjing. Nah ini, sekalinya pake koper, jadi repot sendiri. Mana yang
bikin ia repot, malah sibuk sendiri. Rendy nyebelin! gerutunya. Tiba-tiba
pacar-pacar Evan dan Bayu mengagetkannya dari belakang.
“Loe ceweknya Rendy?” tanya salah seorang dari mereka, Sonia.
“Kakak nanya sama aku?” tanya Melani balik.
“Gue nanya langit-langit,” jawabya ketus. “Ya, nanya sama loe, lah.”
“Aku… bukan ceweknya Rendy,” Melani mengeleng-gelengkan kepalanya.
“Baguslah,” ucap yang satunya lagi, Cathy. “Lagipula mana mau Rendy
sama cewek model dia. Kita aja ditolak mentah-mentah.” Mereka pun pergi dan
masih memperbincangkan Rendy.
“Pacar Rendy?” Melani mulai membayangkan ketika ia dan Rendy
‘sayang-sayangan’. “Ih… Jangan sampe, deh!” Ia pun melanjutkan susah payahnya
menaikkan kopernya tersebut.
Melani kedapatan kamar paling pojokdan kecil. Karna kopernya itu, ia
jadi tidak sempat memilih-milih kamar. Ia pun mendapatkan sisa dari pilihan
pacar-pacar Evan dan Bayu. Tak apalah, yang penting dia dapat kamar.
Hari mulai malam. Matahari sudah terbenam di ufuk barat. Melani
sudah merapikan seluruh barang bawaanya. Baru saja ia merebahkan diri di
kasur—melepas penat seharian—tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamarnya.
“Mel, kamu udah tidur?” sapanya ramah. Ini pasti bukan Rendy, pikir
Melani. Mana pernah Rendy seramah ini?
“Belum,” Melani perlahan membuka pintu. Dihadapannya sudah ada Bayu.
“Ada apa, Kak?”
“Kita jalan, yuk!” ajak Bayu.
“Ini kan udah malem?” Melani melihat jam tangannya. “Udah jam
21:00.”
“Kalo di Jogja, jam segini masih sore,”
“Enggak, ah. Aku enggak akan ikut. Aku cape jalan seharian.”
“Kalo kamu enggak ikut, kamu akan sendiri di rumah ini.”
“Kalo aku sendiri emangnya kenapa gitu?”
“Villa ini agak angker,” ucap Bayu sedikit berbisik.
Mendengar ucapan Bayu, Melani sedikit takut. Bulu kunuknya pun
mendadak berdiri. Ia jadi inget waktu dikerjai oleh Tiara cs. “Masak sih, Kak?”
“Kalo kamu enggak percaya, nanti malem jam 24:00, akan keluar
makhluk gaib dari dalem kolam. Balkon kamu kan pas banget langsung ke kolam.”
ucapan Bayu semakin membuat Melani takut.
“Kakak jangan buat aku takut, deh.”
“Aku serius.”
“Emangnya kalian mau pulang jam berapa?”
“Malem banget, deh! Kalo kamu enggak ikut, kamu bakalan terus diganggu
sama makhluk gaib itu sampai kita pulang nanti.”
“Ya udah, deh,” Melani pun menyerah. Takut juga kalau harus tinggal
berdua bareng makhluk gaib. “Aku ganti baju dulu, ya!”
“Ok. Kita tunggu di bawah. Cepetan, ya!”
Sedetik kemudian Melani muncul di ambang pintu. “Kak,” Bayu
membalikkan tubuhnya. “Emang dia keluarnya tiap hari?”
Melani memang mudah sekali dibohongi. Tapi ini adalah sebuah
keuntungan bagi Bayu, namun lama-kelamaan keberuntungan ini berubah menjadi
rasa kesal. “Iya,”
“Kakak pernah liat?” tanya Melani lagi.
“Udah tiga kali.”
“Gimana rupanya?” Melani semakin semangat menanyai Bayu.
“Jelek banget,” ucap Bayu semakin ketus. “Udah. Sekarang kamu pergi
ganti baju! Yang lain udah nunggu di bawah.” ucap Bayu sambil mendorong Melani
masuk kamarnya.
Tibalah Melani di sebuah tempat yang sangat asing baginya. Tempatnya
penuh kelap-kelip lampu remang-remang. Musiknya yang begitu keras membuat seisi
pengunjung berbicara sambil berteriak satu sama lain. Tempat apa sih ini, pikir
Melani.
Sesampainya di ambang pintu, Melani agak menolak untuk masuk. Tempat
ini terlalu aneh untuknya. Namun Bayu menariknya ke kursi panjang yang di
depannya sudah tersedia beberapa botol minuman keras.
Evan menuangkan wine itu pada enam gelas. Semua mengangkat gelas
yang terisi wine itu dan mengatakan ‘Cheers’. Dan hanya Melani yang tidak
melakukan hal itu.
“Mel, kok enggak diminum?” tanya Evan.
“I… itu minuman keras, ya?” jawab Melani sedkit risih.
“Kadar alkoholnya rendah, kok.”
“Enggak ah. Makasih.”
“Udahlah. Kalo enggak mau, enggak usah dipaksa,” ucap Rendy.
“Turun, yuk!” ajak Chaty. Semua pun beranjak dari tempat duduknya,
kecuali Melani.
“Aku juga enggak ikutan, deh.”
“Kalo gitu, kamu enggak boleh kemana-mana. Kalo ada apa-apa, panggil
aja kita disana,” sambil menunjuk ke arah kerumunan orang-orang yang sedang
menari tak keruan diiringi musik yang memekakan telinga. Melani hanya
menggangguk.
Lama menunggu, Melani mulai merasa bosan dan haus. Kemudian ia pergi
ke tempat pemesanan minum. Dan memesan air putih.
“Disini tidak disediakan air putih.”
“Kalo maksud Mbak, mau minuman tanpa alkohol. Kami menyediakan soft
drink.”
“Soft… drink?”—boleh juga sih, “tapi enggak jadi deh, Mas. Makasih.”
Bartender itu pun mengangguk dan melayani orang di sebelah Melani. Tiba-tiba
datang seorang laki-laki berpenampilan rapi dan nampak ramah. Tinggi, cukup
tampan, dan terlihat beberapa tahun lebih tua dari Melani. Ia duduk di sebelah
Melani.
“Hai!” sapanya ramah. “Aku Raka. Boleh tahu nama kamu?”
Awalnya Melani agak takut. Ia memperhatikan laki-laki itu dari ujung
rambut sampai ujung kaki. Setiap kali bertemu orang asing, ia sekalu ingat
ucapan Kakaknya, “Jangan mudah bergaul sama orang asing.”
“Apa muka aku tampang orang jahat?” Wajah dan penampilannya sih
tidak menampakkan tampang orang jahat. “Jadi, boleh tahu nama kamu?”
Melani mengulurkan tangan dan menjabat tangan Raka. “Aku Melani.”
“Nama kamu bagus,”
“Makasih.”
“Kamu kesini sendiri?”
“Ah, enggak. Temen-temen aku lagi disana,” sambil menunjuk kerumunan
yang ditunjukkan Bayu. Melani yang masih kehausan, nampak gelisah dan
memandangi setiap sudut diskotik itu. Semoga saja ada segelas air putih.
“Kamu kenapa?”
“Aku agak haus. Tapi disini enggak ada air putih.”
“Kamu enggak suka minum?”
Melani mengangguk malu-malu.
“Baru pertama kesini, ya?”
“Iya,” jawabnya agak malu-malu,
“Ini aku bawa air putih,” Raka menyodorkannya ke arah Melani.
Melani tidak segera mengambilnya, ia malah memandangi wajah Raka.
Dapatkah ia menaruh kepercayaan pada Raka? Wajahnya sih sama sekali tidak
mencurigakan. Lagipula rasa haus yang Melani rasakan tak dapat ditahan lagi.
Perlahan ia pun mengambil botol dari tangan Raka. Walau masih ragu, Melani
meminum air tersebut.
“Makasih,” ucap Melani sambil mengembalikan botol itu pada Raka.
“Buat kamu aja,”
Beberapa menit kemudian Melani mulai merasakan pusing hebat.
Seakan-akan semua benda yang ada di hadapannya mengeliinginya. Wajah Raka pun
mendadak ada lima.
“Mas, kok jadi pusing gini, ya?”
Nampaknya minuman yang Raka berikan bukanlah air putih biasa,
melainkan sejenis minuman keras. Walaupun minuman keras itu berkadar alkohol
rendah, namun itu sudah membuat Melani mabuk.
Ketika Raka hendak menggendong Melani, Rendy datang dan langsung
meninju Raka. Seketika itu juga Raka tersungkur. Melani pun terlepas dari
pegangan Raka dan terjatuh ke sudut ruangan. Kemudian ia segera menghampiri
Melani yang tergeletak setengah tak sadar di atas lantai.
“Mel, sadar! Loe kenapa?”
“Hhmm…” Melani masih setengah sadar. “Ren, kok kamu gantengan, ya?”
Ada yang tidak beres. Mulut Melani bau alkohol. Raka telah memberi
Melani minuman berakohol. Rendy membenahi posisi Melani. Kemudian ia kembali
mengurusi Raka. Ditariknya kerah baju Raka. Lalu ia meninjunya lagi. Mendengar
keributan, semua yang ada di diskotik itu mengerumuni Rendy dan Raka.
“Loe apain cewek gue?” teriak Rendy.
“So… sorry, Ren,” jawab Raka tergagap. “Gue enggak tahu kalo dia
cewek loe.”
“Loe apain cewek gue?” teriak Rendy semakin keras. Raka pun kena
tinjunya lagi.
“Gue cuma kasih minuman doang,”
Rendy meninjunya lagi. “Loe enggak tahu siapa gue? Loe berani
macem-macem sama gue?”
“Gue bener-benar minta maaf,” Rendy tak menggubris kata maaf yang
diucapkan Raka. Ia pun tak berhenti melayangkan tinjunya pada wajah Raka. Raka
pun tak dapat berkata-kata lagi, ia hampir tak sadarkan diri. Wajahnya sudah
babak belur.
Kemudian datanglah Evan dan Bayu yang menghentikan Rendy. “Ren,
cukup! Sekarang loe urusin Melani! Biar anak ini kita yang beresin.”
Rendy lupa kalau masih ada Melani. Karna emosinya yang meledak itu,
ia jadi melupakan Melani yang lebih membutukannya. Ia pun segera menghampiri
Melani dan menggendongnya.
Ketika Rendy hendak membukakan pintu mobil untuk Melani, tiba-tiba
Melani memegang bahunya dengan keras. Keduanya saling berhadap-hadapan. Awalnya
Rendy terkejut, namun kemudian ia meladeni Melani yang nampaknya akan bicara
ngawur padanya.
“Rendy…” Melani bicara setengah sadar. “Sumpah, kamu adalah orang
ternyebelin yang pernah aku temui di dunia ini. Tapi aku enggak menyesal pernah
kenal kamu. Anehnya lagi, tiap aku sama kamu, aku selalu merasa nyaman banget.”
Senyum lebar pun menghiasi wajah Rendy. Ia baru tahu, meskipun selama ini
mereka selalu adu mulut, tapi Melani selalu merasa senang di sisinya.
Dan tiba-tiba… Melani memuntahi baju Rendy. Sontak saja Rendy
mendorong Melani. Kening Melani pun terbentur kaca mobil dan sedikit lecet.
“Aaaa…” rengek Melani. Ia pun langsung pingsan.
Rendy yang super bersih dimuntahi Melani, marahnya bukan main. “Melani…”
teriaknya. Untung saja Melani dalam keadaan mabuk, Rendy pun sedikit
memakluminya.
Rendy menggendong Melani sampai ke kamarnya. Kemudian ia
menidurkannya dengan penuh perhatian. Ketika ia hendak mencium kening Melani,
ia baru sadar ternyata kening Melani terluka bekas terbentur kaca mobil tadi.
Ia pun segera mengambil kotak P3K dan mengobati luka Melani.
Besok paginya, Melani bangun dalam keadaan yang masih setengah sadar
dan kepala yang cenat-cenut. Ia melihat sekeliling, ini kan kamar aku? Kok aku
bisa ada disini? Lalu ia mengingat-ngingat kejadian semalam. Ia diajak ke
tempat aneh, duduk-duduk, ketemu Raka, Rendy… dan enggak inget lagi. Apa yang
terjadi semalam? Ia masih bingung.
Di tengah kebingungannya itu, Melani masih mampu mencium aroma bubur
yang nampaknya lezat. Di samping bubur itu, ada juga segelas susu hangat, dan
sepucuk surat untuknya.
Buburnya buat sarapan kamu.
Susunya buat menetralkan minuman keras yang kamu minum semalam. Meskipun enggak
enak, harus kamu abisin!
“Rendy?”
“Tapi apa katanya, semalam
aku minum?” Melani masih bingung. “Apa minuman yang dikasih Mas Raka? Ah, mana
mungkin? Mas Raka kan keliatannya baik.” Walau masih bingung, Melani pun
menyantap bubur tersebut. “Enak,”
Selesai makan, Melani turun ke lantai satu dan bergegas menuju dapur.
Dan mencuci bekas makannya sendiri. Meskipun ada beberapa orang pelayan, Melani
tidak mau dilayani layaknya ratu di rumah itu. Selagi ia masih bisa
melakukannya sendiri, ia tidak akan menyusahkan orang lain. Badannya pun sudah
agak enakan dan tidak pusing lagi.
Ketika Melani sedang mencuci piring, datanglah Rendy. Melani
menghentikan sejenak mencuci piringnya dan memperhatikan gerak-gerik Rendy.
Rendy mengambil sebuah cangkir dan sendok kecil, kemudian ia membuka lemari
yang berisi botol-botol berbagai minuman, kopi, gula, dan beberapa sachet
minuman seduh. Ia mengambil satu sachet cappucino, dan menyeduhnya dengan air
panas dari termos.
Ketika hendak keluar dari dapur, ia menghentikan langkahnya dan
menoleh ke arah Melani. “Ngapain loe liatin gue?”
“Aku cuma mau bilang makasih atas perhatian kamu. Makasih kamu udah
buatin aku bubur sama susu.”
“Sama-sama,” jawabnya ketus. “Lain kali jangan repotin gue lagi! Dan
satu hal lagi, jangan gampang percaya sama orang yang baru loe kenal!”
Muncul lagi deh juteknya. Melani hanya mengangguk-ngangguk. Ini
semua kan berawal dari Rendy juga. Kalau dia tidak mengajak Melanui berlibur,
ia tidak perlu repot mengurusi Melani bila terjadi apa-apa.
Melani melanjutkan cuci piringnya, namun Rendy masih dia di tempat.
Ia malah senyum-senyum sendiri. Melani jadi ngeri melihatnya. Selesai mencuci
piring, Melani iseng menanyakannya pada Rendy. “Kamu kenapa?”
“Gue cuma lagi inget perkataan loe semalem pas mabok,”
Melani mengingat-ngingat kejadian semalam. Ia sama sekali tidak
ingat apa yang dikatakannya pada Rendy. Sekilas dalam ingatannya, ia memang
sempat bicara panjang lebar dengan Rendy. Tapi apa yang dibicarakannya?
“Emang semalem aku ngomong apa?”
“Enggak penting juga, sih.” Rendy pun berjalan menuju meja, dan
duduk di salah satu kursinya.
Melani berusaha mengejarnya. Ia harus tahu apa yang ia ucapkan pada
Rendy semalam. Bagaimana kalau ia bicara yang aneh-aneh? “Rendy jangan buat aku
penasaran. Please, kasih tahu apa?”
“Kan udah gue bilang enggak penting,”
“Tapi penting buat aku,”
“Emang gue peduli?”
“Ren, jangan gitu, dong! Aku mohon, bilang sama aku.”
Rendy menatap tajam pada Melani dan mendekatkan wajahnya dengan
wajah Melani. Membuat Melani jadi salah tingkah. Sambil menahan grogi, Melani
mencoba tidak melihat mata Rendy.
“Liat mata gue!” Dengan terpaksa Melani melihat mata Rendy.
Jantungnya semakin kencang berdetak, dag dig dug tak keruan. “Loe suka sama
gue?”
Jantung Melani seakan sudah berhenti bekerja, tak ada detak
jantungnya lagi. Sekujur badannya pun bergetar. Ucapan Rendy bagai petir yang
menyambar ubun-ubunnya. Ia tak mengerti mengapa Rendy bisa berpikiran seperti
itu. Dan ia sendiri juga bingung, apa yang harus ia jawab.
“Ng… enggak,” jawabnya ragu, dan mendadak gagap.
“Jujur?” Semakin membuat Melani tak keruan. Kini sekujur tubuhnya
sudah dibanjiri keringat dingin.
“A… aku enggak suka sama kamu,” Melani mencoba mengurangi groginya.
“Jangan GR kamu! Walaupun di dunia ini cowok cuma kamu, lebih baik aku enggak
nikah-nikah selamanya.”
“Bener?”
“Udahlah,” Melani mendorong tubuh Rendy. “Omongan kamu makin ngaco.”
Ia pun pergi dengan tergesa-gesa menuju kamarnya. Sekujur tubuhnya masih
gemetar dan berkeringat dingin.
“Loe enggak mau tahu tentang kejadian semalem?” tanya Rendy saat
Melani masih di tangga.
Melani menghentikan langkahnya. “Enggak.”
“Yakin?” tanya Rendy lagi.
“Yakin,” Melani pun setengah berlari menuju kamarnya. Meskipun ia
masih penasaran, apa yang ia katakan pada Rendy semalam. Tapi yang penting
sekarang, ia harus menstabilkan seluruh kerja anggota badannya.
Tak lama kemudian Evan menghampiri Rendy dan menyeruput cappucino milik
Rendy yang sudah mulai mendingin.
“Loe apain Melani?” tanyanya kemudian.
“Enggak. Dia enggak gue apa-apain.”
“Terus kenapa dia lari ketakutan gitu?”
“Abis liat setan kali,” tebak Rendy. Tapi ia tahu sendiri mengapa
Melani begitu. Melani jadi salah tingkah karna pertanyaannya tadi.
“Setannya loe,”
Kalau seperti biasa, setiap kali diejek atau disindir Evan mapun
Bayu, Rendy selalu marah atau jadi ketus, kali ini ia berbeda. Ia malah jadi
senyum-senyum sendiri lagi. Jadi buat Evan merinding.
“Wah, kalian berdua kesambet! Ihh…” Evan pun pergi.
***
Pikiran Melani masih tak keruan. Badannya pun masih gemetar. Walau
ia sudah cuci kepalanya dengan sampo dan mencuci sekujur tubuhnya dengan sabun.
Kini badannya terasa lemas. Selesai mengganti baju dan mengeringkan rambutnya,
ia merebahkan diri dai atas tempat tidurnya.
Belum lima menit ia terlelap, seseorang mengetuk pintu kamarnya.
Terjadi lagi. Kenapa sih orang hobby banget ganggu yang mau tidur? Dengan malas
Melani beranjak dan membukakan pintu.
“Kak Evan?” Dilihatnya Evan sedang bersandar pada dinding sambil
melipat tangannya. “Ada apa, Kak?”
“Gimana keadaan kamu? Udah baikan?”
“Lumayan,”
“Kalo gitu… kamu mau ikut jalan, enggak?”
“Ke tempat yang kemaren? Enggak, deh. Aku di rumah aja.”
“Bukan,” sanggah Evan. “Kita mau ke pantai. Ikut, ya?” Melani masih
menimbang-nimbang. “Ikut aja, biar badan kamu jadi lebih fresh.”
“Ya udah, aku siap-siap dulu, ya!”
“Ok. Kita tunggu di bawah, ya!”
Tujuan hari ini adalah khusus pantai yang ada di Jogja. Tujuan
pertama adalah Pantai Baron dan Kukup. Perjalanan dari villa Rendy menuju Pantai
Baron dan Kukup cukup memakan waktu. Meskipun akhir pekan, namun jalan tidak
begitu macet.
Sampailah di pantai yang menjadi salah satu daya tarik kota Jogja.
Banyak wisatawan yang datang untuk menikmati indahnya pantai pada siang hari
ini, baik wisatawan domestik maupun mancanegara.
Matahari yang cukup menyengat pada hari ini. Banyak diantara
wisatawan asing yang berjemur di pinggir pantai. Berjalan di atas pasir putih
yang lembut tanpa alas kaki sungguh mengasikkan. Perjalanan dipimpin oleh
Rendy. Melani yang ada di belakangnya hanya diam saja sambil lirik kanan lirik
kiri memperhatikan aktivitas semua orang di pantai pada hari itu. Selain yang
berjemur, ada juga yang berjualan, berenang, berselancar, dan banyak anak yang
membuat istana pasir. Evan dan Bayu malah asyik pacaran dengan Chaty dan Sonia.
Lama Melani dan Rendy berjalan, tanpa mereka sadari, keduanya telah
ditinggal Evan dan Bayu.
“Ren,” Melani menepuk-nepuk bahu Rendy. Ia yang pertama kali menyadari
telah ditinggal berdua.
“Apa?” Rendy menghentikan langkahnya, namun pandangannya masih lurus
ke depan.
“Kak Bayu sama kak Evan enggak ada,”
Rendy membalikkan tubuhnya 180°. Dan ia tidak mendapati kedua
sahabatnya berada di belakangnya. Ia pun melanjutkan langkahnya.
“Kok kamu diem aja?”
“Terus?”
“Ya, kita nyari, dong! Gimana kalo mereka diculik?”
“Mereka udah gede, Mel. Mereka juga bisa jaga diri sendiri. Paling
juga lagi pacaran,” Mereka pun melanjutkan langkahnya.
Tak ada yang mau membuka pembicaraan. Melani juga tidak mengoceh.
Lama-lama bosan juga. Rendy pun memulai perbincangan. “Cape enggak, jalan
terus?”
“Sedikit,”
“Mau enggak sewa sepeda?” tawar Rendy.
Melani pun mengangguk. Ia juga cudah cukup lelah berjalan. Sewa
sepeda boleh juga. Sekalian irit tenaga plus irit waktu.
Mereka menggunakan sepeda sewaan menyusuri jalan beraspal di
sepanjang garis pantai. Sungguh romantis bersepeda di jalan yang cukup sepi
kendaraan dengan pemandangan ke laut lepas.
Lelah bersepeda cukup jauh dari pantai semula, mereka menepi. Jalan
beraspal itu beberapa meter lebih tinggi dari laut dan berpondasi pada batu
karang yang setiap hari di terjang ombak. Pantai dan jalan dibatasi dengan
pagar beton setinggi satu meter yang kuat.
Melani merentangkan tangannya, memejamkan matanya, dan membiarkan
rambutnya yang terurai tertiup angin pantai. Perlahan ia membuka matanya,
sungguh indah memandang indahnya lautan lepas.
Ia jadi ingat terakhir kali ia pergi liburan bersama keluarganya.
Ketika itu sedang liburan hari raya, keluarganya memilih berlibur ke pantai
Pangandaran. Kebahagian menyelimuti keluarga Melani yang saat itu masih utuh.
Sampai pada saat kebahagian itu harus sirna, saat kedua orang tua
Melani kecelakaan pesawat menuju Medan. Kedua orang tua Melani pada saat itu
harus pergi untuk mengurusi pekerjaan mereka yang selalu pergi-pergi ke luar
kota. Andre dan Melani dititipkan pada Mang Yayan—adik ibunya Melani—yang
berada di Ciamis. Pesawat yang ditumpangi kedua orang tua Melani jatuh di Selat
Sunda. Dan sampai sekarang, bangkai pesawatnya tidak dapat ditemukan. Seluruh
penumpang beserta pilot dan pramugarinya pun jasadnya tak dapat ditemukan.
Melani hanya bisa berharap ada keajaiban, bahwa pada suatu saat nanti orang
tuanya datang ke rumahnya dalam keadaan sehat wal’afiat, atau setidaknya jasad
mereka bisa ditemukan.
Sejak saat itu Andre dan Melani tinggal dengan Mang Yayan. Beliau
tidak mempunyai anak-istri. Ia memilih hidup melajang selamanya sejak cintanya
ditolak Sang Ayah Mertua. Mang Yayan pun mencari kesibukan sendiri dengan
menjadi nelayan. Dengan keuleutannya itu, ia telah menjadi salah satu saudagar
besar ikan di Ciamis.
Dua tahun yang lalu Tuhan mengambil nyawanya karna diabetesnya yang
sudah akut. Bandar ikannya pun diwariskan pada Andre. Namun belum juga sebulan
bandar ikan itu sudah hampir bangkrut karna Andre tidak mampu mengelolanya
dengan baik. Bandar ikan itupun ia jual lalu pindah ke Jakarta. Kedua orang tua
mereka masih mempunyai rumah yang cukup luas—yang ditinggali Melani sekarang.
Andre melanjutkan kuliahnya juga Melani melanjutkan sekolahnya dari warisan
peninggalan orang tua mereka. Sebulan tinggal di Jakarta lagi, Andre diterima
sebagai karyawan di salah satu perusahaan swasta.
Setiap kali mengingat masa kecilnya, Melani selalu menitikkan air
mata. Ia pun kembali memejamkan matanya. Muncul satu persatu orang yang sangat
ia sayangi yang telah lebih dulu dipanggil Sang Pencipta.
Rendy yang dari tadi memperhatikan Melani, jadi merinding sendiri.
“Mel,” Rendy memegang lembut bahu Melani. “Loe baik-baik aja, kan?”
“Hah?” Melani segera menghapus air matanya.
“Kenapa nangis?”
“Aku enggak nangis, kok.”
“Jangan bohong! Mata kamu berair,”
“Aku cuma lagi kangen sama Mama Papa aku,”
Lalu Rendy memeluk Melani. Awalnya Melani sedikit menolak, namun Rendy
memeluknya erat. Melani pun membalas pelukan Rendy.
“Kalo mau nangis, enggak perlu ditahan.” ucap Rendy lembut—tumben. “Enggak
perlu merasa bersalah atau malu. Loe boleh pake bahu gue buat nangis.”
Rendy mengerti apa yang sekarang sedang Melani alami. Karna ia
pernah mengalami hal itu pada saat Papanya meninggal dulu. Saat itu tak ada
seorang pun yang mau membantunya meringankan kesedihannya. Ia tahu bangaimana perasaan
Melani sekarang ini. Dan kini ia teringat lagi pada Papanya. Hampir saja ia
menitikkan air mata mengingat hal itu.
Tangis Melani pun tak terbendung lagi. Semua tangis kesedihan yang
selama ini ia pendam, terluapkan saat itu juga. Ia menangis sesegukkan di bahu Rendy.
Beberapa menit kemudian, Melani sudah selesai meluapkan semua kesedihannya.
Rendy melepaskan pelukannya.
“Lebih enakan, kan?”
Melani mengangguk dan menghapus air matanya.
“Kalo gitu kamu siap dong, buat balapan sepeda sampai sana?” Rendy
menunjuk ke arah jajaran pedagang yang menjajakan dagangan mereka dekat pantai
selepas pagar beton. Sekitar 500 m dari tempat mereka berada sekarang.
Melani menarik napas panjang dan menghembuskannya. Lalu ia
mengangguk. Kedua segera menaiki sepeda masing-masing.
“Yang kalah dihukum,”
“Biar aku yang itung,” tawar Melani.
Giliran Rendy yang mengangguk.
“Satu…” Melani memberi aba-aba. “Dua…” Keduanya mulai bersiap-siap.
“Tiga,” kata Melani sambil menendang ban depan sepeda Rendy. Ia pun melesat
lebih dahulu meninggalkan Rendy yang terjatuh tertimpa sepedanya.
“Aghh…” teriak Rendy. Ia pun segera bangun dan mengejar Melani yang
sudah cukup jauh darinya.
Melani yang lebih dulu sampai finish. Walau sudah sekuat tenaga
Rendy mengejar Melani, namun tetap Melani yang memenangkan balapan. Beberapa
saat kemudian Rendy pun sampai.
“Yee…” teriak Melani kegirangan. “Aku menang.”
“Enggak sah,” sanggah Rendy.
“Kenapa gitu?”
“Loe kan udah curang,”
“Kamu kan enggak bilang, enggak boleh curang. Kamu tetep harus
dihukum.”
“Enggak bisa gitu, dong. Pokoknya loe yang dihukum karna loe udah
curang.”
“Ya bisa, dong. Kamu kan cuma kasih peraturan, yang kalah harus
dihukum. Kamu kan kalah, jadi harus dihukum. Salah kamu sendiri kasih peraturan
cuma itu doang?”
“Sekali enggak, tetep enggak,”
“’Gue selalu konsisten sama ucapan yang pernah keluar dari mulut
gue’, itu kan yang pernah kamu bilang sama aku?”
“Oke,” Rendy mengalah. Salahnya sendiri bilang seperti itu. “Loe mau
kasih gue hukuman apa?”
“Sambil aku mikir, kita minum dulu, ya?” ajak Melani. “Aku haus,
nih. Kamu juga, kan?” Kemudian ia mengoes sepedanya menuju warung minuman
beberapa meter di depan mereka. Rendy mengikutinya dari belakang. Sambil
berpikir hukuman apa yang akan ia terima, mudah-mudahan enggak yang aneh-aneh.
Melani mencari tempat duduk untuknya dan Rendy. Ada beberapa kursi
yang kosong dan sebagian sudah ditempati beberapa pengunjung. Melani memilih
tempat duduk yang paling ujung, yang bisa langsung memandang ke pantai. Tak
lama kemudian Rendy datang dengan dua gelas minuman dingin.
“Makasih,”
Rendy tak menjawab, kemudian ia duduk dan meneguk minumannya.
“Aku udah tahu hukuman yang pantes buat kamu,”
“Apa?” Rendy masih kesal atas kekalahannya.
Melani menunjuk ke arah atas menyerong ke kanan sedikit. Tepat
menunjuk ke arah buah kelapa yang menggantung pada pohonnya. Melani menatap
Rendy dengan tatapan memohon tapi manja.
Rendy memandangnya heran. “Maksud loe?”
“Aku mau minum air kelapa,”
“Loe mau gue manjat, buat metik kelapa itu?”
Melani mengangguk kuat.
“Disini banyak gitu, orang yang jualan air kelapa muda. Kenapa harus
susah-susah manjat? Gue bisa beliin 100 buah kelapa buat loe. Gue enggak mau.
Loe panjat aja sendiri.”
“Kalo beli bukan hukuman namanya. Kalo beli aku juga bisa.”
Rendy tak menjawab. Ia ingat kata-katanya sendiri, selalu konsisten
dengan semua ucapannya. Ia pun bergegas menuju penjaga warung tempatnya membeli
minum sekaligus pemilik pohon kelapa yang ditunjuk Melani. Setelah bernegosiasi
beberapa menit, Rendy memberikan beberapa lembar rupiah kepada orang tersebut.
Penjaga warung itupun sementara digantikan oleh anaknya.
Sampailah di pohon kelapa yang dimaksud. Rendy mulai bersiap-siap
untu naik. Ada beberapa percakapan sebelumnya. Kemudian si pemilik pohon itu
menunjuk ke salah satu buah kelapa, yang nampaknya buah kelapa tersebut yang
harus dipetik Rendy.
Dari jauh Melani berteriak, “Rendy… kamu yang harus manjat, ya!”
“Pacarnya ya, Mas?” tanya si pemilik pohon kelapa.
Rendy hanya diam. Kemudian ia mulai memanjat. Sampai diatas Rendy
langsung memutar-mutar buah kelapa yang dimaksud, dalam hitungan detik buah
kelapa itu sudah jatuh—mahir juga, ya! Perlahan Rendy pun mulai turun.
Setelah Rendy turun, ia berjalan mengikuti si pemilik pohon yang
sudah berjalan beberapa meter darinya. Si pemilik pohon itu langsung memapas
buah kelapa yang dipetik Rendy, lalu memberikan sebuah sedotan dan payung kecil
sebagai penghias pada luang kecil yang ia congkel pada buah kelapa tersebut
sebelumnya. Kemudian dibeikan kepada Rendy.
Rendy berjalan ke arah Melani. Melani yang dari tadi menyaksikan
serta beberapa orang disekitarnya tersenyum geli melihat kelakuan Rendy.
“Ini, Tuan Putri!” Rendy menyimpan buah kelapa tersebut di hadapan
Melani.
“Makasih,” ucapnya sambil tersenyum manja. Kemudian ia meminumnya.
“Dimana-mana kalo langsung dipetik dari pohonnya, segernya beda. Enak banget!”
Rendy yang masih kesal hanya diam menanggapi ocehan Melani.
“Mau coba?” tawar Melani sambil menyodorkannya kepada Rendy. Rendy
kekeh untuk diam.
“Jangan jaim gitu, dong! Enak, kok,” tawar Melani lagi.
Penasaran juga sama rasanya. Meskipun sudah puluhan kali ia minum
air kelapa muda, tapi gimana rasanya kelapa muda yang langsung dipetik dari
pohon, ya? Apalagi ini ia sendiri yang petik. Perlahan ia pun mengambilnya, dan
menyeruputnya. Enak!
Kemudian ia mengambil alih kelapa muda itu dari tangan Melani dan
menuruputnya sekali lagi. Wah, kejadian lagi! Melani tidak bisa tinggal diam
melihat kelapa muda miliknya diambil. Meskipun itu dipetik Rendy, namun tetap
saja kepemilikannya tetap sah punya Melani. Sudah dua kali ia mengalah haknya
diambil begitu saja. Dan ia tidak mau hal itu terulang untuk ketiga kalinya.
Melani berusaha sekuat tenaga untuk meraih kelapa mudanya. Rendy
yang sudah beranjak dari tempat duduknya Melani kejar sampai dapat. Ketika Rendy
sudah tidak berlari lagi, Melani sekuat tenaga meraih kelapa mudanya. Rendy pun
semakin meninggikan kedudukan kelapa mudanya. Semakin sulit untuk Melani raih.
“Balikin kelapa muda aku!” teriak Melani. Ia mendadak jadi ganas.
“Buat gue aja, ya!”
“Enggak mau itu punya aku,”
“Ini enak, Mel. Sayang kalo gue lewatin. Ini kan yang metik gue?”
“Enggak mau. Itu punya aku. Balikin!” teriaknya semakin kencang.
“Mel, malu diliat orang.” Ternyata dari tadi banyak mata yang
memperhatikan tingkah konyol mereka. Ada yang berpendapat enggak ada kerjaan.
Ada yang menganggapanya sebagi hiburan karna kapan dan dimana lagi bisa liat
hiburan gratis dan jarang ini. Ada juga yang tidak peduli, dan sibuk dengan
kerjaannya sendiri.
“Enggak peduli. Aku cuma mau kelapa muda aku.”
Akhirnya Rendy memberikan juga kelapa muda Melani. Tapi ketika
dilihat isinya, sudah tidak ada setetes air pun. Untuk ketiga kalinya ia kalah
berebut dari Rendy. Mengapa selalu ia yang mengalah?
“Rendy…” geram Melani. Ia menjatuhkan buah kelapanya. Untung tidak
kena kaki Rendy, karna jatuhnya hanya beberapa sentimeter dari kaki Rendy. Lalu
ia pergi dengan muka cemberut.
Rendy yang merasa bersalah mengejar Melani dan menahan langkah.
Berusaha meminta maaf pada Melani. Namun Melani tidak mengubrisnya. Ia tetap
melipat wajahnya dan terus berjalan.
“Mel, maafin gue, ya!”
Melani tetap diam seribu bahasa.
“Jangan marah terus, dong! Please, maafin gue!”
“Aku udah bosen maafin kamu,”
“Jangan gitu, dong! Tuhan aja Maha Pemaaf, masak kamu enggak mau
maafin aku?”
“Jangan bawa-bawa Tuhan! Kamu udah sering bikin aku kesel. Baru aja
kamu bikin aku seneng, sedetik kemudian kamu jadi ngeselin lagi. Apa bikin aku
kesel udah jadi hobby kamu?”
“Bukan gitu…” kata-kata Rendy terpotong.
“Mau bilang ‘Abisnya enak, gue suka’, hah?”
“Ya, kan aku udah minta maaf. Kalo gitu… aku petikin lagi, mau?”
“Udah enggak mood,”
“Kalo gitu kamu mau apa?”
Jawaban atas pertanyaan Rendy, Melani hanya mendorong Rendy sampai
terjatuh. Lalu ia pun pergi. Namun langkahnya terhenti ketika ia tidak
mendengar Rendy berteiak-teriak minta maaf. Ketika ia melihat ke belakang,
Rendy sudah tidak ada disana. Hah, Rendy mana?
Melani memandang sekelilingnya. Namun tetap saja Rendy tak ada pada
pandangannya. Jangan-jangan Rendy meninggalkannya, terka Melani. Bagaimana ia
bisa pulang? Di Jogja ia tidak punya kenalan siapapun. Ia tak tahu jalan
pulang.
Tengok kanan, tengok kiri ia tetap mencari Rendy. Namun Rendy tak
kunjung ditemukan. Dan tiba-tiba… Rendy sudah ada di hadapannya secara
mengejutkan.
“Nyariin gue, ya?”
“Enggak,” jawab Melani marah, menutupi keterkejutannya.
“Maafin gue, ya!” Rendy menunjukkan sebuah es krim di hadapan
Melani.
Melani ingin tersenyum melihat tingkah Rendy untuk dimaafkannya.
Namun ia berusaha menahannya dan tetap memasang wajah cemberut.
“Ambil, ya!” Rendy memasang wajah memelas. “Kalo loe ambil, berarti
loe maafin gue,”
Melani masih diam. Rayuan Rendy ternyata belum mempan.
“Aku janji deh, enggak akan ngerebut es krim kamu. Soalnya aku juga
punya,” Rendy menunjukkan es krimnya. Ekspresi wajahnya bikin Melani ketawa.
“Nah, gitu dong! Marahnya udahan. Kan kalo ketawa keliatan cantiknya.”
Melani kembali sinis.
“Masih mau tawaran es krimnya?”
Melani pun mengambilnya juga. Itu artinya Melani sudah memaafkan
Rendy. Melani pun tidak melipat wajahnya lagi.
Keduanya pun kembali ke tempat parkir sepeda mereka sambil makan es
krim masing-masing. Tiba-tiba Rendy jadi jahil, ia mencolek eskrimnya sendiri
dan mengoleskannya pada wajah Melani. Lalu bergegas segera pergi, sebelum
Melani ngamuk lagi.
“Rendy…” teriak Melani. Hampir saja es krim di tangannya jagi peluru
untuk nimpuk Rendy.
Rendy mengajak Melani untuk mendaki batu karang yang ada di Pantai
Kukup. Dulu ketika ia berlibur dengan keluarganya ke Jogja, ia sempat diajak
Papanya ke tempat tersebut. Ketika itu ia dan Papanya yang sangat menikmati
keindahan laut dari atas batu karang tersebut. Hal yang sampai ini masih tersimpan
dalam memorinya dan akan selalu tersimpan sampai kapanpun. Dan sekarang ia mau
menunjukkan keindahan tempat itu pada Melani.
Letak batu karang dengan lokasi wisata pantai tidak terlalu jauh.
Hanya membutuhkan waktu beberapa menit untuk sampai di tempat itu dengan
sepeda. Untuk sampai ke atas, harus ditempuh dengan berjalan kaki. Tidak pelru
menghabiskan banyak waktu, hanya sekitar 10 menit. Belum banyak orang yang
mengunjungi tempat itu.
Sampailah di puncak batu karang tersebut. Apa yang dikatakan Rendy
memang benar adanya. Pemandangan Pantai Kukup dari ketinggian belasan meter
sungguh menakjubkan. Meskipun sejak tadi Melani memandang ke arah laut dari
berbagai titik, ia selalu bergumam, “Sungguh menakjubkan!” dan di tempat inilah
pemandangan laut yang paling indah. Ia juga dapat melihat ke segala penjuru
pantai. Dan melihat semua aktivitas turis-turis di pantai. Benar-benar tak ada
tandingannya.
“Keren banget!”
“Tempat ini masih seindah dulu.”
“Kenapa kamu baru kasih tahu aku tempat sekeren ini?”
“Kenapa aku baru kasih tahu kamu? Karna biar sekalian kita liat
sunset,”
Melani meneliti wajah Rendy. Lalu ia tersenyum sendiri.
“Ayo duduk!”
“Oh, iya,” Melani kembali memandang ke arah pantai. Keduanya pun
duduk dan menikmati indahnya salah satu cipataan Tuhan itu.
“Kamu sering kesini?” tanya Melani menyelidik.
“Setiap kali ke Jogja, gue pasti nyepetin buat kesini.”
“Bareng Kak Evan sama Kak Bayu?”
“Enggak. Gue kesini selalu sendiri,” Rendy melirik ke arah Melani. Ia
sadar telah membuat melani keGRan. “Gue ajak loe ke sini cuma buat minta maaf aja
soal kejadian tadi,”
Melani agak cemberut. “Aku udah maafin, kok.”
“Bentar lagi mataharinya terbenam,” ucap Rendy.
“Kita hitung mundur!” ucap Melani.
“Lima…” ucap mereka berbarengan. “Empat… tiga... dua… satu,” Namun
matahari belum terbenam.
“Kamu ngitungnya kecepetan,”
“Enak aja,” Rendy tak mau kalah. “Loe yang ngitung duluan.”
“Ya udah, kita itung lagi,”
“Lima…” ucap mereka serempak lagi. “Empat… tiga…” Sang Surya pun
terbenam. Dan malam mulai menampakkan gelapnya. Aktivitas di bibir pantai pun
sudah mulai berkurang. Tidak banyak wisatawan yang masih berada di pantai.
“Indah banget,” kata Melani terkagum-kagum.
“Ayo kita pulang!” ajak Rendy. Keduanya pun beranjak dan pulang.
Sampai di rumah, ternyata Evan, Bayu, Chaty, dan Sonia sudah hendak
pergi. Mereka bepapasan dengan Melani dan Rendy di ruang tengah.
“Yang abis pacaran baru pulang,” sindir Evan.
“Maksud Kak Evan apa? Kita enggak pacaran, kok. Kakak sendiri
kemana? Ilang tiba-tiba.”
“Kita enggak kemana-mana, dari tadi kita ngikutin kalian. Kaliannya
aja yang ilang tiba-tiba.”
“Sekarang loe pada mau kemana?” tanya Rendy.
“Mau ke diskotiknya Mas Tommy,” jawab Bayu. “Kalian mau ikut?”
“Enggak, ah. Aku di rumah aja,” jawab Melani.
“Gue cape. Kalian pergi aja.”
“Gatel-gatel ya, abis manjat pohon kelapa,” ucap Bayu.
Hah? Mengapa mereka bisa tahu? Melani dan Rendy kaget mendengar
ucapan Bayu. Apakah mereka tahu semua yang Melani dan Rendy seharian?
“Loe sekongkol ngerjain gue, Mel?” Rendy jadi marah pada Melani.
“Enggak, kok. Aku juga heran, kenapa mereka bisa tahu.”
“Ah… loe ngerjain gue, Mel,” geram Rendy kesal.
“Sumpah… aku juga enggak tahu,”
“Gue enggak percaya,” Melani langsung berlari menuju kamarnya. Rendy
segera mengerjarnya. Sementara yang lain hanya saling pandang dengan tatapan
heran melihat kelakukan Melani dan Rendy. Lalu mereka pun memutuskan untuk
pergi.
“Awas aja kalo loe beneran sampe ngerjain gue!” ancam Rendy. “Gue enggak
akan kasih ampun,”
Ketika di tangga, Rendy berhasil menarik tangan Melani. “Kena juga
loe,”
“Rendy. Sumpah aku enggak tahu apa-apa.” Melani mengangkat kedua
jemarinya membentuk huruf V.
“Bohong loe!
“Beneran. Aku enggak tahu,” Melani meringis kesakitan. “Lepasin
tangan aku! Sakit.”
“Enggak,”
“Berdua di rumah, jangan ngelakuin yang macem-macem, ya!” pesan Evan
di ambang pintu.
“Sialan loe!” Rendy melemparkan sepatunya ke arah pintu. Namun Evan
segera menutup pintu, sebelum sepatu Rendy membuat kepalanya pecah.
Saat Rendy lengah, Melani langsung melepaskan diri dan segera
berlari ke kamarnya. Sampai di kamar Melani langsung mengunci diri di kamar.
Sekarang ia sudah dapat bernapas lega.
“Mel, buka!” teriak Rendy dari luar.
“Enggak mau,”
“Cepet buka pintunya!”
“Enggak mau,” Melani makin kekeh.
Lelah Rendy berteiak-teriak di depan kamar Melani. Ia pun bergegas
menuju kamarnya dengan hati yang masih diliputi kekesalan. Tidak ada gunanya menghabisakan
energi teriak-teriak di depan kamar Melani, toh tidak akan membukaknya. Ia akan
menunggu ketika Melani lengah.
***
Melani masih belum mengantuk. Walau seharian sudah berlelah-lelah dan
bersenang-senang dengan Rendy, sampai jam segini ia belum ingin tidur.
Kemudian ia membuka pintu kaca yang menghubungkan kamarnya pada
balkon kamarnya. Malam ini angin begitu menusuk. Rasa dingin masih sangat
terasa, walau ia sudah memakai sweeternya. Tapi ia tidak mempedulikan angin
yang tak berhenti mengibaskan rambutnya yang terurai.
Tangannya sengaja ia pangkukan pada pagar balkon. Wajahnya
berseri-seri. Membayangkan indahnya hari yang baru saja ia lewati. Kenangan
yang Rendy berikan tadi siang sungguh membekas pada dirinya.
Hari ini berlalu begitu cepat. Padahal hari seperti ini jarang
sekali ia temui. Jarang sekali ia seceria hari ini. Ia berharap tidak pernah
ada hari esok. Ia ingin selamanya seperti hari ini. Bersenang-senang hanya
berdua dengan Rendy. Dan tidak pernah mengenal kata letih.
Tiba-tiba ponsel berdering. Ia segera menghampiri ponselnya yang
tergeletak di atas kasur. Ternyata itu telepon masuk dari Lyla.
“Hallo, La!” sapanya agak gagap. “Ada apa?”
“Aku… cuma lagi kangen aja sama kamu. Gimana keadaan kamu?”
“Baik, kok.”
“Kata Kakak kamu, kamu lagi ke Jogja, ya?”
“Oh, iya.” Melani agak heran kenapa Lyla tiba-tiba menelepon.
Bagaimana kalo Lyla sampai tahu ia pergi bersama Rendy? Pasti Lyla akan sangat
marah padanya. “Bareng temen-temen SMP,”—tidak mungkin ia bilang pergi bersama
Rendy.
“Oh… Padahal tadi siang aku ke rumah kamu. Aku, Vania sama Winda mau
ajak kamu ke Puncak.”
“Ada acara apa ke Puncak?”
“Kan hari ini ulang tahun aku. Kamu lupa?”
“Ah…” Melani sangat malu dan merasa bersalah karena lupa pada hari
ulang tahun sahabatnya sendiri. “Maaf. Aku bener-bener lupa.”
“Iya. Enggak apa-apa, kok.” Lyla menjadi sedikit diam.
“Lyla? Kamu marah? Aku bener-bener minta maaf.” Melani semakin
merasa bersalah. “Selamat ulang tahun, ya!”
“Iya. Makasih, ya!”
“Tenang, deh. Nanti aku beliin hadiah buat kamu dari Jogja.”
“Aku pegang janji kamu, ya!”
“Iya, aku janji.”
“Udah dulu, ya!” Lyla mengakhiri pembicaraan. “Pestanya udah
dimulai, nih!”
“Salam aja buat Vania sama Winda.”
“Ok. Kamu have fun ya, sama liburannya!”
“Ok. Bye.” Setelah menutup telepon, rasa bersalah pada Lyla masih
menyelimuti dirinya. Bodohnya ia karna lupa pada ulang tahun sahabatnya sendiri.
Ia menjatuhkan dirinya ke atas kasur. Lalu ia memukulkan ponselnya
pada kepalanya sendiri. Dan uring-uringan tidak keruan. Namun tiba-tiba ia
mulai merasa lapar. Dari tadi siang perutnya memang belum terisi makanan berat
apapun. Ia pun segera bergegas menuju dapur.
Ketika di tangga, ia mendengar suara berisik tapi pelan dari arah
dapur. Jangan-jangan… itu hantu yang diceritakan Bayu. Bulu kuduknya mulai
merinding. Walau rasa takut merayap ke sekujur tubuhnya, namun ia memaksakan
diri untuk melihat apa yang dilakukan ‘hantu’ itu di dapur.
Dan yang ia dapati di dapur bukanlan sesosok hantu maupun
sejenisnya, melainkan Rendy yang sedang kebingungan di depan kompor. Nampaknya
Rendy ingin memasak, namun ia tak tahu apa yang harus ia lakukan.
“Kamu lagi ngapain, Ren?” Melani menghampiri Rendy.
Rendy sedikit terkejut melihat Melani yang muncul tiba-tiba. “Gue
lagi masak,”
“Tapi yang aku liat, kamu malah berantakin dapur.”
“Gue kan baru mau mulai,” Rendy mencoba mencari alasan untuk
menutupi kebohongannya yang sok bisa masak. “Loe sendiri ngapain disini?”
“Aku juga mau masak,”
“Ya udah, loe aja yang masak.”
“Enggak apa-apa, kok. Kamu aja duluan.”
“Gue bilang loe aja yang masak. Sekalian masakin buat gue.” Rendy
pun berjalan menuju meja makan dan duduk di salah satu kursinya.
“Bilang aja enggak bisa masak,” gerutu Melani pelan.
“Ngomong apa loe?”
“Kamu mau dimasakin apa?” jawab Melani tergagap.
“Terserah. Pokoknya yang paling cepet, gue udah laper.”
“Nasi goreng mau?”
“Gue bilang terserah,”
Melani mulai unjuk kebolehannya. Memanaskan minyak goreng di atas
wajan dengan api sedang. Memotong-motong bahan pelengkap lainnya, seperti
wortel, daun bawang, sosis dan cabai. Setelah minyak goreng panas, Melani
memasukan telur, diaduk-aduk sebentar, lalu ia memasukkan bahan pelengkap yang
ia potong tadi. Setelah bahan-bahan itu masak, Melani memasukkan nasi putih
sebanyak dua porsi. Lalu ia mencampur semua bahan. Dan untuk tahap akhir ia
memasukkan sedikit garam dan kecap manis. Ia kembali mencampur sampai semua nasi
putih itu menjadi coklat. Dan nasi gorengnya ia sajikan dalam dua piring.
Melani memang tidak terlalu pandai memasak. Hanya beberapa masakan
kecil dan mudah yang bisa ia masak. Semua pelajaran memasaknya ia dapat dari
Andre maupun Arini. Dan mudah-mudahan Rendy tidak mencela hasil masakannya.
Melani menyodorkan satu piring kepada Rendy dan satunya lagi ia
simpan di depan kursinya. Lalu ia kembali ke dapur untuk mengambil dua gelas
air putih untuknya dan Rendy.
“Loe enggak masukin racun, kan?” tanya Rendy sambil menatap aneh ke
arah nasi goreng buatan Melani.
“Kalo mau, silahkan kamu makan! Kalo enggak, tahan aja lapernya.”
Melani pun mulai menyantap hidangan di hadapannya. Begitu lahap. Membuat Rendy
tidak was-was lagi untuk ikut menyantapnya. Sampai tak tersisa sebutir nasi pun
di piringnya.
“Kamu enggak mati kan abis makan nasi goreng aku?” sindir Melani
sambil mencuci piring bekas makannya dan Rendy.
“Terpaksa aja gue makan, meskipun enggak enak. Orang enggak ada
sesuatu yang bisa dimakan selain nasi goreng loe.”
“Ada enggak sih, kata-kata kamu yang nyenengin hati aku?” ucap
Melani dengan nada meninggi. “Bilang makasih, kek!”
“Makasih,” jawab Rendy ketus.
“Sama-sama,” balas Melani lebih ketus.
Ketika Rendy hendak beranjak ke kamarnya, ia menghentikan langkahnya
dan menghampiri Melani yang masih di dapur. Ia menarik tangan Melani dan
membalikkan tubuh mungil Melani sehingga bertatapan dengannya.
“Aw… sakit!” rintih Melani. “Lepasin!” Rendy semakin menguatkan
pengangannya.
“Jujur sama gue!” Rendy mendekatkan wajahnya pada wajah Melani. Ia
menatap tajam kedua mata Melani. Melani sendiri agak risih dan takut dengan apa
yang Rendy lakukan sekarang. Bangaimana kalau Rendy sampai macam-macam padanya?
Hanya tinggal ia dan Rendy yang ada di rumah ini. Siapa yang akan menolongnya
kalau Rendy tiba-tiba… ? Tidak. Itu tidak boleh terjadi.
“Apa loe sekongkol sama Evan dan Bayu buat ngerjain gue tadi siang?”
Ternyata itu yang Rendy mau. Melani sedikit lega. “Sumpah, Ren! Aku
juga enggak tahu kenapa mereka bisa tahu kamu manjat pohon kelapa tadi siang.”
“Loe enggak bohong, kan?”
“Beneran, Ren.”
Rendy melepaskan genggamannnya. Pergelangan tangan Melani merah. Ia
pun melemaskan tangannya sampai tak terasa sakit lagi. Tangan besi, gerutu
Melani.
“Terus mereka tahu darimana?” Rendy menatap wajah Melani.
“Aku juga enggak tahu,”
Rendy masih mondar-mandir kebingungan. Alisnya naik-turun.
“Udahlah, Ren. Lupain aja! Mungkin mereka enggak sengaja liat.
Lagipula kalo terus diungkit-ungkit, enggak ada gunanya juga.”
“Gue udah enggak mikirin itu, kok.”
“Terus kamu lagi ngapain mondar-mandir gitu?”
“Enggak.” Rendy pun bergegas menuju kamarnya. Melani bengong heran
menatap Rendy, kemudian ia melanjutkan cuci piringnya. Ketika ia berada di
tangga menuju kamarnya, ia mendengar pintu kamar Rendy terbuka. Karna
penasaran, ia menoleh ke belakang. Rendy sedang berdiri santai pada anak tangga
pertama.
“Kenapa lagi?” tanya Melani.
“Selamat tidur!”—Wah, Rendy kesurupan jin apa, nih?—“Mimpi indah,
ya!” Rendy pun kembali ke kamarnya.
“Selamat malam juga!” balas Melani sedikit heran pada tingkah Rendy.
***
Jadwal hari ini adalah pergi berenang ke Water Park di daerah
Kaliurang. Di tempat tersebut ada salah satu tempat wisata milik keluarga Evan.
Khusus untuk hari ini tempat wisata Water Park tersebut tidak dibuka untuk
umum. Evan sudah menjadwalkan tempat tersebut hanya untuk liburan
teman-temannya.
Setibanya disana, telah tersedia meja panjang berisi macam-macam
jenis makanan dan minuman yang berwarna-warni di pinggir kolam. Ada juga DJ
yang memutar sebuah musik disco. Membuat pendengar ingin mengoyang pinggul ke
kanan dan ke kiri.
Semua telah bersiap-siap untuk berenang. Setelah berganti pakaian
dan melakukan sedikit pemanasan, satu per satu dari mereka mulai masuk ke dalam
kolam berenang. Menikmati beberapa wahana water boom. Sungguh mengasyikkan.
Semua tertawa lepas.
Setelah berlelah-lelah berada di air, Melani beranjak dan menutupi
sebagian tubuhnya yang mulai kedinginan dengan handuk. Cukup untuk
menghangatkan tubuhnya, perutnya mulai keroncongan. Ia berjalan menuju meja penuh
makanan di pinggir kolam.
Sesaat ia hanya terkesima melihat begitu banyak makanan yang ada. Sampai
ia pusing untuk menyantap yang mana dulu. Lalu matanya tertuju pada kue
brownies. Ia langsung menjejalkan tiga potong kue tersebut. Sepertinya itu
adalah satu-satunya kue brownies yang tersisa di dunia ini.
“Uhuk… uhuk…” Kue yang dimakannya berhamburan keluar dari mulutnya.
Ia jadi tersiksa sendiri. Matanya berkaca-kaca. Pipinya memerah.
Kemudian datang Evan menepuk-nepuk punggungnya. Melani pun dapat
memuntahkan kue yang dimakannya ke balik semak-semak. Evan pun memberikan
segelas minuman pada Melani.
“Makanya kalo makan pelan-pelan aja,” ejek Evan. “Enggak perlu takut
kehabisan. Tinggal minta dikirim lagi dari cateringnya, loe bisa makan 100 kue
brownies.”
Melani menunduk. Dalam hati ia mengumpat diri sendiri. Betapa
malunya ia. Pipinya semakin memerah.
Kemudian Evan memberi Melani segelas jus jeruk dan mengajaknya duduk
di tepi kolam. Membenamkan sebagian kakinya ke dalam air.
“Makasih ya, Kak.” kata Melani.
“Sama-sama,” jawab Evan. “Lain kali jangan rakus lagi, ya!”
“Aku enggak rakus,” sanggah Melani. “Aku cuma lagi laper aja.”
Hening sesaat. “Mel,” kata Evan. Melani menatap wajah Evan penuh
tanya. “Menurut loe, Rendy itu orangnnya gimana?”
“Nyebelin.” Satu kata, namun bermakna.
“Selain itu?” tanya Evan lagi.
Melani melihat ke arah Rendy yang masih asyik bermain. “Kadang baik,
kadang… ya itu nyebelin. Mungkin ganteng, jutek, sombong… tapi sangat
membutuhkan kasih sayang.”
“Loe suka sama Rendy?”
Melani terkejut mendengar ucapan Evan. “Ah, Kakak ada-ada aja,”
jawab Melani terdengar ragu dan jadi salah tingkah. “Mana mungkin aku suka sama
cowok kayak gitu.”
“Apa karna ada temen kamu yang suka sama Rendy?”
Darimana Evan tahu kalau Lyla suka sama Rendy? “Enggak,” sanggah
Melani lagi. “Lagipula aku mau fokus aja dulu sama sekolah.”
“Rendy tenggelam.” teriak Evan pelan.
Melani langsung mencari-cari Rendy. Ia sudah gelisah tak keruan.
Namun orang yang dikawatirkan ternyata tidak apa-apa. Dan Evan pun sudah tidak
duduk di sampingnnya. Lagi-lagi Melani berhasil dibohongi. Apa maksudnya dia bohong
kali ini?
Sudah cukup lama
mereka bermain-main di dalam air. Bermain volly air, berenang, dan bermain
wahana permainan yang ada. Mereka semua pun beranjak, memakain piyama berenang
masing-masing dan bergegas mandi.
Usai mandi mereka semua menyantap makanan yang tersedia di meja
panjang pinggir kolam. Menari-nari ringan diiringi musik Sang DJ dan membiarkan
panas matahari menghangatkan tubuh mereka.
Perjalanan dilanjutkan dengan berjalan-jalan menyusuri hutan rekreasi.
Udaranya sungguh sejuk, udaranya sangat dingin menusuk, di kanan dan kiri jalan
berjajar pohon-pohon yang menjulang tinggi dan rindang.
Melani melihat sisi kanan dan kirinya begitu indah. Jarang sekali
matanya memandang tumbuh-tumbuhan yang rindang seperti ini. Tapi lama-lama
bosan juga kalau objek pengelihatannya itu-itu saja.
Dilihatnya ke depan, Rendy sedang asyik mengabadikan perjalanan
dengan kameranya. Saat Rendy membalas tatapan Melani. Melani jadi salting
sendiri. Ia pun pura-pura melihat ke arah lain—sok asyik memperhatikan
pohon-pohon di sekitarnya.
Melihat ke belakang, Evan dan Chaty sedang asyik pacaran begitu juga
dengan Bayu dan Sonia. Bikin iri. Hati kecil Melani sih ingin seperti
cewek-cewek lain, ingin punya pacar. Namun karena sikapnya yang terlalu cuek,
jarang sekali ada cowok yang mau dekat dengannya. Huh! Nasib, nasib.
Melani ditinggal berdua lagi dengan Rendy. Rendy pun mengajak Melani
berkeliling Malioboro. Rendy sengaja menyewa delman seharian sebagai kendaraan
mengelilingi Malioboro.
Rendy mengajak Melani ke sebuah tempat pembuatan batik tulis. Disana
Melani dan Rendy diperlihatkan cara membuat batik. Dari mulai membuat pola,
melukisnya dengan lilin cair, mewarnai kain batik dengan pewarna tekstil,
sampai penjemuran.
Melani dan Rendy mencoba untuk melukiskan lilin cair dengan canting
pada kain yang sudah dibuat pola. Sungguh sangat susah sekali. Ketika melihat
yang sudah ahli melakukannya memang terlihat sangat mudah. Namun dalam
praktiknya, sangat menguras kesabaran. Melani dan Rendy harus sabar dan teliti
saat mengoreskan ujung canting pada permukaan kain. Salah sedikit saja
akibatnya bisa fatal.
Kesabaran Melani dan Rendy sudah terkuras habis. Mereka pun meninggalkan
pekerjaan mereka yang belum beres seperempatnya pun. Pekerjaan mereka pun
dilanjutkan oleh pembatik ahli disana.
Puas melihat-lihat proses membatik, kini mereka sedang melihat-lihat
kain batik yang sudah jadi. Semuanya begitu bagus. Warnanya cerah-cerah,
penuangan lilin cairnya rapi, dan pola-polanya indah.
Rendy tertarik pada sebuah kain batik yang dipasang di pojok toko.
Kain batik bemotif bunga-bunga berwarna merah terang. Sangat cocok bila ia
jadikan sebagai oleh-oleh untuk Mamanya. Tak jauh dari batik itu ada juga satu
kain batik yang tak kalah indah berwarna biru langit. Dari warna dan motifnya,
ini cocok Rendy berikan pada Chika. Rendy memutukan untuk membeli dua kain
batik itu.
Ketika hendak membayarnya di kasir, Rendy melihat Melani sedang
berdiri terkagum-kagum di depan sebuah kain batik.
“Loe lagi ngapain?” Tiba-tiba Rendy datang dan membuyarkan
lamunannya.
“Lagi liat-liat aja.” jawab Melani agak cemberut.
“Kenapa enggak beli?”
“Aku kan pergi kesini karna dipaksa dan tanpa persiapan. Mana sempet
bawa uang lebih,”
“Loe bisa minta beliin sama gue, kan?”
“Aku udah utang banyak sama kamu. Aku enggak mau nambah lagi. Ntar
bunganya nambah lagi.”
“Emang tampang gue kayak rentenir? Loe kesini kan karna gue. Jadi
semua yang loe mau tinggal bilang aja sama gue.”
Melani terdiam.
“Jadi enggak belinya? Loe juga harus beliin oleh-oleh buat Kakak dan
temen-temen loe, kan?”
“Beneran enggak apa-apa?”
“Limit gue enggak akan abis cuma buat beliin oleh-oleh buat
temen-temen loe.”
“Kamu lagi kerasukan jin apa sih, jadi baik gini sama aku?”
“Udah bagus gue bayarin semua belanjaan loe, masih sempet nyela gue.
Kalo loe enggak bisa baik-baikin gue, seeenggaknya loe enggak perlu nyela gue.”
“Ya, maaf.” Melani jadi malu sendiri. “Tapi makasih, ya!”
Keluar dari toko batik, mereka melanjutkan perjalanan menyusuri
sepanjang Jl. Malioboro. Pergi nonton wayang orang. Berbelanja baju khas Kota
Jogja. Tak lupa juga membeli pernak-perniknya, seperti gelang, kalung, cincin,
kacamata, tas, topi, dan lainnya. Dan terakhir makan gudeg di alun-alun kota.
Hari yang cukup memelahkan, namun semua itu terbalaskan dengan semua
hiburan, belanjaan, dan makanan yang telah mereka dapatkan.
“Makasih ya, buat semuanya!” ucap Melani saat perjalanan pulang
kembali ke villa.
“Udahlah bilang makasihnya,” balas Rendy. “Gue bosen dengernya.”
“Aku kan orangnya bukan yang enggak tahu terimakasih.”
“Ya gue tahu.”
“Kamu kenapa, sih?” Melani agak nyolot. “Kadang baik, kadang
nyebelin. Bikin orang bingun tahu?”
“Apa peduli loe? Hidup, hidup gue.”
***
Untuk malam terakhir di kota khas batik ini, Rendy dkk mengadakan
acara camping di halaman belakang villa. Dua tenda didirikan di depan sebuah
api unggun. Cuaca juga sepertinya sangat mendukung karna tidak ada tanda-tanda
akan datangnya hujan.
Hari sudah cukup larut. Malam ini begitu banyak bintang yang
menghiasi lagi, bertebaran tak beraturan di sekitar bulan.
Semua masih belum mengantuk. Mereka duduk mengelilingi api unggun
sambil membakar jagung. Agar suasana lebih asyik Bayu mengeluarkan gitarnya dan
menyanyikan sebuah lagu dari Ungu ‘Tercipta Untukmu’.
Menatap
indahnya senyuman di wajahmu
Membuatku
terdiam dan terpaku
Mengerti
akan hadirnya cinta terindah saat kau peluk mesra tubuhku
Oooo …
Banyak kata yang tak mampu kuungkapkan kepada dirimu
…
Lalu dilanjutkan dengan bernyanyi bersama dan berjoget ringan dengan
iringan musik yang diputar dari sebuah pemutar musik. Melani hanya diam saja
sambil menghangatkan diri di depan api unggun. Sesekali ia tertawa melihat
tingkah laku teman-temannya yang joget tak keruan.
Melani sangat terhanyut oleh lagu yang dibawakan Bayu. Begitu
menyentuh sampai ke dalam lubuk hatinya. Tanpa ia sadari ujung matanya mencari
Rendy. Saat Rendy membalas tatapannya ia jadi salting. Jagung bakarnya sudah
habis. Semua sudah kembali ke tendanya masing-masing, termasuk Melani.
Semua mulai terlelap dalam mimpi masing-masing. Yang terdengar
hanyalah suara jangkrik saling bersahutan memecah keheningang malam. Api unggun
semakin mengecil, membuat dingin semakin menusuk.
***
Keesokan paginya semua sudah selesai berkemas untuk pulang.
Koper-koper sudah dimasukkan kedalam bagasi dan siap untuk diantar ke bandara.
Tapi sebelum itu, masih ada satu tempat lagi yang harus mereka kunjungi, Candi
Borobudur.
Sebuah tempat wisata yang harus dikunjungi ketika kita berlibur ke
Jogja. Salah satu tempat wisata yang sangat menjual dan menarik di kota Jogja.
Walau jaraknya memang tidak terlalu dekat dari kota Jogja itu sendiri.
Berkeliling mengitari kompleks Candi Borobudur cukup melelahkan.
Ditemani oleh seorang pemandu wisata di tempat itu Rendy cs. diperkenalkan
tentang Candi Borobudur. Lalu dilanjutkan dengan foto-foto. Mereka pun kembali
ke Jakarta pada pukul 11:00.
***
Chika Meninggal
Chika masuk rumah sakit untuk kesekian kalinya sejak ia divonis
dokter terkena penyakit jantung seperti Papanya. Ia harus masuk ICU. Keadaanya
sangat kritis. Rendy dan Mamanya sangat khawatir dengan keadaan Chika sekarang.
Lama dokter di dalam ruang ICU. Segala macam alat bantu medis dipasangkan pada
tubuh mungil Chika. Kini Chika tengah berada di antara hidup dan mati.
Lama menunggu, akhirnya dokter keluar juga dari ruang ICU. Rendy dan
Bu Sinta segera menghampiri dokter tersebut.
“Bagaimana keadaan adik saya?”
“Alhamdulillah. Ia berhasil melewati masa kritisnya. Sekarang ia
bisa dipindahkan ke ruang rawat.” ucap dokter kepercayaan keluarga Rendy yang
sudah biasa menangani Chika.
“Lakukan yang terbaik untuk anak saya! Kalau perlu impor saja alat
medisnya.”
“Untuk saat ini peralatan yang ada disini sudah cukup membuat
keadaan Chika lebih baik.”
“Boleh kami lihat Chika sekarang?” tanya Rendy.
“Tentu saja. Tapi harap tenang. Chika sudah kami beri obat penenang.
Jadi untuk malam ini dia akan tidur dengan nyenyak.”
“Baik, Dok!”
“Saya permisi dahulu! Masih banyak pasien yang harus saya tangani.”
“Terima kasih banyak, Dok!”
“Sudah kewajiban seorang dokter.”
Semalaman Rendy tak tidur menunggui Chika. Mamanya sendiri tak mampu
melepas rasa penat. Ia tertidur lelap di atas sofa yang tak jauh dari tempat
tidur Chika. Paginya Bu Sinta bangun dengan keadaan lebih baik. Sementara ia
melihat anak sulungnya, Rendy terlihat sangat kurang istirahat. Karna semalam
begadang menunggui Chika. Matanya berkantung dan merah.
“Semalaman kamu enggak tidur?” tanya Bu Sinta.
“Kalo aku tidur, kasian Chika enggak ada yang nungguin.”
“Tapi kamu juga butuh istirahat. Hari ini biar Mama aja yang nungguin
Chika. Kamu istirahat aja di rumah. Enggak usah sekolah,” saran Mamanya. “Tolong!
Untuk kali ini aja kamu turuti Mama. Kalo kamu kurang istirahat, kamu akan
sakit dan enggak bisa lagi jagain Chika. Nurut sama Mama, ya?”
Benar juga kata Mamanya.
“Ya udah. Aku pulang! Nanti sore, aku kesini lagi. Mama juga jaga
kesehatan, ya? Kabarin aku kalo ada apa-apa sama Chika!”
Sejuk rasanya hati Bu Sinta ketika mendengar bahwa Rendy
memperhatikan kesehatannya. Pertama kali seumur hidup ia mendengar Rendy
mengucapkan kalimat tersebut. Rasanya kalimat itu akan selalu terngiang dalam
telinga Bu Sinta. Ia tak akan melupakan hal itu. Dan ia berharap Rendy akan
mengucapkan kata itu kepadanya setiap hari.
“Oh, iya, Sayang!”
Kabar ini pun sampai ke telinga Melani. Ia amat terkejut mendengar
kabar ini. Aku harus jenguk Chika. Sepulang sekolah, Melani segera menuju rumah
sakit tempat dimana Chika dirawat. Tak lupa, di jalan ia membeli makanan untuk
Chika.
“Selamat siang, adik Kakak yang manis!” sapa Melani ketika memasuki
ruang inap Chika.
“Kak Melani? Kakak kok baru kesini? Chika kangen banget sama Kakak.”
“Kakak juga kangen banget sama kamu. Ini ada buah buat kamu! Kakak tahu
gimana enggak enaknya makanan di rumah sakit.”
“Makasih ya, Kak. Jadi ngerepotin.”
“Enggak apa-apa, kok. Hari ini kamu enggak ada yang jagain?”
“Ada, kok. Hari ini Mama yang seharian jagain Chika. Tapi sekarang
lagi keluar.”
“Kakak kupasin buahnya, ya? Kamu mau apa?”
“Apel aja.”
Tak lama kemudian datanglah Bu Sinta.
“Selamat siang, Bu!”
“Siang! Makasih kamu udah mau jenguk Chika.”
“Sama-sama, Bu! Ibu keliatan kurang istirahat dan agak lemes. Biar
Mel aja yang ganti jagain Chika, ya?”
“Enggak usah. Bentar lagi juga Rendy akan kesini. Saya baru akan
pulang setelah Rendy dateng.”
Sekitar tiga puluh menit kemudian datanglah Rendy. Penampilannya
terlihat lebih fresh dari tadi pagi.
“Mel, Ngapain loe disini?”
“Mau ujian. Ya, mau nengok Chika, lah.”
“Mama masih disini? Kenapa enggak pulang?”
“Mama nunguin kamu. Sekarang juga Mama mau pulang.”
“Pulang bareng Melani, ya?” usul Rendy.
“Kamu ngusir aku?
“Nengok enggak perlu lama-lama, kan?”
“Chikanya juga enggak mempermasalahkan. Kenapa kamu yang sewot?”
“Sekarang waktunya Chika istirahat.”
“Bener apa kata Rendy. Sebaiknya kamu ikut pulang dengan saya. Nanti
saya antarkan sampai rumah. Biar kakak kamu enggak khawatir.”
“Baiklah. Kakak pulang dulu, ya! Sampai ketemu besok.”
Walau hati kesal dan masih rindu pada Chika, Melani memutuskan untuk
pulang bersama Bu Sinta. Sesuai janjinya Bu Sinta mengantarkan Melani pulang
sampai ke depan rumahnya. Namun tak mampir dahulu. Rasanya Bu Sinta harus
cepat-cepat istirahat. Untuk mengembalikan kebugaran jasmaninya.
Melani tak lupa akan janjinya. Keesokan hari ia kembali menjenguk
Chika. Ia menolak ketika ketiga temannya mengajaknya untuk shopping di mall.
Menurutnya, menjenguk orang sakit lebih baik daripada harus
menghambur-hamburkan uang dengan percuma di mall. Namun bukan dengan alasan itu
ia menolak. Jika alasan menjenguk Chika, ia takut menyakiti perasaan Lyla. Ia
takut Lyla salah paham lagi terhadap dirinya. Mungkin ia takut Lyla berpikir
bahwa ia bukan bermaksud menjenguk Chika melainkan mencari perhatian Rendy.
“Maaf, ya! Kali ini aku enggak bisa ikut. Kakak aku lagi sakit. Dia
mau aku temenin. Enggak apa-apa, kan?”
“Iya. Enggak apa-apa, kok.” jawab Lyla.
“Bilangin, kata Winda, cepet sembuh, ya!”
“Kata Vania, jangan lupa minum obat!”
“Iya. Sekali lagi maaf, ya!”
Melani pun pergi tergesa-gesa meninggalkan ketiga temannya. Maaf.
Aku harus bohong sama kalian.
“Bukannya tadi pagi dia dianterin Kakaknya, ya? Kok jadi tiba-tiba
sakit?” ucap Winda.
“Apa dia lagi ngumpetin sesuatu dari kita?” tambah Vania.
“Udah. Jangan berburuk sangka sama temen sendiri. Enggak baik.”
relai Lyla. “Ayo kita cabut! Katanya mau shopping? Gue dengar lagi ada sale
besar-besaran.”
“Masak, sih? Kalo gitu aku mau belanja banyak.” ucap Vania.
Ketiganya pun segera masuk ke dalam mobil Vania. Mobilnya pun segera
melaju kencang meninggalkan sekolah. Sesampainya di mall yang biasa mereka
datangi. Mereka segera menyerbu toko yang tengah promosi itu dengan mengadakan
sale besar-besaran.
***
Sesampainya Melani di rumah sakit. Ia melihat Rendy dengan keadaan
cemas mondar-mandir di depan ruang inap Chika. Sementara Mamanya terduduk lemas
di kursi panjang di depan ruang inap Chika. Wajahnya pun tak kalah cemasnya
dari Rendy. Melani segera menghampiri keduanya.
“Ada apa ini? Kenapa kalian berdua keliatan cemas gitu?”
“Chika kritis lagi.” jawab Bu Sinta.
“Kritis?” ucap Melani setengah tak percaya. “Ya udah. Sekarang kita
sama-sama berdoa aja biar Chika bisa melewati masa kritisnya.”
Tak lama kemudian dokter
keluar dari ruang inap Chika. Diperhatikan dari wajahnya, sepertinya dokter
akan memberi tahu kabar buruk.
“Bagaimana keadaan anak saya, Dok?”
“Ia ingin bertemu dengan kalian.”
Bu Sinta, Rendy, dan Melani pun segera masuk ke dalam ruang inap
Chika.
Perlahan Chika melepas tabung oksigen yang menyulitkannya berbicara.
“Kenapa dibuka, Sayang? Pake lagi!” ucap Bu Sinta.
“Chika cuma ingin bilang, Mama sama Kak Rendy baikan, ya? Buat
Chika. Buat Papa. Chika sayang sama Mama. Chika sayang sama Kak Rendy.”
“Iya, Sayang. Kak Rendy dan Mama akan baikan. Kak Rendy akan turuti
semua keinginan kamu. Asal kamu sembuh. Kamu sembuh buat Kakak. Buat kita
semua.”
“Kak Rendy juga harus baikan sama Kak Melani. Jangan berantem lagi.”
“Iya. Kakak janji.”
Puas mendengar jawaban Rendy. Chika pun menutup matanya dan
menghembuskan napas terakhirnya. Alat pendeteksi denyut nadinya pun menunjukkan
Chika sudah meninggal. Ia sudah kembali ke Sang Pencipta menyusul kepergian
Papanya.
“Chika? Chika bangun! Chika bangun! Jangan tinggalin Kakak. Kamu mau
liat Kakak baikan sama Mama, kan? Ayo bangun!” ucap Rendy berkali-kali setengah
berteriak. “Dokter, kenapa adik saya tidak mau membuka matanya?”
“Ikhlaskan kepergiannya, Mas.”
“Anda ini dokter. Kenapa anda tidak bisa mengembalikan adik saya?”
“Saya hanya seorang manusia biasa. Saya tidak bisa menghidupkan
orang yang sudah meninggal. Nyawa, hanya Tuhanlah yang mengetahuinya.”
“Enggak. Ini semua enggak boleh terjadi. Chika…” teriak Rendy
bergema.
Bu Sinta hanya diam terpaku. Ia masih belum mempercayai, anaknya
baru saja pergi untuk selama-lamanya. Rasanya kakinya sudah tidak mampu lagi
menopangnya untuk berdiri. Ia amat lemas. Kejadian sepuluh tahun yang lalu terjadi
kembali. Kini anak bungsunya yang harus pergi meninggalkannya. Hatinya amat
terpukul. Ia tak mampu berkata lagi. Ia pun segera pergi keluar ruang inap
Chika. Dan menangis tak habisnya di depan ruang inap Chika.
Sementara Melani hanya diam terpaku di belakang tubuh Rendy. Tak
mampu lagi ia berkata. Sama seperti Bu Sinta, ia tak bisa mempercayai gadis
yang baru ia kenal kurang dari satu bulan itu meninggal di hadapannya.
Rendy segera menyusul Ibunya. Diikuti oleh Melani yang ada di
belakangnya.
“Puas anda sekarang? Karna anda ayah saya meninggal. Dan sekarang
karna anda juga adik saya meninggal. Kenapa anda bunuh semua orang yang sangat
saya sayangi? Kenapa anda tidak membunuh saya juga? Saya benci harus dilahirkan
oleh ibu macam anda. Kenapa anda harus melahirkan saya? Lebih baik saya tidak
terlahir ke dunia ini daripada harus mempunyai ibu seperti anda.”
Hati Bu Sinta semakin teriris. Baru saja ia kehilangan anak
keduanya. Dan sekarang ia harus dibentak oleh anak sulungnya. Bibirnya kaku.
Tak dapat berkata apa-apa lagi. Dan ia pergi setengah berlari meninggalkan
Rendy.
Setelah Bu Sinta pergi, Melani menampar Rendy. Namun Rendy hanya
diam saja.
“Kenapa kamu diem aja? Kenapa kamu enggak marahin aku? Kenapa kamu enggak
bentak aku juga seperti yang kamu lakukan terhadap ibu kamu? Kamu gila, Ren.
Dia enggak ngelakuin apa-apa kamu bentak sampe segitunya. Dimana hati kamu?”
“Tapi dia udah bunuh ayah dan adik gue.”
“Itu semua bukan karna ibu kamu. Ini semua kehendak Tuhan. Enggak
ada yang bisa nyalahin apa yang sudah Tuhan kehendaki. Ibu kamu juga sangat
terpukul. Dia enggak terima Chika meninggal. Dia masih shock dengan semua yang
baru aja terjadi. Dan kamu tambah lagi sakit hatinya? Kamu anak macam apa, Ren?
Baru kali ini aku liat ada anak yang berani bentak ibunya. Kamu enggak tahu
gimana sakitnya dia waktu ngelahirin kamu?”
“Tapi gue enggak pernah menginginkan dilahirkan dari ibu macam dia.”
“Kamu enggak pernah tahu bagaimana sabarnya dia merawat kamu sampai
sebesar ini?”
“Dan dia enggak pernah ngerawat gue.”
“Tapi apa kamu tahu, Ren? Meskipun dia enggak pernah selalu ada di
samping kamu, dia selalu perhatiin kamu. Dia selalu tahu gerak-gerik kamu
setiap detiknya. Dia tahu apa yang kamu lakuan setiap hari. Dia tahu, aku ajak
kamu ke Pasar Malem. Dia tahu, kamu ngajarin aku basket. Dia tahu, semua yang
kamu lakukan selama ini.
Dia sangat sayang sama kamu. Kalo dia enggak sayang sama kamu, mana
mau dia kerja banting tulang buat kamu selama ini? Mana mau dia melahirkan
kamu? Mungkin kalo dia enggak sayang sama kamu, kamu udah jadi gelandangan
sekarang ini. Coba kamu pikir! Enggak ada ibu yang enggak sayang sama anaknya.
Anak adalah sebuah anugerah terindah bagi semua ibu. Cobalah kamu berpikir
sampai kesana! Maafin ibu kamu, ya? Kamu masih inget janji kamu sama Chika,
kan? Minimal dalam benak kamu yang kamu lakukan itu buat Chika. Buat Papa kamu.
Buat orang yang kamu sayang.”
Rendy menarik tubuh Melani dan memeluknya erat. “Gue butuh temen
sekarang.”
Melani mengerti akan perasaan Rendy sekarang ini. Ia tahu bahwa
untuk saat ini Rendy sangat membutuhkan teman. Ia pun membiarkan Rendy
memeluknya. Untuk sedikit membantu meringankan beban berat yang kini tengah
Rendy tanggung.
Berita tentang Chika meninggal dunia sudah sampai ke telinga
sekolah. Satu sekolah berkabung. Entah karena mereka merasa iba terhadap Chika.
Atau mereka hanya memikirkan Rendy. Mereka takut Rendy menjadi stress.
Beberapa karyawan SMA Peritiwi menjadi perwakilan menghadiri upacara
pemakaman Chika di Tempat Pemakaman Umum di daerah Jakarta Selatan. Makam Chika
sengaja berdampingan bersama makam Ayahnya. Beberapa rekan bisnis Bu Sinta pun
ada yang menghadiri upacara pemakaman Chika.
Seusai pemakaman Bu Sinta masih belum mempercayai bahwa kini anaknya
tengah digerogoti cacing tanah. Dari semalam ia tidak mampu menahan deras air
matanya yang terus-menerus menetes. Ia sangat terpukul dengan meninggalnya anak
bungsunya. Juga perkataan Rendy yang tak kalah menyayat hatinya. Sesampainya di
kamar, ia segera meraih fotonya bersama Chika. Ditatapinya dengan penuh
kesedihan. Semakin deras saja air matanya mengalir.
“Mama…” seru seseorang dengan tergagap.
Bu Sinta pun memutar badannya. Dan berdiri berhadapan dengan orang
tersebut. Orang itu segera menghampiri Bu Sinta dan bersujud dikakinya.
Dengan air mata yang terus mengalir di wajahnya, ia berkata, “Mama.
Maafin Rendy! Maafkan semua perlakuan yang pernah Rendy tujukan pada Mama.
Maafkan semua perkataan Rendy yang pernah menyinggung hati Mama. Rendy sangat
menyesal melakukan semua itu sama Mama.”
Bu Sinta semakin tak kuasa menahan deras air matanya. Bukan tangis
kesedihan, melainkan tangis kebahagiaan. Untuk pertama kali, anak sulungnya
menyebutnya Mama dengan tulus. Dan untuk pertama kalinya Rendy bersujud di
kakinya.
Dengan penuh kasih, Bu Sinta membangunkan Rendy. Dan dengan air mata
yang terus mengalir ia berkata, “Enggak ada yang perlu dimaafin. Enggak pernah
kamu buat hati Mama sakit. Enggak pernah kamu buat salah sama Mama. Mama sayang
sama kamu.”
“Mama…” Rendy memeluk ibunya erat. Seperti ingin selamanya memeluk
ibunya. Tak ingin melepaskannya. Ingin selalu ada di sampingnya. “Rendy sayang
Mama.”
Semula hatinya yang begitu sakit, kini sembuh kembali. Bahkan lebih
dari itu. Ia sangat senang. Akhirnya Rendy bisa memaafkannya. Bisa menerimanya
sebagai ibu. Bagai mimpi yang baru saja terjadi di kehidupan nyata.
***
Sekolah sudah sepi. Namun Melani masih ada di sekolah. Ia baru saja
selesai remedial ulangan fisika. Dikarenakan pada saat ulangan sebelumnya
nilainya kurang dari rata-rata. Dan hanya ia seorang yang tidak lulus dalam
ulangan kali itu di kelasnya. Ia tidak putus asa dengan hasilnya yang tidak
memuaskan itu. Ia mencari guru yang bersangkutan, dan meminta kepada beliau
untuk melakukan ujian ulang. Awalnya Sang Guru menolak. Namun melihat kegigihan
Melani untuk mendapatkan nilai, beliau pun mau memberi kesempatan kedua pada
Melani. Dan Melani pun dapat mengubah nilai limanya menjadi tujuh. Walau tidak
sebesar ketiga temannya yang hampir semua mendapat nilai sepuluh, ia tetap
bangga pada dirinya sendiri.
Ketika ia tengah menunggu metromini yang akan mengangkutnya di halte
bis dekat sekolah. Seseorang mengagetkannya.
“Gue tunggu dari tadi baru dateng.” ucapnya.
Melani melirik kiri kanan. Pemilik suara itu tak ditemukan. Dan
ternyata orang itu ada di belakangnya. Kagetnya bukan main. “Rendy? Ngagetin
aja,” ucap Melani. “Emangnya ada apa kamu nungguin aku?”
“Ikut gue!” ucapnya seraya beranjak dari tempat duduknya.
“Kemana? Enggak, ah!”
“Nyokap ngundang loe makan siang di rumah. Katanya dia udah masak
makanan spesial buat kamu.”
“Yang bener?”
“Terserah loe mau percaya atau enggak. Yang jelas gue udah nyampein
pesan dari nyokap gue.” Rendy pun pergi.
“Awas ya, kalo bohong!” Melani pun mengikuti langkah Rendy.
Sampailah di rumah Rendy.
Ternyata Rendy tidak membohongi Melani. Sebuah pesta kecil-kecilan
akan diadakan di rumah mewah Rendy. Tamu undangannya pun hanya Melani seorang.
Sang tuan rumah masih sibuk di dapur mempersiapkan hidangan yang akan disajikan
di atas meja makan. Walalupun jelas terlihat meja makan sudah sesak dengan
berbagai jenis hidangan.
Melani hanya bisa ternganga melihat meja makan yang penuh dengan
hidangan. Sementara Rendy pergi ke kamarnya untuk menyimpan tas dan berganti
pakaian. Di saat yang bersamaan Rendy bergerak menuruni anak tangga dan Mamanya
ke luar dari arah dapur dengan semangkuk opor ayam di tangannya.
“Sini, Ma! Biar Rendy yang bawain.” ucap Rendy sembari mempercepat
langkahnya menuruni anak tangga.
“Kamu ini gimana sih, Ren? Melani udah dateng bukannya kamu suruh
duduk. Ayo duduk, Mel!”
Sontak Melani sangat terkejut. Ia tak bisa mempercayai apa yang baru
saja ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Bagaimana bisa Rendy bisa seramah
itu terhadap Ibunya? Sungguh sangat sulit dipercaya, pikir Melani.
“Loe kenapa sih, Mel? Mama udah nyuruh loe duduk. Kenapa loe masih
terpaku disitu?” ucap Rendy sembari meletakkan semangkuk opor ayam di atas meja
makan. Sebelum ia meletakkannya, ia harus menggeser hidangan di sebelahnya.
Melani tetap diam terpaku. Ia masih tak beranjak dari tempatnya berpijak.
“Ya, gue ngerti. Loe pasti kaget gue bisa baik sama nyokap gue. Ya.
Gue udah baikan sama nyokap gue. Mungkin ini semua tak lepas dari bantuan loe.
Makasih ya, Mel.”
Bu Sinta berjalan menghampirinya dan memeluknya erat. “Mel. Tante
begitu mengucapkan banyak-banyak terima kasih sama kamu. Kamu banyak membantu
Tante untuk dekat dengan Rendy. Dengan semua yang kamu lakukan, akhirnya kamu
bisa membuat Rendy kembali menyayangi Tante. Harus dengan apa Tante membayar
itu semua?”
“Aku cuma mau kalian tetep akur sampai kapanpun.”
Mereka pun memulai pesta dengan makan siang. Seperti biasa, melihat
hidangan yang begitu banyak dan memikat hati, Melani makan begitu lahap sampai
tak ada lagi makanan yang sanggup ia makan lagi. Seusai makan siang, pesta berpindah
di pinggir kolam berenang. Ia duduk di tepi kolam ditemani segelas jus jeruk di
sampingnya dan memasukkan sebagian kakinya ke dalam air.
Dilihatnya ibu dan anak yang tengah menikmati kebersamaan. Ia ingat
kejadian tujuh tahun yang lalu, sebelum kedua orang tuanya meninggal. Ketika
ibunya membelai rambutnya dengan penuh perhatian dan kasih sayang. Dan kini tak
ada lagi tangan lembut yang membelai rambutnya lagi. Dan tanpa ia sadari, air
matanya mulai membasahi sebagian wajahnya.
Ia pun memejamkan matanya. Dirasakannya seseorang tengah membelai
rambutnya dengan penuh kelembutan. Perlahan ia kembali membuka matanya.
Dilihatnya sesosok wanita berparas cantik dengan senyumnya yang khas tengah
membelai rambutnya, tak lain tak bukan wanita itu adalah ibunya. Kini ia bisa
bertatapan lagi dengan wanita yang sudah lama meninggalkannya.
“Mel, kenapa kamu nangis?” suara itu membuat ibunya tak lagi di
hadapannya. Dan ia baru sadar bahwa ia tengah bermimpi. Mengapa tidak selamanya
saja ia bermimpi? Kalau perlu ia tak usah bangun kembali agar ia bisa selalu
bersama ibunya.
“Bu Sinta?” Dan ternyata yang ia rasakan ibunyalah yang membelai
rambutnya, tapi pada kenyataan itu bukanlah ibunya. Melaikan Mamanya Rendy.
“Kenapa kamu nangis?”
“Aku cuma lagi kangen aja sama Mama. Aku iri sama semua orang yang
masih punya ibu. Mereka masih bisa memeluk ibu mereka, menatapnya. Tapi aku enggak
bisa.”
“Kalau kamu mau Tante bisa jadi Mama kamu. Kamu boleh panggil Tante
‘Mama’. Siapa tahu nanti kamu benar-benar memanggil Tante ‘Mama’.”
“Aku enggak ngerti maksud Tante.”
“Tante setuju-setuju saja jika kalian pacaran. Atau kalau bisa
sampai menikah.”
“Kalian?” Melani semakin tak mengerti.
“Ya, kalian. Kamu dan Rendy.”
“Ah, Tante ada-ada saja.”
“Iya nih, Mama. Ngomongnya ngarang aja.” Rendy pun ikut dalam
percakapan tersebut. “Rendy enggak ada hubungan apa-apa sama Melani. Lagian
mana mau aku punya cewek galak kayak dia.”
“Siapa lagi yang mau punya pacar jutek kayak kamu.” Melani tak mau
kalah.
“Ya, sekarang sih bilangnya enggak. Siapa tahu besok-besok jadi
iya.”
“Enggak.” ucap Melani dan Rendy serentak.
Kemudian acara dilanjut dengan nonton DVD. Bu Sinta tidak ikut karna
ada meeting mendadak di kantornya. Film yan Rendy putar adalah film laga
Hollywood. Kalo nonton film horor pasti Melani enggak mau. Padalah kalo nonton
film horor Rendy yang untung, karna bisa dipeluk-peluk. Hehe… otak mesum.
Entah mengapa—mungkin karna Melani kelelahan—saat film masih
berlangsung Melani pun tertidur di samping Rendy. Kepalanya bersandar pada bahu
Rendy.
Rendy baru sadar kalo Melani sudah tidur setelah film selesai.
Diamatinya wajah Melani dengan seksama. Ternyata Melani cantik juga. Tangannya
mulai membelai wajah Melani, walau begitu Melani tidak terbangun.
Sampai Bu Sinta pulang, Rendy pun berhenti membelai wajah Melani.
“Eh, Melani malah tidur?” sapa Mamanya. “Ayo bangunin! Udah sore.”
Tanpa dibangunkan Rendy pun Melani sudah bangun sendiri. Lalu Melani
pun diantar pulang oleh Rendy.
Sesampainya di rumah Melani. Keadaan rumahnya masih gelap gulita. Kalaupun
biasanya jam segini Kak Andre sudah gelisah menunggui Melani yang belum kujung
pulang, tapi sekarang orang yang biasa melakukan aktivitas tersebut sedang
tidak ada di rumah. Sudah sejak empat hari yang lalu Andre mengikuti wisata ke
Bali bersama teman-teman sekantornya dan juga beberapa atasan. Dan biasanya
kalau Andre tidak ada di rumah untuk waktu yang lama pasti Melani ditemani oleh
Arini. Namun sekarang Melani sudah mulai dewasa, ia harus dilatih mandiri. Walau
pada awal keberangkatannya Andre agak berat hati meninggalkan Melani sendiri di
rumah. Selalu saja hatinya diselimuti rasa khawatir. Dan untuk mengatasi rasa
khawatirnya yang overdosis, selalu saja setiap harinya ia menghubungi Melani
hampir lebih dari 20 kali.
“Kakak kamu belum pulang?” tanya Rendy setelah Melani turun dari
motor ninjanya.
“Katanya sih, lusa baru mau pulang.”
“Oh. Kamu hati-hati di rumah, ya! Selamat tidur!”
“Ya. Kamu juga hati-hati di jalan. Jangan ngebut!”
Rendy pun menyalakan motornya dan pergi dari pekarangan rumah Melani.
Melani pun mulai bergerak memasuki rumahnya. Namun Rendy memutar arah laju
motornya ke pekarangan rumah Melani kembali.
“Mel…” serunya.
“Apa?” Melani memutar badannya.
“Besok gue tunggu di Café Lucky jam 13:00.” Setelah mengucapkan kata
tersebut, ia kembali melanjutkan laju motornya.
Melani kurang jelas mendengar apa yang baru saja Rendy katakan.
Setelah otaknya sudah mampu mencerna apa yang baru saja Rendy ucapkan. Ia pun
berjalan memasuki rumah sambil tersenyum-senyum sendiri. Rendy mengajaknya jalan—atau
dalam bahasa kerennya ‘kencan’.
“Aku pasti dateng.”
Melani sudah selesai mandi dan mengganti pakaian dengan baju tidur,
ia pun segera beranjak menuju tempat tidurnya. Kata-kata Rendy yang mengajaknya
kencan masih terngiang di telinganya. Tanpa ia sadari ia pun tersenyum-senyum
sendiri lagi.
Ada apa dengan dirinya ini? Ia nampak senang jika selalu berada di
samping Rendy. Pertama kali dalam seumur hidupnya ia merasakan hal ini pada
seorang laki-laki, dan orang itu hanya Rendy. Apa ini yang dinamakan cinta?
Cinta? Apa benar ia jatuh cinta pada Rendy? Tidak. Ia tidak boleh jatuh cinta
pada Rendy. Ia begini karna mungkin baru pertama kali ia sedekat ini dengan
seorang laki-laki. Atau hanya perasaannya saja. Jika ia benar-benar jatuh cinta
pada Rendy, pasti Lyla akan marah sekali padanya. Lyla akan menganggapnya
sebagai pengkhianat. Ia harus buang jauh-jauh perasaan ini. Besok adalah kali
terakhirnya ia dekat dengan Rendy. Ia harus segera menjauh dari Rendy, sebelum
nanti akhirnya perasaan ini berubah jadi cinta yang sesungguhnya.
Sampai di rumah Rendy langsung menuju kamarnya. Sama halnya dengan Melani,
ketika Rendy menaiki anak tangga. Ia bersenandung germbira. Sesekali
berputar-putar layaknya orang yang tengah menari salsa. Dari wajahnya tersirat
sinar kebahagiaan.
“Yang mau kencan, girang amat keliatannya.” ujar Bu Sinta tiba-tiba.
“Mama?” balas Rendy setengah terkejut. “Siapa yang mau kencan?
Ada-ada aja.”
“Mama tahu, kok. Besok siang jam 13:00 di Café Lucky, kamu mau
ketemuan sama Melani.”
“Darimana Mama tahu semua itu?” Rendy menghampiri Mamanya yang
tengah duduk santai di depan televisi dengan secangkir coklat panas.
“Kenapa enggak sekalian kamu ‘tembak’ aja?”
“Rendy enggak ngerti maksud Mama.”
“Dari tatapan kamu sama Melani, Mama bisa liat kalo kalian saling
suka. Juga ketika tadi siang Mama bilang ‘setuju jika kalian pacaran’ sama
Melani, mukanya langsung merah. Apa itu bukan namanya tanda-tanda jatuh cinta?”
“Mama ngawur aja kalo ngomong. Siapa yang cinta sama gadis galak
itu?”
“Oh, gitu. Menurut Mama Melani cantik, kok. Jadi kalo kamu enggak
‘nembak’ dia, masih banyak laki-laki yang mengantri untuk jadi pacarnya.”
“Masak sih, Ma?” ujar Rendy agak terkejut.
“Denger Melani banyak yang naksir aja langsung kaget. Buruan tembak.
Keduluan sama orang lain aja, nanti nyesel, lho.”
“Ah, Mama.” Rendy segera bergegas menuju kamarnya setengah berlari.
Walau pikirannya masih dihantui oleh ucapan Mamanya. Melani banyak yang naksir?
Bagaimana dengannya?
***
Salah Paham
Sesuai janji, Rendy datang ke Café Lucky tepat pada pukul 13:00.
Lama ia menunggu Melani tak juga datang. Ia sudah menghabiskan dua gelas jus
alpukat.
“Loe darimana aja sih, Mel?” serunya ketus.
“Dulu kamu yang buat aku nunggu lama. Sekarang kenapa aku enggak
bisa melakukan hal yang sama?”
“Jadi loe sengaja telat?”
“Enggak juga, sih. Di jalannya macet. Ya, aku terlambat, deh.”
“Udahlah. Enggak perlu panjang lebar lagi.” Rendy menarik tangan
Melani keluar. Sebelumnya, ia meletakkan selembar uang bernominal Rp50 ribu di
atas meja yang baru saja ia tempati.
Tujuan pertama mereka adalah sebuah bioskop yang ada di mall tersebut.
Di jam itu hanya film-film horor yang ditayangkan. Keduanya memilih sebuah film
horor made in Indonesian yang sedikit dibumbui oleh komedi berjudul ‘Hantu
Pohon Rambutan’. Awalnya Melani menolak. Perbuatan yang dilakukan Tiara bersama
genk-nya waktu lalu, sangat membekas pada dirinya. Ia trauma mendalam akan
hantu-hantuan dan sejenisnya.
“Kalo rasa takut itu harus dilawan. Biar trauma loe itu bisa
hilang.” bujuk Rendy.
Akhirnya Melani pun setuju.
Selama menonton kedua tangannya tak lepas dari hadapan matanya.
Sesekali ia mengintip, namun ketika Si Hantu muncul matanya kembali terpejam.
Saat semua orang yang berada di dalam bioskop berteriak ketakutan melihat
seramnya sosok hantu di layar bioskop, Melani hanya terdiam. Satu jam durasi
film, Melani sama sekali tak menikmati fim yang tengah diputar. Dan tak
berhenti-hentinya memakan popcorn.
“Katanya mau sembuh dari trauma? Kalo matanya ditutup terus sih,
mana bisa.” sindir Rendy. “Coba buka matanya!” Rendy meraih perlahan kedua
telapak tangan Melani.
Perlahan Melani membuka matanya. Dan pada saat yang sama… Si Hantu
pun muncul. Wajahnya jelas sekali terlihat. Wajah hantu itu sangat jelas
terlihat di layar. Sontak Melani menjerit keras. Lebih keras dari orang-orang
yang menjerit di dalam ruang itu. Dan tanpa ia sadari, ia bersembunyi di balik
jaket Rendy yang duduk di sebelahnya—untung saja Melani tidak salah peluk
orang, kalau saja orang yang Melani peluk adalah yang di sebelah kanannya, ia
akan memeluk pacar orang. Seakan jantungnya akan copot. Butuh beberapa menit
Melani untuk menenangkan diri. Dan mengatur skala napasnya. Ia pun melepaskan
pelukannya.
“Kita keluar sekarang!” ucapnya agak marah.
“Filmnya belum selesai, Mel.”
“Terserah kalo kamu masih mau nonton, aku mau pulang.” Melani pun
beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkan ruang bioskop dengan langkah
panjang.
Rendy segera menyusulnya. Rendy berhasil menghentikan langkah Melani
dan menarik tangannya. “Mel, tunggu! Loe kenapa, sih?”
“Kenapa? Kamu tahu sendiri, aku takut setan-setanan. Kamu paksa buat
nonton film enggak berbobot itu.”
“Loe kan mau ngilangin trauma loe.”
“Enggak. Biar aja aku takut setan selamanya. Aku enggak mau nonton
film horor lagi. Terserah apa itu horor komedi, horor romantis ataupun yang
sejenisnya. Aku tetep enggak mau. Aku mau pulang.”
“Ya. Ya. Gue minta maaf. Gue enggak akan paksa loe lagi. Tapi loe
jangan pulang dulu. Jalan-jalannya kan belum selesai.”
“Ya.”
“Oke. Sekarang kita main lagi.” Rendy menarik tangan Melani lagi.
“Kemana?”
Sampailah keduanya di sebuah temat bermain yang dari luar sudah
terasa dingin—ice skating. Banyak yang mengantri untuk memasuki tempat yang suhunya
tak jauh dari Benua Antartika itu. Dan di dalam pun sudah banyak penghuninya.
Rendy pun berhasil mendapatkan tiket masuknya.
“Kita ngapain kesini?” tanya Melani.
“Kita berenang.”
“Disini?” tanya Melani semakin tak mengerti.
“Ya, enggaklah. Kita kesini mau maen ice skating.”
“Ice skating? Apaan tuh?”
“Main di atas balok es.”
“Emang bisa, ya?”
“Makanya ada juga, ya pasti bisa lah. Ayo masuk!”
“Enggak, ah. Dingin.”
“Ayo!”
Mungkin lebih baik daripada nonton film horor di bioskop yang gelap
dengan layar seluas lantai di kamarnya, pikir Melani.
Sungguh dingin berada di tempat itu. Jika ada yang ingin berlibur ke
luar negri di musim dingin, boleh mencoba masuk tempat ini sebelum berangkat.
Sekedar latihan untuk mempersiapkan diri musim dingin di negri orang. Suhu di
ruangan sudah disetting dengan suhu -4o – 0o C. Huh… dingin sekali!
Tempat ini tak hanya untuk dewasa dan remaja seperti Melani dan
Rendy, anak-anak bahkan ibu-ibu pun ada disini. Walau dingin yang amat menusuk,
mereka semua sangat menikmati berada di tempat tersebut. Bermacam-macam
aktivitas berbeda bisa disaksikan di ruangan yang luasnya 100 × 100 m.
Belum lama Melani berada di ruangan itu, ia sudah mulai merasa tidak
enak. Walau ia sudah memakai alas kaki, namun kakinya tetap terasa dingin dan
hampir kram.
Selama berada di dalam ruangan itu tangan Melani tak mau lepas dari
genggaman Rendy. Bukan karna ia ingin terus bersama pria yang 13 cm lebih
tinggi darinya, namun karna kedua kakinya tak mampu berdiri tegak di atas balok
es.
“Coba lepasin tangan gue!” bujuk Rendy.
“Enggak mau. Gimana nanti kalo aku jatoh?”
“Eh… Mau bisa enggak?”
Perlahan Melani melepaskan tangan Rendy. Dan Rendy pun berjalan
mundur agak menjauhi Melani.
“Kamu mau kemana?” teriak Melani.
“Coba kamu jalan perlahan—selangkah demi selangkah!”
“Enggak.” ucap Melani sembari berusaha menyeimbangkan tubuhnya agar
tidak jatuh.
“Kalo loe enggak mau coba, gue pergi aja.”
“Jangan!”
“Ya udah. Loe jalan pelan-pelan ke arah gue.”
Melani mencoba perlahan. Satu langkah ia berhasil. Ia pun bersorak
gembira. Dan pada langkah kedua karna ia terlalu tergesa-gesa, ia pun
terpeleset. Pantatnya langsung bersentuhan dengan lantai es yang sangat dingin.
Brrr… dingin sekali. Pantatnya jadi mati rasa ditambah dengan rasa sakitnya
ketika terjatuh.
“Aaaa…” teriaknya.
Rendy sama sekali tak menghampirinya, apalagi menolongnya untuk
bangkit.
“Kamu kok diem aja, sih? Bantuin, dong!”
“Bangun aja sendiri. Ayo! Jangan sok pasang tampang wajah memelas
gitu! Jalan lagi.”
Melani ingin marah atas ejekan Rendy. Namun untuk apa. Ia pun
perlahan beranjak. Ia berusaha untuk berjalan menghampiri Rendy lagi. Kini ia
tidak terlalu tergesa-gesa. Tak mau jatuh pada lubang yang sama. Dan akhirnya
ia pun berhasil berjalan sejauh 3 m di atas balok es.
“Aku bisa, kan?”
“Jalan cuma tiga meter, bangga. Liat anak itu!” Rendy menunjuk
seorang bocah yang tengah berlari-lari di dalam ruangan tak jauh dari mereka
berdua. “Dia bisa lari-lari disini, biasa aja tuh. Loe yang cuma bisa jalan
tiga meter, bangga setengah mati.”
“Aku kan baru belajar. Hargain dong usaha aku.”
“Ya. Gue hargai karna usaha loe. Karna loe mau mencoba.” Nampaknya
pujian Rendy terlalu berlebihan pada Melani. Sampai-sampai wajah Melani memerah—sebenernya
sih karna kedinginan. “Sebagai hadiahnya, kita kelilingi tempat ini. Ayo,
pegang tangan gue!”
Melani pun memegang tangan Rendy. Dan keduanya segera meluncur.
Rendy yang bergerak setengah berlari mampu membawa Melani mengelilingi tempat
dingin itu.
“Asyik…” teriak Melani sesekali. Baru kali ini Melani bisa tertawa
lepas dan enjoy sekali bersama laki-laki selain Kakaknya.
Puas bermain di musim dinginnya Indonesia. Perut keduanya terasa
keroncongan. Keduanya pun segera keluar dari tempat tersebut dan mencari tempat
makan.
Sebuah café yang tidak terlalu jauh dari tempat mereka sebelumnya,
mereka pun menghampiri café tersebut. Sesampainya di café tersebut, mereka
disambut ramah oleh para pelayan. Mereka pun dilayani dengan telaten. Rendy
memesan spaghetti dan jus alpukat. Melani sendiri memesan nasi goreng dan jus
jeruk. Ia tak mengerti menu hidangan yang disajikan. Semua nama menu asing
baginya. Hanya nasi goreng yang bisa ia baca dengan jelas.
“Ren,.” sambil menunggu
makanan tiba, Melani membuka pembicaraan. Rendy tak terlalu memperhatikan. “Ada
yang suka sama kamu,” Melani melanjutkan.
“Terus apa?”
“Rendy tanggepin dong! Yang ini beda daripada yang lain.”
“Siapa?”
“Lyla.”
“Siapa Lyla?”
Melani mulai geram menghadapi sikap Rendy. “ Siswi yang keseleo dan
kamu anterin pulang. Kejadiannya juga belum satu bulan.”
“Oh, namanya Lyla. Terus kenapa?”
“Dia sahabat aku yang suka banget sama kamu. Aku ingin deketin dia
sama kamu. Aku ingin kamu sedikit membuka kesempatan buat dia.”
“Kalo gue enggak mau gimana?”
“Apa kamu enggak bisa sedikit buka hati? Siapa tahu kalo kamu udah
deket, jadi cinta beneran.”
“Hidup gue enggak suka maen-maen, Mel. Apalagi ini mempermainkan
cinta. Gue akan bilang cinta sama cewek yang gue cinta. Dan gue juga enggak
butuh Mak Comblang untuk deketin gue sama cewek.”
“Tapi kan kamu bisa mencoba perlahan demi perlahan. Siapa tahu
lama-lama jadi cinta beneran. Menurut aku, itu bukan suatu hal yang
mempermainkan cinta.”
“Tapi gue enggak mau.”
Tiba-tiba pelayan tadi datang dengan senampan hidangan yang Melani
dan Rendy pesan. Percakapan serius itu pun buntu. Si Pelayan menata makan di
atas meja. Dan pergi.
“Apa kamu enggak bisa pikirin lagi?” tanya Melani lagi.
“Udahlah, Mel. Gue enggak mau ngomongin itu sekarang. Makanan udah
siap, sekarang kita makan! Gue udah laper banget.”
Melani pun terdiam.
Puas melahap semua hidangan yang tersedia di atas meja. Keduanya pun
sejenak mengistirahatkan diri agar makanan yang baru saja tertelan dapat
dicerna baik oleh enzim-enzim dalam tubuh. Cukup untuk istirahatnya. Rendy
segera memanggil pelayan dan memberikan beberapa lembar rupiah kepada pelayan
tersebut. Dan pergi ke tempat yang mengasyikkan lainnya.
Kali ini Rendy mengajak Melani ke sebuah tempat yang menjadi favorit
bagi anak-anak. Game Zone. Kekanak-kanakan sekali. Sebelum bermain Rendy harus
membeli koin untuk bisa bermain di tempat tersebut. Dan untuk kesekian kalinya
Rendy harus merogok koceknya dalam-dalam untuk hal yang tidak penting.
Nampak keceriaan dari raut wajah keduanya. Seperti kembali ke masa
lalu ketika keduanya masih memakai seragam Sekolah Dasar. Beberapa wahana
permainan membuat mereka tertarik untuk mencobanya. Seperti balap mobil, balap
motor, berperang melawan alien, juga permainan mengambil boneka dalam sebuah
kotak, namun tak ada yang berhasil dalam permainan tersebut baik Rendy maupun
Melani. Keduanya pun menyerah. Dan masih banyak lagi permainan yang mereka
coba.
Walau hanya dalam waktu sekejap, keduanya mampu mengumpulkan banyak
tiket dari yang dapat ditukarkan dengan beberapa souvenir, tentunya souvenir
yang mereka dapatkan harus sama dengan tiket yang mereka kumpulkan. Tiket
tersebut berasal dari sebuah lubang kecil di samping tempat masuknya koin setelah
mereka menyelesaikan sebuah permainan. Dari hasil pengumpulan tiket tersebut
mereka hanya bisa menukarkannya dengan sebuah boneka beruang kecil berwarna
merah muda yang sangat lucu.
“Bonekanya buat loe aja.” ujar Rendy. “Nyokap gue enggak mungkin
suka sama barang yang begituan.”—sebenarnya boneka itu memang ia tujukan untuk
Melani, namun ia terlalu gengsi untuk mengatakan hal itu.
Setelah bermain, keduanya memutuskan untuk pulang. Hari sudah
semakin gelap. Tak terasa sudah hampir tiga jam lebih keduanya berada dalam
gedung mall bertingkat tujuh itu. Sebagai penutup jalan-jalan kali ini, Rendy
membeli dua buah es krim untuknya dan untuk Melani.
Di tempat parkir motor Rendy, keduanya masih besenda gurau. Dan
secara curi-curi Rendy mulai menggenggam tangan mungil Melani. Sesekali tawa
membuat keduanya berhenti sejenak. Dan musibah itu pun muncul …
Langkah kaki Melani terhenti seketika karena melihat ketiga sahabatnya
dengan wajah kaget plus sinis memandangnya juga Rendy. Dan ketiganya dengan
sengaja menghadang Melani dan Rendy. Melani amat terkejut melihat tiba-tiba
ketiga temannya sudah berada di hadapannya. Es krim yang ada di tangannya pun
terjatuh. Ia juga melepaskan genggaman tangan Rendy.
“Oh. Jadi ini yang kamu lakukan di belakang kita?” ujar Winda.
“Pantes aja kamu selalu nolak kalo kita ajak jalan. Ternyata ada
yang lebih penting.” tambah Vania sinis.
“Bilangnya, Kakak sakitlah. Banyak tugaslah. Bullshit semuanya. Aku enggak
pernah menyangka akan punya temen kayak kamu. Penghianat kamu, Mel.” Lyla geramnya
bukan main. Lyla pun hendak menampar Melani. Namun lengannya ditepis oleh
Rendy.
“Masalah ini bisa diselesaikan secara baik-baik. Enggak perlu pake
kekerasan.”
“Oh, jadi sekarang Kakak udah beralih profesi jadi bodyguard
Melani.”
“La, aku mohon dengerin aku dulu. Aku bisa jelasin semuanya. Ini
semua hanya salah paham.”
“Oh, jadi loe yang namanya Lyla?” ucap Rendy memotong ketegangan
yang ada. “Jadi loe sahabat Melani yang naksir berat sama gue?”
“Dulu memang iya, tapi sekarang enggak. Dan pernyataan Kakak tak
sepenuhnya benar karna Melani bukan sahabat aku lagi.”
“La, aku mohon dengerin aku dulu. Kamu cuma salah paham. Aku sama
Rendy enggak ada hubungan apa-apa, kok.”
“Aku kecewa sama kamu, Mel. Aku menyesal pernah punya sahabat kayak
kamu.”
“Aku juga kecewa sama kamu.” ucap Vania dan Winda serentak.
Lyla pergi dengan langkah panjang, diikuti oleh Vania dan Winda yang
berjalan setengah berlari dibelakangnya. Lyla pergi begitu saja tanpa
mendengarkan penjelasan Melani. Nampaknya amarah Lyla padanya sudah
mengubun-ubun. Apa yang kini harus dilakukannya? Apa yang harus ia lakukan agar
Lyla mau mendengar penjelasannya dan memaafkannya? Melani terduduk lemas di
lantai tempat parkir. Salah dirinya sudah masuk dalam masalah ini. Harusnya ia
tidak masuk ke dalam kehidupan Rendy. Kalau perlu ia menolak permintaan Bu
Sinta. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Ia tak dapat memutar waktu untuk mengulangnya
dari awal. Agar ia tidak terjepit dalam masalah pelik ini.
Rendy tak mengerti apa yang tengah terjadi. Ia pun membangunkan
Melani. “Mel, bangun! Enggak enak diliat orang-orang.”
Tanpa berkomentar apa-apa, Melani menuruti Rendy.
“Apa yang terjadi? Gue enggak ngerti apa yang lagi kalian
perdebatkan?”
“Enggak ada apa-apa. Kamu pulang duluan aja. Aku lagi ingin
sendiri.”
“Mel, loe cerita dong sama gue! Siapa tahu gue bisa bantu.”
“Rendy. Aku bilang aku lagi pengen sendiri. Tolong jangan ganggu aku
dulu.”
Melani pergi begitu saja. Rendy tak mengejarnya. Ia akan membiarkan
Melani untuk sendiri dulu. Mungkin jika keadaan sudah mulai membaik, Melani
akan bercerita padanya.
***
Ketika di sekolah, Melani masih memikirkan masalah yang menimpanya
tadi malam. Lyla salah paham padanya. Ia harus menceritakan apa yang
sesungguhnya terjadi pada Lyla. Tapi bagaimana bisa? Lyla sama sekali tak mau
mendengar penjelasannya. Dalam lamunannya samar-samar ia medengar seseorang
berkata pedas padanya.
“Penghianat kok masih berani menampakkan wajahnya, sih?” Dan orang
yang baru saja berkata sedemikian pedas padanya tak lain tak bukan yang sekarang
menjadi mantan sahabatnya, Vania.
“Kalo aku jadi penghianat itu sih, aku udah terjun dari gedung
lantai 30.” tambah Winda, lalu tertawa dengan nada ejekan.
“Enggak punya muka banget loe, Mel.” ucap Lyla lebih ketus dari
kedua temannya.
“La, aku mohon kasih aku kesempatan untuk jelasin semuanya. Kamu
cuma salah paham.” Melani berusaha membela diri.
“Mel, aku kasih tahu, ya. Mata aku masih normal untuk melihat
kemesraan kamu sama Kak Rendy. Jadi loe enggak perlu jelasin apa-apa lagi sama
gue.”
“La. Aku mohon satu kali aja!”
“Gue enggak ada waktu buat denger semua kebohongan loe. Kita pergi
yuk, Guys! Buang-buang waktu ngomong sama pengkhianat.” Untuk kedua kalinya
Lyla pergi tanpa mau mendengar semua penjelasannya. Vania dan Winda pun kini
berpihak pada Lyla. Melani benar-benar merasa sendiri. Kepada siapa ia harus
berbagi kepedihan ini?
Saat ekskul pun Melani tampak tak berkonsentrasi. Pikirannya
dipenuhi dengan bagaimana caranya agar Lyla bisa memaafkannya. Sesekali Pak
Ardi mengomel padanya ketika Melani kehilangan konsentrasinya.
“Mel, konsen, dong!” gerutu Pak Ardi. “Kalo enggak niat ikut ekskul,
mending enggak usah.”
“Maaf, Pak! Saya enggak akan ulangi lagi.” ucap Melani merasa
bersalah. “Saya izin ke kamar mandi sebentar, Pak.”
“Ya, boleh. Jangan telalu lama.”
“Baik, Pak!” Melani pergi ke kamar mandi setengah berlari.
Di dalam kamar mandi, Melani membasuh wajahnya. Kini wajahnya sudah
lebih segar kembali. Ketika ia bercermin, mendadak Si Cermin memunculkan
peristiwa menyedihkan antara ia dan Lyla tadi malam. Dan tanpa ia sadari
wajahnya mulai basah oleh air mata.
“Tuhan. Mengapa hidupku serumit ini? Aku enggak sanggup jika harus
engkau beri cobaan seberat ini. Tuhan, tolong bantu aku agar aku bisa dimaafin
Lyla. Aku enggak mau terus-menerus ada dalam masalah ini. Aku cape. Tolong beri
petunjuk-Mu!” rintih Melani.
Melani teringat akan janjinya pada Pak Ardi. Ia tak akan lama-lama
pergi ke kamar mandi. Ia pun segera menghapus air matanya. Dan pergi dengan
tergesa-gesa meninggalkan kamar mandi. Ketika ia keluar dari kamar mandi,
tiba-tiba seseorang menarik tangannya.
“Gue liat, loe enggak konsen latihan. Apa ini karna masalah tadi
malam? Apa yang sebenernya terjadi?”
“Ini semua bukan urusan kamu.”
“Loe bisa cerita sama gue, kan? Siapa tahu gue bisa bantu.”
“Aku bilang ini bukan urusan kamu. Aku hanya mau kamu enggak usah
temui aku lagi. Anggap aja kita enggak pernah kenal sebelumnya. Lepasin aku!
Aku mau latihan.” Melani hendak melepaskan gengaman orang tersebut. Namun
semakin Melani berusaha untuk melepaskannya, genggamannya semakin erat.
“Sebenernya ada masalah apa? Tolong cerita sama gue. Gue pasti akan
berusaha bantu loe.”
“Ini semua karna kamu. Karna aku deket sama kamu, Lyla marah. Lyla enggak
mau bicara sama aku lagi. Jadi aku mohon, tolong jauhin aku! Semakin kamu deket
sama aku Lyla semakin marah.”
Melani melepaskan genggamannya. Dan ia pun pergi. Namun Rendy
kembali menariknya dan kini ia memeluknya erat.
“Nangis aja sepuas kamu!”
Melani mulai menangis dalam pelukan Rendy. “Aku cape. Aku lelah
dengan semua ini. Aku enggak kuat harus dimusuhi Lyla.”
“Loe enggak usah khawatir. Gue pasti bakal bantu loe. Ini semua juga
ada hubungannya sama gue. Ijinin gue bantuin loe, ya? Selama ini loe yang udah
berusaha bantuin gue untuk bisa deket lagi sama Mama. Sekarang giliran gue yang
bantuin loe. Loe tenang aja. Semua ini akan segera berakhir.” Rendy membelai
rambut Melani.
Rendy tidak berbohong pada Melani. Ia benar-benar menepati janjinya.
Keesokan harinya ia mencegat Lyla di pintu gerbang sekolah.
“Ada waktu lima menit buat bicara empat mata?”
“Maaf. Aku enggak punya waktu.” jawab Lyla ketus.
“OK. Gue to the point aja. Melani bantuin gue buat deket sama nyokap
gue. Dan kemarin gue cuma mau balas kebaikannya dengan traktir dia,”
“Terus apa hubungannya sama gue?”
“Gue bukan cowok bego, La. Gue tahu loe cemburu sama Melani. Dan gue
tahu pasti loe berpikir gue ada hubungan apa-apa sama Melani.”
“Enggak.”
“Loe enggak perlu bohongin diri loe sendiri. Dari sikap loe marah
sama Melani, gue udah kira loe cemburu sama Melani.”
“Kalo iya, kamu mau apa?”
“Gue enggak ada hubungan apa-apa sama Melani. Dan sorry gue harus
ngomong ini, gue juga enggak ada perasaan apa-apa sama loe. Jadi loe enggak
perlu terlalu berharap sama gue.”
“Tenang aja, Kak. Aku juga lagi berusaha untuk tidak menyukai Kakak.”
“Dan gue cuma minta sama loe, tolong maafin Melani.”
“Kenapa harus?”
“Kalo loe mau tahu, sebelum kejadian malam itu. Melani bilang sama
gue, kalo loe naksir sama gue. Dia udah berusaha comblangin gue sama loe. Cuma
guenya aja yang enggak mau. Dia sedih banget setelah kejadian malam itu. Dia enggak
konsen melakukan apa-apa hari ini. Dia juga berusaha menjauh dari gue. Cuma
buat jaga perasaan loe.”
Melani sampe segitunya? pikir Lyla.
Lyla bukan orang yang tidak memiliki hati. Kisah sedih yang baru
saja Rendy ceritakan membuat hatinya sedikit luluh. Meskipun ia sendiri tak
tahu apa yang Rendy cerikan benar atau tidak. Ia juga tak mengerti mengapa
harus marah pada Melani. Rendy bukan siapa-siapanya. Kenapa ia harus marah
Rendy berhubungan dengan Melani?
“Iya. Aku mau maafin Melani. Tapi dengan satu syarat.”
“Syarat?”
“Aku mau kencan sama Kakak.”
Rendy agak kaget dengan permintaan Lyla. Tapi pada akhirya, ia
mengiyakan juga.
Esok paginya, Melani masih melamunkan masalahnya dengan Lyla. Pikirannya
dipenuhi dengan bagaimana cara agar Lyla mau memaafkannya. Namun tiba-tiba
lamuannya buyar, ketika ketiga sahabatnya mengejutkannya.
“Pagi, Mel!” sapa Winda seraya merangkul Melani.
“Siap ulangan sejarah?” tanya Vania kemudian.
Melani hanya diam saja. Ia tak mengerti mengapa ketiga sahabatnya
kini berubah baik kembali padanya. Padahal kemarin mereka sama sekali tak mau
bicara padanya.
“Mel, aku tanya kok diem aja?”
“Aku ngerti. Kamu pasti kaget karna kita berubah baik lagi sama
kamu, kan?” ucap Lyla.
Melani hanya mengangguk.
“Aku pikir marah lama-lama itu enggak baik. Aku juga sadar Kak Rendy
bukan siapa-siapa aku. Jadi kenapa aku harus marah kamu jalan sama Kak Rendy?”
“Aku bener-bener enggak ada hubungan apa-apa. Yang kemaren cuma…”
“Enggak perlu ada penjelasan apa-apa lagi. Aku percaya sama kamu.”
“La… aku minta maaf ya, karna udah buat kamu salah paham.”
“Kita juga minta maaf udah marah-marah sama kamu,”
“Kita sayang kamu.” Mereka berempat pun berpelukan.
Dalam pelukan itu, Melani teringat pada Rendy. Apakah Rendy yang
membuat Lyla bisa memaafkannya? Rendy memang sudah berjanji padanya akan
membantu Melani keluar dari masalah ini. Sudahlah. Untuk sekarang ia tak perlu
memikirkan apa-apa dulu. Yang penting sekarang adalah ia sudah bisa kembali bernapas
lega karna sahabat-sahabatnya sudah mau memaafkannya.
Beberapa kali Rendy mencoba untuk berbicang dengan Melani. Namun
Melani selalu menghindar dari Rendy. Apalagi jika ada Lyla bersamanya, ia bahkan
pura-pura tak mengenal Rendy. Ketika mereka berpapasan saja, Melani hanya
menunduk.
Lyla hanya berdiam diri saja melihat tingkah laku Melani yang aneh
itu. Ia sendiri tahu, Melani sama sekali tidak mau melakukan hal itu. Sangat
jelas terlihat tatapan Melani pada Rendy seperti orang menyimpan perasaan—tepatnya
rasa cinta. Dan Lyla yakin Melani pasti sangat terpaksa melakukan itu semua.
Dan ia juga tahu Melani melakukan itu semua untuknya. Agar dia tidak salah
paham lagi pada dirinya. Dan ia memanfaatkan hal ini untuk lebih dekat pada
Rendy. Sungguh sahabat yang egois!
Tapi ketika Lyla mencoba mendekati Rendy. Rendy selalu saja
menghindar. Atau membalas sapaan Lyla dengan dingin.
“Sabar, La! Lama-lama juga hati Kak Rendy jadi berpaling sama kamu.”
ucap Lyla pada dirinya sendiri.
***
Tiba saatnya yang diingikan-inginkan Lyla. Akhirnya ia bisa
berkencan dengan cowok paling populer satu sekolah, Rendy. Ia janjian bertemu
dengan Rendy di café Rosemary jam 15:00. Lyla dandan habis-habisan untuk tampil
cantik di hadapan Rendy. Ia pun memutuskan untuk datang lebih awal.
Sekitar tigapuluh menit ia menunggu akhirnya Rendy pun datang.
“Kita mau pergi kemana?” sapa Rendy
dengan dingin.
“Kamu enggak mau duduk dulu?” jawab Lyla ramah.
“Enggak usah. Kita langsung pergi aja.”
“Kita nonton dulu, yuk!”
Rendy tak menjawab.
Tak jauh berbeda dengan kencannya dulu dengan Melani. Hal yang
pertama mereka lalukan adalah menonton. Tepatnya menonton film horor di
bioskop.
Film dimulai. Menurut kabar burung, film ini adalah kisah nyata yang
terjadi di Pulau Buru, tepatnya di dalam hutan di Pulau Buru. Tempatnya pun
sengaja dilakukan di tempat tersebut. Hutan itu adalah hutan yang dulunya
dijadikan tentara Belanda untuk membunuh pemimpin dari sebuah organisasi yang
membangkang pada Belanda. Tentu, di hutan tersebut banyak arwah halus yang
berkeliaran. Penduduk setempat beranggapan bahwa hantu-hantu yang berkeliaran
di hutan tesebut adalah para roh halus yang belum sempat dikebumikan secara
layak.
Lyla amat menikmati ketegangan film yang tengah di putar. Dan ketika
wajah seram Si Hantu dinampakkan jelas pada layar lebar bioskop seisi bioskop
menjerit. Tanpa disadari Lyla bersembunyi di balik jaket Rendy—sama seperti
yang dilakukan Melani tempo hari.
Sejenak Rendy memperhatikan Lyla. Dalam bayangannya wanita yang
tengah memeluknya sekarang adalah Melani. Tapi Melani hanya ada dalam
bayangnya. Yang sekarang memeluknya adalah Lyla, bukan Melani. Lyla dan Melani
amatlah berbeda.
“Hantunya udah enggak ada.” ucap Rendy sembari menarik tanganya yang
dipegang erat Lyla.
Seusai menonton, keduanya berkeliling mengunjungi setiap penjuru
mall. Sesekali Lyla mengajak Rendy ke toko pakaian. Lyla mendadani Rendy dengan
beberapa barang yang dijual di tempat tersebut. Namun dengan dinginnya Rendy
melepas semua yang Lyla kenakan padanya. Pergi meninggalkan Lyla dengan dingin
dan ketus.
Sampai keduanya di tempat ketika Melani dan Rendy bermain ice skating.
Rendy terus mengamati ruangan tersebut. Dalam bayangannya, ia teringat akan
saat-saat romantis ketika bermain bersama Melani.
“Kita maen disitu, yuk!” ajak Lyla tiba-tiba. Dan lamunannya pun
buyar seketika.
“Enggak. Gue laper. Kita cari makan aja!”
“Ya udah, deh. Aku juga udah laper.” ucap Lyla. Padahal aku pengen
banget maen ice skating bareng Rendy. Nahan laper juga enggak apa-apa.
“Ayo, katanya mau makan!” seru Rendy yang sudah berjalan agak jauh.
Sungguh kencan yang sangat tidak diharapkan setiap orang, termasuk
Lyla sendiri yang menjalaninya. Kencan yang sangat mengecewakan, pikir Lyla.
Sudah sejak lama ia berharap bisa berkencan dengan Rendy. Tapi apa nyatanya?
Sama sekali tak ada kesan yang menarik. Jika ia tahu akan seperti ini jadinya,
ia akan lebih memilih untuk tidak sama sekali.
Selesai makan, Rendy langsung mengajak Lyla pulang. Walau Lyla masih
sangat ingin lebih lama lagi bersama Rendy. Tapi tak apalah, hari juga sudah
terlalu malam.
Sebelum Rendy mengantarkan Lyla pulang, ia mampir dulu di tempat
makan ‘Masakan Bebek Chef Jaka Junaedi’. Ia tidak bermaksud untuk makan bersama
Lyla di tempat tersebut. Melainkan hanya memesan beberapa porsi untuk dibawanya
pulang.
“Gue mau beliin buat nyokap.” ucapnya.
Lyla sangat tahu tempat makan tersebut. Ia pernah beberapa kali diajak
Melani makan di tempat tersebut. Ya, memang tidak dapat dipungkiri makanan di
kaki lima itu tak kalah dari masakan restaturant mewah di seantero Jakarta. Apa
Melani juga yang memperkenalkan tempat ini pada Rendy, pikir Lyla. Sudah
seberapa jauh kedekatan Melani dan Rendy?
“Kata Mel—maksud gue kata orang makanan disini enak-enak. Loe mau
beli juga?”
“Enggak. Lagipula di rumah cuma ada aku sama pembantu. Aku juga udah
kenyang. Kamu tahu tempat ini dari siapa?”
“Oh… dari tetangga gue.” ucap Rendy tergagap.
“Oh.” Lyla tahu Rendy tengah berbohong padanya. Tapi ia tak mau
mempermasalahkannya.
Setelah Rendy mendapatkan apa yang diinginkannya. Ia pun segera
menancap gas dan pergi meninggalkan tempat kenangannya bersama Melani dulu. Ia
juga mengantarkan Lyla selamat sampai di rumahnya. Lyla sempat menawarkan Rendy
untuk singgah sejenak, namun Rendy menolaknya.
“Kata loe, di rumah enggak ada orang. Kalo gue masuk, enggak enak
sama tetangga. Takutnya mereka berpikiran macem-macem. Mungkin kapan-kapan gue
bisa mampir.”
“Oh, iya juga.”
“Gue balik dulu, ya!”
“Oh, iya. Hati-hati di jalan!”
***
Melani sangat yakin bahwa Rendylah yang sudah membujuk Lyla untuk
bisa memaafkannya. Sampai sekarang ia belum mengucapkan terima kasih pada
Rendy. Ia juga harus menegaskan pada Rendy agar Rendy tak usah menemuinya lagi.
Pada jam istirahat, ia diam-diam menemui Rendy di basecampnya.
Walapun sebenarnya ia bilang kepada ketiga temannya akan pergi ke perpustakaan.
Untunglah ketiga temannya percaya.
Sampai di basecamp Rendy, ia hanya melihat Rendy yang berada di
ruang tersebut. Ini lebih baik daripada harus didengar oleh Evan dan Bayu.
“Rendy!” seru Melani.
“Mel? Ngapain loe kesini?”
“Aku tahu kamu yang buat Lyla mau maafin aku.”
“Terus loe mau apa?”
“Aku cuma mau bilang terima kasih. Kamu udah sering bantu aku. Aku enggak
tahu harus bales apa.”
“Ya, sama-sama.”
Hening sejenak.
“Rendy.”
“Apa lagi?”
“Aku cuma mau bilang… kamu enggak usah temui aku lagi, ya! Atau anggap
aja kita enggak pernah kenal.”
“Maksud kamu apa?”
“Aku hanya ingin jaga perasaan Lyla. Kalo kita masih ketemuan Lyla
pasti salah paham lagi.” Melani hendak pergi. Namun tangannya ditahan oleh
Rendy.
“Gue enggak bisa.” Rendy pun memeluk Melani.
“Tolong jangan pergi dari kehidupan aku! Kamu udah memberi banyak
warna dalam hidup aku. Cuma sama kamu aku bisa tertawa lepas. Aku jatuh cinta
sama kamu, Mel. Aku enggak bisa jauh dari kamu. Kamu udah masuk ke dalam
kehidupan aku. Kamu enggak bisa gitu aja pergi. Aku juga tahu kamu pasti punya
perasaan yang sama.”
Kaget setengah mati Melani mendengar ucapan Rendy. Ia senang karna
cintanya tidak bertepuk tangan. Hatinya sangat bahagia seperti terbang ke
langit bebas. Dan ia ingin sekali mengatakan cinta pada Rendy. Namun tiba-tiba
saja Lyla muncul dalam pikirannya. Ia pun mengurungkan niatnya.
“Enggak.” ucap Melani mengejutkan dan melepaskan pelukan Rendy. “Siapa
bilang aku jatuh cinta sama kamu.”
“Bohong. Kamu bilang begitu karna Lyla, kan?”
“Bukan. Bukan karna Lyla. Tapi aku memang enggak ada perasaan apa-apa
sama kamu.”
“Aku enggak percaya.”
“Apa yang akan buat kamu percaya sama ucapan aku?”
“Tatap mata aku! Dan katakan, kamu enggak cinta sama aku.”
Melani ingin melakukan apa yang Rendy inginkan. Walau ia tahu itu
sangat berat. Bagaimana bisa ia mengatakan tidak mencintai Rendy. Beberapa saat
ia berpikir.
“Kenapa? Enggak bisa?”
Melani mencoba memberanikan diri. Ini semua demi Lyla. Sahabat lebih
berharga daripada cinta. Ia menatap mata Rendy dengan tajam. “Aku enggak cinta
sama kamu.”
“Mata kamu bohong.”
“Terserah kamu mau percaya atau enggak. Yang penting aku udah
ngelakuin apa yang kamu mau.” Melani pun pergi.
Rendy tak bisa terima apa yang baru saja Melani katakan padanya, Rendy
menghancurkan basecamp-nya sendiri. Semua benda yang ada di hadapannya, ia tendang
dan lempar sesukanya. Beberapa kali ia memukul tembok. Darah menetes dari
jari-jari tangan Rendy. Ia sama sekali tak memperdulikan tangannya yang sakit.
Rasa sakit hatinya jauh lebih pedih dari luka pada tangannya.
Setelah cukup jauh dari Rendy, Melani tersandar lemas pada tembok di
belakangnya. Ia tak kuasa menahan air matanya yang semakin membasahi wajahnya.
Hatinya sakit saat mengatakan tidak mencintai Rendy. Ia telah berusaha
menguatkan dirinya. Karna semua yang ia lakukan untuk Lyla, sahabatnya. Tapi ia
tetap manusia biasa. Hatinya tak bisa berbohong kalau ia mencintai Rendy,
benar-benar mencintai Rendy.
Kini ia baru menyadari ternyata Rendy begitu berarti baginya. Benar
kata orang, sesuatu akan terasa berharga apabila kita telah kehilangan sesuatu
itu. Dan sekarang Melani sudah kehilangan Rendy—dan akan kehilangan Rendy untuk
selamanya.
“Rendy, maafin aku. Aku harus melakukan ini. Aku enggak akan pernah
sanggup Lyla salah paham lagi. Aku yakin kamu akan mendapatkan wanita yang
lebih segalanya dari aku. Karna aku memang bukan yang terbaik untuk kamu.”
rintih Melani dengan tangisannya yang tak dapat dikendalikan lagi.
Tanpa Melani dan Rendy sadari, ternyata Lyla melihat dan mendengar
percakapan keduanya. Ia yang awalnya merasa curiga akan gelagat aneh Melani dengan
tergesa-gesa ke perpustakaan. Ia mengikuti Melani sampai bertemu dengan Rendy.
Ia tidak segera menghampiri Melani dan Rendy. Ia menguping seluruh
pembicaraan. Dan tanpa ia sadari ia mulai meneteskan air mata. Kini ia sadar ia
sudah sangat egois. Ia sudah sangat jahat. Jahat terhadap Melani. Melani sudah
berusaha mendekatkannya dengan Rendy. Melani dengan amat terpaksa menahan
persaannya hanya untuk Lyla.
Tapi apa balasannya sekarang? Ia malah mementingkan perasaannya. Ia sama
sekali tak memikirkan perasaan Melani. Sekarang sudah jelas ia tak dapat
mendapatkan hati Rendy karna hati itu sudah menjadi milik Melani. Dan sekarang
ia harus melakukan apa yang Melani lakukan. Ia harus mengubur dalam-dalam
harapannya pada Rendy. Ia harus mengembalikan senyum Melani.
***
Melani Diculik
Seperti biasa pada jam istirahat, Melani dan teman-temannya bergegas
menuju kantin. Kali ini mereka tidak bersama Lyla, karna Lyla sudah lebih dulu
berada di kantin.
Sampai di kantin, ia sangat terkejut karena ia melihat ada Rendy
yang duduk di samping Lyla. Ia ingin pergi dari kantin. Namun kedua temannya
menahannya.
“Kamu mau kemana, Mel?” tanya Winda.
“Aku enggak jadi makan.”
“Kenapa? Bukannya kamu belum sarapan.”
“Atau kamu cemburu liat Kak Rendy sama Lyla?” pancing Vania.
“Cemburu? Aku enggak cemburu, kok.” Kenapa ia harus sedih melihat
Rendy dan Lyla bersama? Harusnya ia senang karena Rendy mau membuka hatinya
untuk Lyla. Ia tak boleh seperti ini.
“Ya udah. Ayo kita gabung sama Lyla!” Melani hanya mengangguk.
Mereka pun segera menghampiri Rendy dan Lyla.
“Eh, ada Kak Rendy juga.” ucap Vania.
“Iya, nih. Gue lagi ada urusan sama Lyla.”
“Oh,” lanjut Vania. “Boleh kita gabung?”
“Boleh, kok.”
Mereka berlima pun memanggil pelayan kantin dan memesan makanan.
Setelah makanan yang mereka pesan sudah tersedia mereka pun melanjutkan
perbincangan.
“Kakak memang ada urusan apa sama Lyla?” tanya Winda.
“Aku lagi ada tugas jurnal untuk wawancara seputar ekskul basket. Maka
dari itu aku tanya-tanya aja sama Kak Rendy.”
“Oh. Sejak kapan kamu mulainya?” tanya Vania. “Kok aku baru tahu.”
“Belum lama, kok.”
“Oh, jadi untuk beberapa hari ke depan kalian akan deket, dong?”
ucap Winda, kemudian ia memandang ke arah Melani. Nampak raut sedih di wajah
Melani.
“Mel, kok kamu diem aja, sih? Kamu sakit?”
“Enggak. Aku baik-baik aja, kok.”
“Ngobrol, dong!”
“Gue ke kamar mandi sebentar, ya!” ucap Rendy.
“Oh, iya.”
“Kamu suka sama Kak Rendy?” tanya Lyla setelah beberapa meter Rendy
pergi.
“Ngaco aja kamu, La. Aku enggak punya perasaan apa-apa sama Rendy.”
“Terus kenapa kamu dari tadi diem aja?”
“Aku enggak apa-apa, kok.”
“Jujur aja, Mel! Kamu enggak perlu bohong lagi. Aku enggak akan
marah mau suka sama Kak Rendy. Kamu keliatan sedih dengar aku deket sama Kak
Rendy.”
“Aku enggak sedih kamu deket sama Rendy. Justru aku seneng kamu
biasa deket sama Rendy. Mudah-mudahan hubungan kalian bisa berlanjut.” lanjut
Melani. “Aku udah kenyang. Aku ke kelas duluan, ya!” Melani pun pergi.
Setelah Melani pergi, Lyla nampak lemas. Dan menundukkan kepalanya.
Ia pun mulai meneteskan air mata. “Ini semua salah aku,”
“Ini enggak sepenuhnya salah kamu, kok.” Winda mencoba meghibur
sahabatnya. “Jatuh cinta itu enggak pernah salah.”
“Lagipula kamu kan lagi berusaha untuk mendekatkan mereka lagi.”
“Kalo kamu enggak sanggup, kamu enggak usah lanjutin.”
“Melani aja bisa menahan perasaanya demi aku, kenapa aku enggak
bisa?”
“Tapi kamu masih sayang kan sama Kak Rendy?”
“Itu semua udah enggak penting,”
***
Siang itu seperti biasa, Melani menunggu metromini yang akan
mengangkutnya pulang ke rumah di halte depan sekolah. Tiba-tiba ada sebuah
mobil zeep hitam besar parkir di hadapannya. Dua orang berpakaian serba hitam
turun dari mobil tersebut. Salah satu dari mereka mendekap mulut Melani. Melani
ingin sekali berteriak, namun saputangan yang telah diberi obat bius itu
membuat Melani tak sadarkan diri dalam hitungan detik. Dan kedua orang
misterius itupun dapat dengan leluasa memboyong Melani masuk ke dalam mobil
zeep tersebut. Dan tanpa diketahui orang, Melani berhasil mereka culik.
Saat Melani sadarkan diri, tangan dan kakinya sudah dalam keadaan
terikat. Ia sendiri tak mengenal tempatnya berada sekarang. Tempatnya berpijak
sekarang sangat gelap dan tak ada penerang apapun. Di sekelilingnya banyak
barang-barang bekas yang tak ditata rapi. Juga atapnya penuh dengan sarang
laba-laba. Tempat ini sangat menakutkan. Dan nampaknya tempat ini jauh dari
peradaban.
“Tolong…” teriak Melani sekuat tenaga.
Teriakan Melani membuat kedua orang misterius itu kembali menghampirinya
dan menyalakan lampu.
“Siapa kalian?” tanya Melani dengan penuh ketakutan.
Jawaban atas pertanyaan Melani, mereka tuangkan dalam tawa yang
memekakan telinga.
“Mau apa kalian? Apa salah aku sama kalian? Lepasin aku!”
“Kita enggak mau ngapa-ngapain kamu kok, cantik. Kita cuma butuh
kamu sebagian umpan.”
“Apa maksud kalian?”
“Loe tentu kenal dengan orang yang namanya Rendy. Gue kasih tahu sama loe ya, kita berdua punya
dendam sama cowok culas yang namanya Rendy. Dia udah merebut cewek-cewek kita.
Kita akan balas dengan yang lebih sakit dari yang kita rasakan.”
“Apa yang akan kalian lakukan pada Rendy?”
“Kita cuma mau sedikit bermain-main aja sama Rendy.”
“Jangan pernah sentuh Rendy!”
“Oh… ceweknya ngambek, coy!”
“Awas aja kalo sampe kalian buat Rendy kenapa-napa.”
“Kita tunggu aja apa yang akan terjadi. Mungkin sebentar lagi Rendy
datang.”
Sesuai perkiraan orang misterius tersebut, Rendy pun datang. Rendy datang
dengan wajah bersumbat amarah. Semua barang yang ia lewati, ia tendang
sesukanya.
“Mau apa kalian?” teriak Rendy. “Lepasin Melani! Dia enggak ada
hubungannya sama masalah ini. Kalo kalian punya masalah sama gue. Kita
selesaikan sekarang juga.”
“Santai, Brother!” ucap salah satu dari mereka. “Kita juga enggak
akan ngapa-ngapain cewek polos kayak dia.”
“Oh, iya!” tambah yang satunya lagi. “Kalo loe ada pesan-pesan
terakhir, gue kasih kesempatan buat kalian lima menit. Mulai dari sekarang!”
Rendy menghampiri Melani dengan tergesa-gesa. “Kamu enggak apa-apa,
kan?”
“Aku enggak apa-apa.” Mata Melani berkaca-kaca. “Ngapain kamu harus
kesini? Mereka cuma mau jebak kamu.”
“Karna mereka culik kamu. Mereka akan ngapa-ngapain kamu kalo aku enggak
datang.”
“Kenapa kamu harus pikirin aku?” Melani mulai menangis.
Rendy menghapus air mata Melani. “Karna aku enggak mau kamu
kenapa-napa.”
“Tanpa kamu kesini juga, aku akan berusaha kabur.”
“Kamu tenang aja. Aku janji akan bawa kamu keluar dari tempat ini.”
“Rendy kamu mau ngapain?”
“Waktu habis!” ucap salah satu orang tak berperikemanusiaan itu. Dan
kemudian ia pun menendang punggung Rendy sampai Rendy terpental jauh.
“Rendy…” teriak Melani.
Perkelahian pun dimulai. Sesekali Rendy tersungkur mencium bumi.
Namun ia belum menyerah, ia terus berusaha melawan dua orang yang telah
menculik Melani.
Melani tak kuasa melihat Rendy dipukuli sampai babak belur seperti
itu. Ia berteriak dan menagis sejadi-jadinya. Tapi air matanya tak akan
membantu Rendy. Ia pun berusaha melepaskan tali yang membelenggunya sejak tadi.
Dua lawan satu. Tentu saja yang menjadi pemenangnya adalah kubu yang
memiliki kekuatan dua kali lipat. Untuk kesekian kalinya, Rendy kembali tersungkur
jatuh. Dan sekarang dirinya sudah tak kuasa lagi menopang berat tubuhnya. Ia
tak bisa bangun lagi untuk melawan dua orang yang tak beridentitas itu.
“Rendy…” teriak Melani memekakan telinga. Dan sekarang tali yang
mengekang gerak tubuhnya sudah dapat terlepas dari tangan dan kakinya. Dan ia
pun segera menghampiri Rendy. Sebelum itu, Melani menyempatkan diri untuk
memukul kedua penjahat itu dengan sebilah kayu usang yang tergeletak di sudut
ruangan.
“Rendy,” rintih Melani. “Kamu kenapa harus ngelakuin ini semua? Aku enggak
mau liat kamu kayak gini. Lebih baik aku yang babak belur daripada harus liat
kamu terluka.”
“Karna aku sayang sama kamu,”
Dan untuk babak terakhir dari drama ini, Si Penculik mengeluarkan
sebilah pisau. Rendy melihat gerak-gerik Penculik tersebut. Dan ia segera
memeluk erat Melani. Sebilah pisau pun menancap pada punggung Rendy. Dan
Penculik itu pun segera meninggalkan Melani dan Rendy yang mulai bersimbah
darah.
“Aaaa…” teriak Melani memecah keheningan malam.
Pelukannya pada Melani mulai melonggar. Dan dalam hitungan detik
Rendy sudah tak sadarkan diri. Matanya tertutup dan tangannya dibiarkan
tergeletak lemas di atas lantai.
“Rendy bangun!” Melani mulai menangis.
“Kenapa kamu lakuin ini? Kenapa kamu enggak biarin aku yang mati.
Aku enggak minta kamu lakuin hal bodoh ini. Rendy bangun! Kamu jangan tinggalin
aku. Aku enggak mau kehilangan kamu. Aku sayang sama kamu. Kemaren aku bohong.
Aku bohong aku enggak cinta sama kamu. Aku nyesel udah lakuin itu sama kamu.
Aku mohon buka mata kamu! Bangun dan dengerin aku bilang cinta sama kamu.”
Dan tiba-tiba mata Rendy kembali terbuka. “Serius kamu?”
Sontak Melani terkejut karna Rendy bisa bangun dan berucap kembali.
“Cut! Cut!” ucap seseorang yang tengah memegang sebuah handy cam.
“Drama yang sungguh menarik.” tambah seseorang lagi sambil bertepuk
tangan yang diiringi dengah tawa ringan.
“Ini ada apa, sih?” tanya Melani heran sambil menghapus air matanya
“Acting kamu bagus loh, Mel.” ucap Vania yang memegang handy cam.
“Sungguh drama yang bagus. Aku sampe nangis liatnya.” tambah Winda
yang berada di sebelah Vania.
“Kalian sekongkol untuk bohongin aku?” ujar Melani geram.
“Kalo barusan itu kisah nyata, so sweet banget tahu enggak.” tambah
Evan. “Tapi sumpah! Sakit banget pas kamu pukul tadi.”
“Siapa suruh ngerjain aku?"
“Melani. Kalo kita enggak lakuin ini semua, kita enggak akan pernah
buat kamu bilang cinta sama Rendy.” ujar Bayu sembari melepas topeng yang
menghalangi ketampanan wajahnya.
“Kapan aku bilang cinta sama Rendy?” ucap Melani dengan tampang yang
tidak terjadi apa-apa.
“Kamu mau liat rekaman videonya?”
“Direkam juga? Kalian dibayar berapa sih sama Rendy? Kalian jahat
banget sama aku.”
Semua hanya tertawa. Di tempat itu juga terdapat Lyla yang sedari
tadi sama sekali belum mengeluarkan suaranya.
“Kamu juga jahat sama aku.” ucap Melani seraya memukul-mukul Rendy.
“Aw… Ampun! Ampun!” rintih Rendy.
“Lagilagi aku dikerjain. Aku enggak suka kamu lakuin itu lagi. Aku
udah khawatir berat. Tapi ternyata ini cuma rekayasa. Percuma aku khawatirin
kamu.”
“Jadi kalo semua ini beneran, kamu khawatir sama aku?”
“Enggak juga, sih! Siapapun orangnya kalo dia dipukulin di hadapan
aku, pasti aku khawatir, lah.” ucap Melani dengan wajah memerah.
“Kamu juga akan bilang cinta sama orang itu?”
“Maksud kamu apa, sih?” Melani pun kembali memukul-mukul Rendy.
“Sakit. Ampun! Ampun!”
Semua yang berada di ruangan itu hanya tertawa melihat kepolosan
Melani. Lyla hanya tersenyum. Sekarang ia sudah memenuhi janjinya. Janjinya
yang akan mengembalikan tawa Melani. Dan ia pun pergi dari ruangan tersebut
tanpa pamit.
“Lyla tunggu!” seru Melani. Ia pun segera menghampiri Lyla. Diikuti
Rendy di belakangnya.
“Ada apa, Mel?”
“La. Aku minta maaf. Aku udah berusaha untuk tidak terus dihantui
bayang-bayang Rendy. Tapi semakin keras aku berusaha, justru malah semakin aku
sayang sama Rendy. Kalo kamu mau marah, mau tampar aku. Aku terima, kok!”
Melani menyodorkan pipinya.
“Kenapa aku harus marah? Kenapa juga kamu merasa bersalah jatuh
cinta sama Kak Rendy. Aku memang suka sama Kak Rendy. Tapi suka itu hanya
sebatas seorang penggemar terhadap idolanya. Aku malah seneng karna idola aku
dapetin cewek sebaik kamu.”
“Lyla…”
Lyla meraih tangan Melani dan Rendy dan menyatukan keduanya. “Jagain
Melani, ya! Kalo kamu sampe macem-macem, aku sendiri yang akan langsung turun
tangan.”
Rendy hanya tersenyum.
Lyla pun pergi. Mata Melani dan Rendy bertemu dan mereka pun
berpelukan.
Rendy mengajak Melani ke sebuah tempat yang sudah ia dekorasi dengan
berbagai pernak-pernik yang mengambarkan suasana romantis. Takjub Melani
melihat sekelilingnya. Penuh dengan lampu yang berkelap-kelip. Cahaya bintang
pun kalah dengan cahaya lampu yang didekorasi Rendy. Dan ratusan lilin yang
menyala-nyala di sekitarnya. Rendy mempersilahkannya duduk di bangku panjang.
“Biasa aja kali terkesimanya.”
“Ini semua kamu yang bikin?”
“Emang menurut kamu siapa?”
“Baru kali ini aku diajak cowok ke tempat kayak gini. Kak Andre aja enggak
pernah kasih kejutan sama aku sampe segininya.”
“Kamu suka?”
“Suka banget. Kamu buat ini khusus untuk aku?”
“Ya, iyalah. Siapa lagi?”
“Makasih, ya!” Melani masih melihat sekelilingnya. Sungguh tempat
yang sangat indah. Mungkin baginya ini adalah surga dunia. “Aku boleh tanya
sesuatu?”
“Tanya aja.”
“Aku heran sama kamu, kenapa kamu bisa jatuh cinta sama aku? Padahal
puluhan cewek yang suka sama kamu jauh lebih cantik dari aku.”
“Karna kamu satu-satunya cewek yang paling beda dari puluhan cewek
yang naksir sama gue. Kamu yang paling enggak cantik dan enggak pinter.”
“Bener ya, aku enggak pernah ada bagus-bagusnya di mata kamu.”
“Tapi loe suka kan sama gue?”
“Siapa bilang aku suka sama kamu?”
“Enggak usah bohong lagi deh, Mel. Mau kamu berusaha sekeras apapun
untuk berbohong, tapi mata kamu akan menyebutkan yang sebaliknya.”
Melani pun menutup matanya dengan kedua telapak tangannya.
“Mel…”
“Apa?”
“Aku mau minta sesuatu dari kamu.”
“Kamu mau apa?” Melani mendekap dadanya dan memandang curiga pada
Rendy.
“Loe pikir gue cowok apaan?”
“Terus kamu minta apa dari aku?”
“Aku mau kamu bilang ‘Kak Rendy, aku cinta sama kamu’.”
“Kenapa harus?”
“Karna aku mau.”
“Kak Rendy…” ucap Melani tergagap. “Aku… aku… cinta sama kamu.”
Rendy pun hanya tersenyum. Ia senang mendengar apa yang baru saja
terucap dari mulut Melani. “Mel…”
“Apa lagi?”
“Aku sayang sama kamu. Kamu mau jadi pacar aku?”
Wajah Melani memerah seketika, ia jadi salting, tapi akhirnya ia
mengangguk sambil berkata, “Ya. Aku mau.”
“Mau apa?”
“Aku mau jadi pacar kamu.”
Setelah mendengar jawaban Melani, Rendy mulai mendekatkan tubuhnya pada
Melani. Dan sebuah kecupan manis membekas pada pipi Melani. Membuat pipi Melani
semakin memerah. Ia pun kemudian memeluk Melani.
“Oh, iya. Aku punya sesuatu buat kamu.” Rendy mengeluarkan sesuatu
dari jaketnya. Benda itu masih ada dalam genggamannya. Rendy pun menyuruh
Melani menutup mata. Tanpa berkomentar, Melani mengikuti mau Rendy.
Genggamannya ia buka, dan sebuah kalung indah berliontinkan bintang
pun tergantung pada salah satu jemarinya. “Buka mata kamu!”
Melani tak sanggup berkata-kata lagi. Keromantisan Rendy membuatnya
diam seribu bahasa. Ia mengambil kalung tersebut, dan diamatinya dengan
seksama.
“Kamu suka?”
Melani hanya mengangguk. “Kenapa harus bintang?”
“Karena kamu adalah penerang dalam hidup aku yang semula gelap tanpa
bulan. Kamu adalah bintang terindah dan yang paling terang yang memberi cahaya
dalam hidup aku.” Melani hanya tersenyum pada Rendy.
“Sini aku pakein!” Melani mengangkat rambutnya. Dan kalung indah
itupun menggatung indah pada leher Melani. “Kamu cantik.”
***
Pada jam istirahat, pandangan Donny tak bisa lepas dari Lyla. Dan
diam-diam Melani, Vania, dan juga Winda memperhatikan gerak-gerik Donny.
Ketika Lyla pergi mengambil makanan yang dipesan olehnya dan ketiga
temannya, Melani, Vania, dan Winda pun segera menghampiri Donny dan
mengagetkannya.
“Aduh, yang lagi perhatiin Lyla, asyik banget, nih!” ucap Melani.
“Kalian ngagetin gue aja.”
“Kamu suka sama Lyla?” tanya Vania kemudian.
Donny hanya terdiam.
“Ngaku aja lagi. Tatapan kamu itu enggak bisa bohong.” tambah Winda.
“Kalo kamu mau lebih deket sama Lyla, nanti sore kita tunggu di café
Miracle.”
“Kalian serius?”
“Temui kita jam 14:00.”
Melani, Vania dan Winda kembali ke tempatnya semula.
“Kalian darimana aja, sih?” tanya Lyla. “Pergi enggak
bilang-bilang.”
“Kita cuma abis dari kamar mandi.” jawab Melani.
Esok paginya, Donny datang ke sekolah dengan gaya penampilannya yang
berubah 180
dari sebelumnya. Penampilannya jauh dari Donny
yang dulu. Sekarang ia sudah seperti siswa-siswa lain yang berpenampilan keren.
Gaya berjalannya pun sekarang sudah berubah. Semua mata tertuju padanya karna
perubahannya itu. Ia pun segera menghampiri Lyla yang tengah duduk sendiri di
bangku taman sekolah.
“Pagi, Lyla!” sapanya.
“Kamu Donny?”
“Ya, aku Donny. Boleh aku duduk?”
“Oh, boleh.”
“La, boleh kan aku jadi temen kamu?”
“Bukannya kita memang udah temenan. Semua yang ada di sekolah ini
adalah temen aku.”
“Ya, aku hanya ingin lebih deket sama kamu.”
“Kalo mau lebih deket sama aku, tetaplah jadi diri kamu yang apa
adanya. Enggak usah berubah kayak gini buat deket sama aku. Aku lebih suka kamu
yang dulu.” Lyla pun pergi.
Donny menjadi tersenyum-senyum sendiri. Kemudian ia beranjak dari
tempat duduknya. Dan melompat-lompat kegirangan. Setiap orang yang
berlalu-lalang dihadapannya, selalu saja ia jabat tangan orang-orang tersebut.
Jelas orang-orang itu merasa keheranan. Apa yang terjadi pada Donny? Donny
sedang merasakan indahnya jatuh cinta. Justru aneh jika Donny tidak melakukan
hal-hal gila. Tapi orang-orang itu tak tahu. Dan mereka menganggap Donny gila.
Di balik pintu kelas diam-diam Melani, Vania, dan Winda
memperhatikannya. Mereka juga ikut merasakan kegembiraan yang menyelimuti hati
Donny. Ternyata tanpa mengubah penampilan Donny, Lyla mau lebih dekat dengan
Donny.
***
Rendy Pergi
Malam itu adalah malam perpisahan untuk seluruh siswa angkatan 2009/2010.
SMA Pertiwi. Seluruh siswa yang menjadi angkatan tersebut dinyatakan lulus
Ujian Nasional dengan nilai yang cukup memuaskan.
Sebuah pesta diadakan di pelataran SMA Pertiwi. Pesta ini memang
selalu diadakan setiap tahunnya. Sebagai wujud dari penumpahan kegembiraan
lulus Ujian Nasional daripada harus ugal-ugalan di jalan dan mengganggu
masyarakat.
Rendy tidak merasa nyaman di pesta itu. Pikirnya, pesta itu sama
sekali tak menarik. Jelaslah. Rendy merasa tak kerasan karna Melani tidak ada
di pesta itu. Pesta yang khusus untuk siswa-siswi kelas XII itu, tak
membolehkan anggota lain ikut bergabung, kecuali panitia dan pengisi acara.
Ia pun meniggalkan pesta tersebut ketika seluruh tamu undangan
tengah terhayut dalam lagu yang dinyanyikan Bayu. Ia tidak pulang ke rumahnya
melainkan pergi ke rumah Melani.
Ponsel Melani berdering tiba-tiba. Dan sebuah pesan baru diterima
ponselnya. Pesan itu berasal dari Rendy.
Cepet keluar! Aku di depan
rumah kamu.
Melani pun segera mengambil jaketnya dan berlari menuruni tangga.
“Kamu mau kemana, Mel?” tanya Andre.
Melani tak menjawab.
Sesampainya di depan rumah, ia sudah mendapati Rendy duduk bersandar
pada motor kesayangannya.
“Rendy ngapain kamu malem-malem kesini?”
“Ayo naik!”
“Mau kemana? Bukannya malem ini kamu ada pesta perayaan kelulusan?”
“Acaranya ngebosenin. Aku mau ngajak kamu jalan.”
“Malem-malem gini? Enggak, ah. Kak Andre enggak mungkin kasih ijin.”
“Siapa bilang dia enggak kasih izin? Aku udah minta ijin dan Kakak
loe ngijinin kok.”
“Masak, sih?”
“Ayo buruan naik!”
“Awas kalo kamu sampe bohong!”
Sampailah keduanya di sebuah taman yang sangat indah. Banyak orang
berlalu-lalang. Ada yang menjual makanan, berpacaran dan beberapa hal lainnya.
Memang setiap malam minggu, taman tersebut menjadi tempat favorit beberapa
orang untuk menghabiskan malam minggunya, selain pergi ke mall-mall besar.
Setidaknya orang-orang itu bisa menghemat pengeluaran bila malam mingguan di
taman itu.
Rendy segera mencari bangku taman yang kosong untuk duduk mereka
berdua. Setelah mempersilahkan duduk kepada Melani, ia segera menghampiri
seorang penjual minuman yang jaraknya tak terlalu jauh darinya dan membeli dua
buah kaleng minuman dingin. Kemudian ia kembali lagi menghampiri Melani dan
memberikan salah satu minuman kaleng tersebut kepada Melani.
“Ngapain kamu malem-malem aja aku kesini?”
“Kan udah aku bilang, pesta disana ngebosenin. Makanya aku ajak kamu
kesini. Kata orang malem mingguan disini seru.”
“Perasaan tiap aku kesini sama Kak Andre biasa aja, tuh!”
“Ya, bedain, dong! Itu kan perginya sama Kakak, kalo sama pacar beda
kali.” Rendy pun sedikit cemberut.
“Ya, gitu aja marah. Maaf, deh!”
“Sebenenya aku pengen lebih sering jalan sama kamu. Ya… sebelum aku
pergi.”
“Pergi? Kamu mau kemana?” Wajah Melani memperlihatkan raut
kesedihan.
“Mama pengen aku nerusin kulian di Australia. Kamu tahu sendiri kan,
aku akan menjadi penerus perusahaan keluarga. Aku mau sekolah lagi tentang
manajemen bisnis. Tapi kalo kamu enggak setuju, Mama juga enggak terlalu
memaksa.”
“Aku setuju, kok. Sekali-kali bahagiain Mama kamu kan enggak ada
salahnya? Aku enggak mau cuma gara-gara aku, Mama kamu sedih.”
“Emangnya kamu enggak akan kangen?”
“Kata siapa aku akan kangen sama kamu?”
“Aku empat tahun disana.”
“Empat tahun?”
“Masih mau relain aku pergi?”
“Kenapa enggak?”
“Baiklah. Aku akan belajar sekeras mungkin. Aku enggak akan buat
penantian kamu sia-sia. Aku akan buat kamu dan Mama bangga karna punya pacar
dan anak seperti aku.”
“Aku akan tunggu kamu.”
***
Empat tahun berlalu, banyak sekali perubahan pada diri Melani. Sisi
kewanitannya pun mulai nampak terlihat. Kini ia suka berdandan dan berbelanja.
Kamarnya pun menjadi sempit dengan adanya meja rias di samping tempat tidurnya.
Tidak hanya sempit oleh meja rias, kamarnya pun semakin penuh dengan piagam dan
serifikat prestasinya dalam bidang basket yang sengaja ia pigurai dan ditempel
pada dinding kamarnya. Salah satu piagam yang paling membuatnya bangga adalah
piagam yang ia dapatkan saat memenangkan kompetisi basket nasional. Piala-piala
pun berjejer di atas meja yang sengaja ia khususkan untuk itu. Pialanya pun
cukup banyak.
Melani terbangun dari tidur nyenyak semalam. Ia segera bergegas ke
kamar mandi dan menyegarkan tubuhnya dengan beberapa guyuran liter air. Setelah
mandi ia segera berpakaian rapi dan lekas berdandan.
Ketika ia mengambil poselnya yang tergeletak di atas meja belajar,
tak sengaja matanya tertuju pada foto Rendy yang terpajang di atas meja
belajarnya. Ia pun segera meraihnya. Ia pandangi foto itu secara seksama. Dan
tanpa ia sadari, ia menitikkan air mata.
“Ini udah empat tahun. Aku udah tunggu kamu selama ini. Kapan kamu
pulang? Aku kangen sama kamu. Aku kangen berantem sama kamu. Cepet pulang, ya!”
“Mel, ayo! Kakak udah telat, nih! Katanya mau pergi bareng.”
“Iya, Kak.” Melani pun menghapus air matanya.
Sesampainya di kampus, ia segera menghampiri ketiga temannya di
kantin yang sedari tadi menunggunya.
“Hai!” sapa Melani.
“Kok baru dateng, sih?” tanya Vania.
“Kalo enggak telat malah aneh. Tadi malem kan ada film Harry Potter.
Dia pasti begadang nongkrongin film itu sampe abis.”
“He…he… Lagipula mata kuliahnya juga baru mulai tigapuluh menit
lagi.”
“Ya udah, kamu duduk dulu! Mau pesen makan?”
“Enggak, ah! Di rumah udah sarapan, kok.”
“Bentar lagi ujian, ya?” ucap Vania memulai pembicaraan.
“Iya, nih! Aku males deh, tiap kali ujian enggak pernah lulus. Emang
aku sebodoh apa, sih?” jawab Melani dengan wajah muram.
“Sabar aja, Mel. Aku doain, mudah-mudahan ujian kali ini kamu
lulus.”
“Amin.”
“Aduh!” ucap Winda tiba-tiba. Karna ia berbicara sambil menelan
bakso, akhirnya ia pun tersedak. “Uhuk…uhuk!”
“Minum dulu!” Lyla menyodorkan segelas air mineral.
“Ada apa, sih? Kok kamu kayak yang kelupaan sesuatu.”
“Hari ini Kak Bayu mau manggung di café Om aku. Aku harus kesana
sekarang.”
“Bukannya bentar lagi kamu ada mata kuliah?”
“Males, ah. Pak Ginanjar mah enggak rame. Bye!”
“Dasar! Kemana aja Kak Bayu pergi selalu aja dikintilin.”
“Oh, iya. Aku juga ada janji sama seseorang.” ucap Lyla tiba-tiba.
“Janji? Sama siapa?”
“Hari ini Mamanya Donny ulang tahun. Aku harus ikut rayain ulang
tahun Mamanya Donny. Dagh!”
“Punya temen pada sibuk semua.” ucap Vania.
“Tenang aja aku masih disini, kok!”
Usai mata kuliah yang membosankan—Sosiologi, Melani keluar dari kelasnya.
Tiba-tiba seseorang memberinya setangkai bunga mawar yang indah. Tanpa
berkata-kata apapun, orang itu menunjuk ke arah selatan. Walau Melani agak
keheranan, ia pun mengikuti petunjuk orang asing tersebut.
Sampai di pertigaan, ada orang lagi yang memberinya setangkai bunga
mawar. Orang itu menunjuk ke arah jarum jam tiga. Lagi-lagi Melani mengikuti
petunjuk orang tersebut.
Hampir setiap pertigaan maupun perempatan ada orang yang memberinya
setangkai bunga dan menunjukkan arah. Dan dari setiap orang yang memberinya
bunga, Melani berhasil mengumpulkan sepuluh buah bunga di tangannya. Kalau
dijual bisa dapet uang banyak, nih! pikirnya.
Dan sampailah ia di lapangan basket kampusnya. Seorang laki-laki bertubuh
tegap tengah berdiri di depan ring basket. Dari postur belakang tubuhnya,
Melani sudah tahu, orang itu adalah orang yang selama ini ia tunggu—Rendy.
Bunga-bunga di tangannya pun berjatuhan.
“Aduh, lama banget, sih! Apa kurang jelas gue kasih petunjuk?”
“Rendy?”
“Akhirnya dateng juga. Lama amat, sih!”
“Apa bener ini Rendynya aku?” ucap Melani tak percaya.
“Kamu enggak kangen sama aku? Kamu enggak mau peluk aku?”
Melani segera berlari menghampiri Rendy dan memelukanya erat. Rendy
pun tak kalah bahagia, ia memutar-mutar tubuh Melani. Puas melepas rasa rindu,
Melani melepas pelukannya.
“Pulang dari Australia Rendynya aku enggak berubah, ya.”
“Masih tetep ganteng, ya?”
“Bukan. Masih tetep nyebelin. Kamu jahat! Kenapa kamu enggak bilang
mau pulang hari ini? Aku kan bisa jemput kamu. Akhir-akhir ini juga kamu susah
buat dihubungi.”
“Aku mau kasih kejutan sama kamu dan biar kamu tambah kangen sama
aku.”
“Aku enggak butuh kejutan kamu. Aku cuma mau ketika kamu pulang, kamu
masih kayak Rendy yang dulu.”
“Aku bukan Rendy yang dulu lagi. Bukan Rendy yang manja dan
kekanak-kanakan lagi. Sekarang Rendy adalah Rendy siap untuk membahagiakan kamu
dan Mama. Aku akan lakukan apa aja untuk buat kamu tersenyum.”
“Gombal.”
“Aku serius.”
Melani hanya terdiam.
“Mel…”
“Apa?”
“Kita akhiri saja hubungan ini.”
“Maksud kamu apa?”
“Aku mau kamu jadi isti aku.” Rendy mengeluarkan sebuah kotak kecil
berisi cincin dan ia pun berlutut di hadapan Melani. Melani amat terkesima
melihat tindakan Rendy.
“Will you marry me?” tanya Rendy sambil membukakan sebuah kotak
kecil berisi cincin berlian asli Singapura yang sangat indah.
Melani jadi salah tingkah. Ia pun mengangguk. “Ya, aku mau.” Rendy
pun memasangkan cincin tersebut pada jari manis Melani.
Rendy tak mampu menyembunyikan raut bahagianya. Ia segera memeluk
Melani erat. Dan ia pun memutar-mutar tubuh Melani lagi. Tawa bahagia
menyelimuti keduanya. Dan sekarang penantian Melani tak sia-sia karna Rendy
telah berubah menjadi laki-laki sejati dan siap untuk menjadi suaminya.
“Ayo kita pulang! Kita harus kasih tahu kabar baik ini sama Mama.”
*THE
END*
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusAlur ceritanya bagus bgt.....mantap dah pokoknya
BalasHapusCeritanya bagus, walaupun aku bacanya sampai 5 jam. tapi aku suka dan ceritanya menyentuk banget :')
BalasHapus